Recommended

Titik Nol 194: Menanti Hujan

Otagh (AGUSTINUS WIBOWO)

Otagh (AGUSTINUS WIBOWO)

“Hidup di sini sangat berat,” keluh Jamal, “sudah empat tahun tak turun hujan. Tidak ada air untuk kami minum. Tidak ada rumput untuk hewan-hewan kami. Tidak ada susu untuk anak-anak kami. Sapi-sapi sudah kurus tanpa tenaga.”

Jamal adalah seorang penduduk desa Ramsar, sebuah desa yang boleh dibilang cukup besar di tengah padang gurun Thar. Desa ini dihuni hampir 2000 orang, sekitar 150 keluarga. Ada penduduk Hindu, ada pula yang Muslim. Tetapi mereka tidak hidup bersama-sama. Desa Ramsar Muslim, ditinggali 50 keluarga, sangat dekat dengan jalan raya. Desa Ramsar Hindu masih satu setengah kilometer lagi jauhnya, di balik barisan bukit-bukit pasir di belakang sana.

Jamal tinggal di desa Muslim. Dengan ramah Jamal bersedia menjadi tuan rumah saya, yang begitu ingin mengalami kehidupan di tengah padang gurun. Tahu saya sedang menderita hepatitis, Jamal bahkan sampai membeli es batu dari pasar Umerkot, diwadahi termos supaya tetap dingin di bawah teriknya mentari gurun. Di tempat sekering ini, air begitu berharga, apalagi es batu.

Saya tinggal di sebuah chowra, rumah tradisional padang Thar. Bentuknya bundar, terbuat dari batu bata dan lumpur. Atapnya dari rumput-rumputan, diikat rapi, menjulang tinggi berujung lancip. Rumah ini sangat berangin, karena jendelanya besar-besar dan tak bisa ditutup. Ada pula lubang pintu tanpa daun pintu, sehingga kambing dan domba pun sering bertandang mencari sesuap rumput yang tercecer di atas pasir di dalam rumah.

Chowra tempat saya tinggal ini istimewa, khusus untuk tempat menginap tamu yang datang. Setiap desa punya minimal satu. Acara kumpul desa atau rapat juga selalu diadakan di sini. Biasanya para pria duduk-duduk di sini dan menghabiskan waktu dengan mengobrol sepanjang sore. Rumah ini disebut otagh, atau kalau dalam versi Indonesia mungkin setara dengan ‘balai desa’.

Ada tiga charpoy, dipan kayu beralaskan tali tampar. Jamal menyiapkan kasur kumal dan selimut berdebu di atas salah satu charpoy, tempat tidur saya malam ini. Debu dan pasir langsung mengepul tebal begitu kasur ini ditepuk.

“Jangan kuatir, pasir ini adalah makanan sehari-hari kita di sini,” hibur Jamal.

Kami duduk di luar otagh, menikmati senja yang mulai membungkus angkasa. Sejauh mata memandang, hanya gundukan pasir kuning menghampar sejauh batas cakrawala. Angin gurun terus bertiup kencang. Saya sudah kenyang. Mulut dan kerongkongan ini penuh butir-butir pasir.

Betapa muram kehidupan di sini, batin saya.

“Kamu harus datang ke sini waktu hujan turun,” sanggah Jamal, “gurun pasir yang gersang ini seketika berubah menjadi dataran hijau yang cantik. Thar akan berubah wujud menjadi Kashmir.”

Hewan pun kurus kering (AGUSTINUS WIBOWO)

Hewan pun kurus kering (AGUSTINUS WIBOWO)

Tetapi kapan? Tiada yang tahu. Semua hanya bisa menunggu datangnya mukjizat. Jamal pun miris dengan kenyataan bahwa bertahun-tahun sudah hujan tak turun juga di Ramsar. Mimpi tentang pemandangan surgawi ketika tanah tandus ini berubah menjadi Kashmir yang hijau, terus hidup dalam penantian panjang ini.

Hujan biasanya datang antara bulan Juni dan Agustus, maksimal hanya tiga atau empat kali setahun. Bersamaan dengan penduduk yang bersuka ria mendapat kiriman air dari langit, ular-ular pun keluar dari persembunyiannya, merayap di permukaan bukit-bukit pasir Thar yang lembut.

