Recommended

Titik Nol 195: Air

Berjalan mencari air (AGUSTINUS WIBOWO)

Berjalan mencari air (AGUSTINUS WIBOWO)

Gemerincing puluhan gelang wanita-wanita Hindu memecah kesunyian padang gurun. Masing-masing kepala mereka menyangga sebuah kendi tanah liat yang menganga lebar. Kaki telanjang menyeret-nyeret di atas pasir lembut gurun Thar yang membakar. Ini adalah perjalanan maha penting –  perjalanan mencari air.

Dusun Ramser milik umat Hindu tersembunyi di balik gunung pasir, terpisah dari dusun Muslim. Kumpulan chowra bundar yang sama, bertudung rumput, membercaki kegersangan gurun, tersebar dalam kelompok-kelompok rumah sederhana yang dipagari dalam pekarangan-pekarangan. Beberapa tembok rumah bergambar dekorasi primitif berwujud flora atau fauna, sapi dan kambing – dekorasi makhluk hidup yang tidak dijumpai di rumah-rumah Muslim. Sedangkan sapi-sapi sungguhan, bertubuh kurus kering hingga nampak gamblang tulang belulangnya, berjemur santai di atas lautan pasir, menghabiskan hari-hari yang membosankan.

Jaglo, seorang dokter, mengundang saya ke dalam rumahnya. Isinya mirip sekali dengan otagh tempat saya menginap kemarin malam di desa Muslim. Kosong melompong. Ada beberapa kasur kecil, piring makan, cermin, foto-foto kakek moyang, dan gambar-gambar dewa Hindu. Itu saja. Gambar-gambar dewa, mulai dari Syiwa yang berwarna biru sampai kera Hanuman berbibir merah tebal, tertempel rapi di sudut kamar. Ini adalah altar untuk puja. Walaupun miskin dan masuk kasta terendah, orang sini tak pernah lalai memanjatkan puja.

Dewa-dewi dan kepercayaan itulah yang membuat mereka bertahan. Sebuah cara bertahan tradisional yang sudah diwariskan turun-temurun, yang membuat orang-orang gurun ini mampu menjalani hidup beribu tahun di tengah kering kerontangnya Thar.

Wanita-wanita Hindu setiap pagi mengumpulkan kotoran sapi yang sudah mengering, disimpan di keranjang, kemudian dijemur di halaman rumah. Fungsi utamanya memang untuk membuat api. Tetapi penduduk Ramsar Hindu juga menggunakan kotoran ini sebagai penyegar ruangan, ditabur di dalam rumah untuk menebarkan aroma semerbak. Dalam ajaran Ayurweda, kotoran sapi juga bisa digunakan sebagai obat. Ibu-ibu yang mengalami kesulitan waktu bersalin, begitu minum air yang dicampur kotoran sapi, maka bayinya akan langsung keluar.

Tatanan hidup turun-menurun juga menempatkan perempuan pada posisi yang selalu sibuk. Selain mengumpulkan kotoran kambing, mereka juga memasak, mencari air, memberi makan hewan ternak, mengurus anak-anak, membersihkan rumah, dan melahirkan bayi-bayi yang tak pernah berhenti mengalir dari rahim. Bahkan pada saat hamil pun, wanita-wanita ini alih-alih istirahat di dipan, malah tetap saja melakukan pekerjaan berat macam mencari air dan kotoran sapi.

Menapaki pasir panas demi setetes air (AGUSTINUS WIBOWO)

Menapaki pasir panas demi setetes air (AGUSTINUS WIBOWO)

Tetapi kemuraman kehidupan padang pasir seakan pupus kalau kita melihat betapa dahsyatnya warna-warni pakaian wanita-wanita gurun ini. Choli dan polka, kaus pendek berpadu dengan rok sepanjang mata kaki, semuanya mengambil warna-warna yang hanya merupakan fantasi di gersangnya gurun ini. Ada merah jambu, biru langit, hijau rerumputan, dan oranye bunga-bungaan. Sebaliknya, para perempuan di dusun Muslim Ramsar tidak pernah memakai rok. Mereka selalu mengenakan celana shalwar yang longgar, walaupun warnanya pun tak kalah ramainya.

