Recommended

Titik Nol 192: Padang Pasir

Sebuah gubuk di tengah gurun (AGUSTINUS WIBOWO)

Sebuah gubuk di tengah gurun (AGUSTINUS WIBOWO)

Benteng kuno Umerkot membayangi seluruh penjuru kota kecil ini. Anggun dan gagah, walaupun sudah tak banyak sisanya. Kota kelahiran Akbar-e-Azam, raja terbesar dinasti Mughal, kini menjadi kota Hindu terpencil jauh di pedalaman Sindh di selatan Pakistan. Lebih tragis lagi, tempat kelahiran Akbar, kini ditandai dengan sebuah gedung prasasti kecil tak menarik, terlupakan di pinggiran Umerkot.

“Dia memang raja besar, tetapi dia melupakan akarnya, tanah kelahirannya,” keluh seorang penduduk Umerkot.

Sejarah masa lalu Umerkot memang pernah sangat gemilang. Raja besar dunia pernah lahir di sini, dan para penakluk perkasa pernah melintasi kota ini untuk menaklukan negeri di seberang beringasnya padang pasir Thar.

Tetapi gurun ini tidak selalu ganas dan muram.

Di siang hari, wajah kota ini menjadi semarak luar biasa dengan datangnya orang-orang dari pedalaman padang gurun Thar. Wanita-wanita dari gurun terkenal dengan pakaian yang berwarna-warni liar, seperti pemberontakan terhadap kering dan monotonnya padang pasir. Ada warna merah membara bergambar bunga-bunga, ada hijau yang memberi kesegaran, ungu yang sejuk, dan biru gelap seperti warna langit. Yang Hindu kebanyakan memakai choli dan polka, kaus ketat dan rok panjang sampai ke mata kaki. Wanita Muslim biasanya masih setia dengan shalwar kamiz, celana kombor dan jubah panjang. Semuanya berkerudung, dengan warna-warni yang sama liarnya. Kerudung bukan hanya dominasi umat Muslim, tetapi juga bagian tradisi wanita Hindu di anak benua India.

Dibandingkan wanita-wanitanya yang berpakaian glamor, para pria di Umerkot berpakaian seperti halnya pria-pria Pakistan pada umumnya – shalwar kamiz sederhana dengan warna-warna yang itu-itu saja.. Menurut Om Parkash Piragani, seorang Hindu dari kasta Rajput (Khsatriya), kita bisa tahu apakah seseorang itu Hindu atau Muslim dari bahasanya. Kebanyakan orang-orang Hindu di padang pasir ini berasal dari kasta Sudra, kasta terendah. Tetapi mereka masih berbahasa Mawari, bahasa kaum Rajput (kasta para pejuang dan ksatria) dari Rajasthan.

Om Parkash mengajak saya sejenak meninggalkan kota Umerkot, menuju ke jantung padang pasir Thar yang luas terhampar. Kami berangkat bersama mobil NGO tempat Parkash bekerja. Bersama kami ada Mumtaz, wanita petugas lapangan, yang hari ini bertugas memberi penyuluhan kepada penduduk suku-suku padang pasir tentang pentingnya KTP.

Ada lebih dari 800 desa tersebar di seluruh penjuru padang pasir Thar. Umat Muslim dan Hindu tidak bercampur. Di desa-desa Muslim, yang memegang teguh prinsip pemisahan gender, cuma Mumtaz yang bisa memberi penyuluhan kepada kaum hawa. Di desa Hindu, saya tak mengalami masalah berinteraksi langsung dengan para perempuan desa.

Desa Wasayo Bheel yang kering kerontang (AGUSTINUS WIBOWO)

Desa Wasayo Bheel yang kering kerontang (AGUSTINUS WIBOWO)

Desa Soomon Bheel, sekitar 20 kilometer dari Umerkot, adalah desa Hindu yang kering kerontang. Rumah-rumah berbentuk bulat dengan atap dari daun-daunan berbentuk lancip, bertebaran mengisi kekosongan padang pasir. Semua dengan warna pasir, kuning muram yang selalu sama.

Mobil jeep kami langsung disambut dengan teriakan suka cita wanita-wanita yang berpakaian seratus warna, plus anak-anak kecil yang berlari-lari riang. Tak ada laki-laki sama sekali yang tertinggal di desa. Semua pria sedang bekerja ke luar, kemungkinan besar mencari air dan menggembalakan ternak (di tengah gurun luas yang rumput pun tak nampak).