Sehabis musim hujan, datanglah musim dingin yang sejuk. Itulah musim kawin di Tharparkar.

“Kamu harus ke sini menghadiri acara pernikahan tradisi kami,” kata Jamal penuh semangat, “kami semua menari dan bernyanyi, merayakan acara pernikahan yang penuh kebahagiaan.”

Pernikahan di gurun ini biasanya dengan sesama warga satu desa. Di pedalaman Pakistan, tidak ada acara pacar-pacaran. Semua pernikahan ditentukan oleh orang tua, dan biasanya masih sesama kerabat. Di gurun Thar, sebuah desa biasanya dihuni oleh warga satu klan. Di belahan lain Pakistan, pengantin wanita selalu dibungkus purdah atau cadar sehingga tidak terlihat sama sekali oleh kaum pria. Tetapi di desa Thar, karena semua warga desa berkerabat, purdah hanya jadi sebatas syarat saja.

Bercakap-cakap tentang mimpi indah datangnya hujan membasahi gurun kerontang ini memang tidak akan ada habisnya. Tetapi perut saya sudah terlalu penuh oleh bulir-bulir pasir halus. Malam pun sudah menjelang. Langit kelam bertabur ribuan bintang berkelap-kelip. Jamal mengajak saya kembali masuk ke otagh dan menyalakan lampu minyak.

Ini pun perlakuan istimewa buat saya. Warga desa biasanya sudah berpuas dengan lampu senter baterai mungil, ditambah pancaran sinar rembulan dan bintang. Jamal menyiapkan nasi dan tomat goreng penuh minyak. Ini pun makanan istimewa, karena penduduk lokal paling mewah makan chapati dan kacang lentil. Kami makan di atas kasur, yang sudah dialasi selembar taplak. Penduduk desa yang lain makan di atas tanah. Angin gurun mengantarkan lagi ribuan bulir pasir halus, yang bercampur dengan minyak makanan. Seperti kata orang, pasir adalah makanan pokok di sini.

Belajarlah anakku, jadilah orang besar, dan bawalah listrik ke desamu... (AGUSTINUS WIBOWO)

Belajarlah anakku, jadilah orang besar, dan bawalah listrik ke desamu… (AGUSTINUS WIBOWO)

Lampu minyak berkelap-kelip. Muhammad Rahim, bocah desa berumur empat tahun, menggambar-gambar di atas tanah. Bapaknya memandang sayu, bermimpi kelak si bocah akan menjadi pemimpin besar yang membawa terang ke kegelapan pedalaman Thar ini.

“Anakku, belajar yang rajin, jadilah menteri, nanti kau bawa listrik ke desamu ya…”

Pedalaman Thar juga menghasilkan orang besar. Seorang putra daerah dari Mithi sekarang menjadi pemimpin departemen di Karachi. Semua penduduk Tharparkar menaruh harapan besar di pundaknya. Tetapi desa pedalaman macam Ramsar mungkin harus menunggu datangnya listrik di sini berpuluh-puluh tahun lagi.

Kelap-kelip lampu minyak mengundang ribuan tamu tak diundang. Serangga-serangga gurun yang hitam dan berkulit keras datang beterbangan ke kasur kumuh saya. Ukurannya pun besar-besar. Ada kumbang dan semut yang sebesar telapak tangan. Disenggol serangga ini pun cukup membuat perih. Belum lagi kambing-kambing yang ikut masuk ke dalam otagh, mencari serpihan makanan pengganjal perut. Saya tidur bersama serangga dan kambing. Terkadang kaki saya dijilati. Terkadang kumbang menjejak marah di atas wajah saya. Terkadang kambing mengembik memilukan hati.

Tetapi saya malah tertidur lelap sekali.

Dusun Ramser (AGUSTINUS WIBOWO)

Dusun Ramser (AGUSTINUS WIBOWO)

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 4 Mei 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

4 Comments on Titik Nol 194: Menanti Hujan

  1. Bersyukur terlahir dan tinggal di Indonesia..

  2. serasa mengalaminya..

  3. Seperti denger golden love song yg tdk mau cepet habis.
    Kehidupan yg mendekati pilu tp tegar berjalan beratus tahun tanpa hambatan berartti.
    Jadi malu mengeluh..

Leave a comment

Your email address will not be published.


*