Pemberontakan warna-warni ini semakin liar dengan adanya chunri, kerudung yang menutup wajah dan muka. Chunri memang nyaman di gurun seperti ini. Ketika angin menyapu permukaan Thar, menerbangkan bulir-bulir pasir halus ke kerongkongan, wanita-wanita Hindu ini menyembunyikan wajah di balik chunri yang menyejukkan. Cadar memang sudah menjadi bagian kultur wanita-wanita padang gurun Thar, mulai dari Rajasthan hingga Sindh, apa pun agamanya.

Para perempuan gurun ini juga menutup lengan mereka. Bukan dengan baju berlengan panjang, tetapi lingkaran-lingkaran gelang yang berbaris. Namanya chura, berwarna putih, jumlahnya lusinan. Wanita yang sudah menikah, chura-nyamenutup sepanjang lengan. Yang masih gadis, hanya di lengan bawah saja.

Chura bergesekan dan bergemerincing ketika barisan wanita-wanita dari dusun Ramser ini berjalan menyuri gundukan-gundukan pasir, masing-masing mengusung kendi tanah liat di kepalanya.

Matahari yang menyengat bukan masalah. Pasir halus adalah penyerap panas, yang ikut memancarkan kembali panas mentari di permukaan bumi. Tetapi perempuan-perempuan ini sama sekali tak masalah menyeret kaki di atas lapisan pasir yang terus membakar. Ini sudah menjadi keseharian mereka.

Keledai mengangkut air dari sumur (AGUSTINUS WIBOWO)

Keledai mengangkut air dari sumur (AGUSTINUS WIBOWO)

Dua kilometer mereka berjalan, menuju sumur tua di tengah padang. Di sana sudah menunggu beberapa orang laki-laki, bocah-bocah, dan empat ekor keledai. Keledai inilah yang menimba air dari sumur yang dalam itu. Keempat hewan malang ini dipasung lehernya dengan papan kayu, yang tersambung dengan tali tambang pada katrol sumur.

Di ujung lainnya, ada timba karet ukuran ekstra besar. Sekali menimba, bisa langsung dapat air seberat 25 kilogram. Tak perlu tenaga manusia, karena keledai-keledai adalah hewan yang tangguh lagi bandel. Cuma cukup seorang bocah untuk mengendalikan jalan para keledai ini untuk menempuh lintasan lurus sejauh seratusan meter.

Perlahan-lahan, timba karet penuh berisi air itu menampakkan diri dari dalam sumur yang dasarnya gelap pekat itu. Kini giliran para pria desa membagi-bagikan air kepada para penduduk. Para perempuan langsung berebutan mengisi kendi-kendi mereka. Bocah-bocah mengisi ban karet yang ada di pundak keledai-keledai, alat angkut nomer satu di pedalaman gurun. Kakek tua pun juga tak kalah riangnya, cepat-cepat mengisi kendinya dan langsung mengubur dalam-dalam di pasir, seperti menyimpan harta karun yang tak ternilai harganya. Selepas itu masih dikunci gembok gerendel yang ukurannya ekstra besar.

Ramai-ramai menimba air  (AGUSTINUS WIBOWO)

Ramai-ramai menimba air (AGUSTINUS WIBOWO)

Air begitu berharga di sini. Setetes air adalah sejumput kehidupan. Air sumur harus dijaga baik-baik agar tak sampai dicuri. Orang-orang desa harus diatur gilirannya supaya sumur tak sampai kering. Keledai-keledai pun diperas tenaganya untuk mengangkat air dari dalam sumur yang begitu dalam. Betapa cerianya wajah-wajah itu melihat aliran air bening mengisi pipa-pipa, mengalir deras dari timba karet yang muncul dari bibir sumur. Saya mencicip sedikit. Uuuh… rasanya masam, busuk, dan penuh pasir.

Tetapi air masam inilah yang menjadi denyut nadi  kehidupan di padang kerontang ini.

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 5 Mei 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*