Mumtaz memberi penyuluhan. Wanita-wanita desa semua berkumpul dalam sebuah gubuk. Mumtaz duduk di tengah-tengah, seperti guru suci yang dikelilingi umatnya. Bahasa Urdu Mumtaz tidak terlalu bagus, tetapi di lingkungan kerja seperti ini, bahasa Urdu memang tak berguna.. Penduduk pedalaman gurun ini tak ada yang berbahasa Urdu. Bahasa Sindhi pun mereka cuma bisa sedikit-sedikit. Mereka berbicara dialek gurun, yang mirip bahasa Marwari, dan kebetulan Mumtaz memang jagonya.

Wanita-wanita Hindu di desa ini senang sekali dipotret. Tidak bersembunyi apalagi marah-marah seperti biasanya perempuan Muslim di Pakistan. Nenek-nenek pun ikut berebutan bergaya di depan kamera, dengan kaca mata kuno yang ekstra cembung dan super besar. Gelang-gelang yang menutupi sepanjang lengan mereka, bergemerincing mengiringi ledakan tawa dan kegembiraan.

Tetapi kemudian nenek tua membisiki Mumtaz, menyampaikan kekecewaannya, “tukang potret ini pasti cuma main-main saja. Masa dari tadi cuma prek-prek terus, kenapa tidak ada chulka-chulka?” Yang dimaksud prek-prek adalah bunyi jepretan kamera, sedangkan chulka adalah kilatan blitz. Yang dari tadi ditunggu-tunggu memang cuma kilatan lampu blitz-nya saja.

Beraksi di depan kamera (AGUSTINUS WIBOWO)

Beraksi di depan kamera (AGUSTINUS WIBOWO)

Wanita-wanita Hindu dari desa Wasayo Bheel, sama kering kerontangnya seperti Soomon Bheel, malah kebalikannya. Mereka berteriak histeris tidak mau difoto, karena takut potret-potret modeling mereka akan menghiasi hotel dan restoran di seluruh penjuru dunia. Sambil mengucapkan kata ‘modeling’, perempuan desa berkulit gelap ini berkacak pinggang dengan tangan kirinya dan meletakkan tangan kanannya di kepala, berpose bak supermodel kelas dunia. Mumtaz tergelak.

“Hah, kamu tidak cantik-cantik amat untuk jadi poster di hotel dan restoran. Foto kamu nanti cuma untuk ditaruh di kantor saja.”

Betapa lugunya orang-orang ini. Tetapi sore itu saya melihat potret wanita-wanita dengan pakaian warna-warni dan perhiasan mencolok sekujur tubuh, benar-benar menghiasi halaman utama koran Dawn. Mereka berdemonstrasi di Karachi, memegang spanduk bertuliskan “Jama’at-ud-Dawa Penyelamat Kami”

Headline hari ini tentang demonstrasi minoritas Hindu dan Kristen yang menentang keputusan Amerika Serikat memasukkan Jama’at-ud-Dawa ke dalam daftar orgranisasi teroris. Disinyalir, Jama’at-ud-Dawa adalah jelmaan Lashkar-e-Toiba, gerakan militan terlarang yang terkenal dengan aksi-aksi berdarahnya. Organisasi ini kemudian berkamuflase menjadi gerakan sosial yang membangun sekolah dan sumur dan membagikan makanan dan barang-barang bantuan di tempat-tempat terpencil seperti gurun Thar, dan Amerika mencurigai adanya agenda terselubung.

“Wanita-wanita desa ini bahkan tidak bisa baca tulis,” kata Om Parkash Piragani, “mereka hanya diperalat untuk ikut berdemonstrasi tanpa tahu apa artinya.”

Kakek Muslim berjenggot merah (AGUSTINUS WIBOWO)

Kakek Muslim berjenggot merah (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya terus memandangi barisan wajah-wajah perempuan lugu, polos, dan kosong tanpa ekspresi, dalam potret itu. Mereka memegang spanduk-spanduk yang sangat mungkin mereka pun tak bisa baca. Orang-orang miskin dari suku minoritas di pedalaman ini pun sudah menjadi komoditas politik yang atraktif.


(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 30 April 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Titik Nol 192: Padang Pasir

  1. Moco tulisane pean rasane merinding cak.!!! Brilliant !!!!

Leave a comment

Your email address will not be published.


*