Recommended

Titik Nol 197: Menanti Mimpi Menjadi Nyata

Kekra, kendaraan di gurun pasir, akhirnya datang selelah sekian lama dinanti-nantikan (AGUSTINUS WIBOWO)

Kekra, kendaraan di gurun pasir, akhirnya datang selelah sekian lama dinanti-nantikan (AGUSTINUS WIBOWO)

Subuh. Adzan mengalun merdu dari masjid mungil bertembok lempung di dusun Ramsar, di pedalaman gurun Thar. Lantunan lembut mengawali pagi yang masih gelap gulita. Tak perlu pengeras suara, tak perlu teriak-teriak. Alunan adzan ini menyejukkan kalbu. Sang imam adalah pria tinggi bertubuh kurus dan berkumis lebat, berjubah dan bersarung. Umatnya tak banyak. Orang masih sibuk memikirkan perut yang keroncongan dan kerongkongan yang kekeringan.

Sebuah hari baru pun bermula lagi di Ramsar. Nenek-nenek tua memulai kegiatan setiap pagi, mengaduk-aduk ampas gandum dengan air. Bocah-bocah menggembalakan sapi dan kambing ke tengah jungle. Ibu-ibu membikin roti chapati. Jamal bersiap mandi.

Ritual mandi Jamal sangat sederhana. Airnya cuma dua timba kecil. Itu sudah termasuk mewah. Jamal suka mandi tiap hari, tetapi karena sekarang air sedang langka, biasanya cuma dua hari sekali. Anak-anaknya malas mandi. Semua kumal dan kotor, karena tiap hari cuma bermandi debu dan pasir.

Sehabis mandi, roda kehidupan desa ini kembali bergulir ke monotonnya padang gersang. Angin menerbangkan debu-debu, mengisi sudut-sudut kerongkongan. Masih pasang-pasang kaki yang sama, masih tak beralas, menggesek pasir-pasir lembut, menyusuri jalan panjang mencari air. Masih kambing-kambing yang sama, mengembik meratap, mencari serpihan biji-bijian yang tersisa di atas gundukan pasir. Masih kumbang-kumbang besar yang sama, beterbangan ke sana ke mari, menyebarkan bunyi dengungan yang tak enak didengar.

Bocah-bocah melompat kegirangan melihat mobil yang datang  (AGUSTINUS WIBOWO)

Bocah-bocah melompat kegirangan melihat mobil yang datang (AGUSTINUS WIBOWO)

Para pria dusun mulai duduk-duduk, melewatkan waktu. Menyaksikan angin, kumbang, rumput, gubuk-gubuk, sumur, unta, kambing, gundukan pasir, semuanya pemandangan yang sama setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun. Obrolan-obrolan tak banyak makna mengisi kekosongan pada aliran waktu yang merangkak lambat-lambat.

Bocah-bocah juga punya miliaran detik untuk dibuang-buang. Di sini tak ada yang memikirkan pe er atau ulangan. Siang yang terik dihabiskan dengan bergulat di atas pasir. Kalau sudah bosan, giliran hewan-hewan malang yang diadu. Yang paling bandel adalah kumbang-kumbang hitam dan besar itu, yang kakinya panjang-panjang, bergerak lincah dalam keputusasaan, dan menghasilkan suara melengking-lengking. Kambing jantan juga seru. Gemeretak bunyi tanduk-tanduk yang beradu, serta aksi kambing yang mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi sebelum menjatuhkan tandukknya ke tubuh lawan, mengundang sorak sorai bocah-bocah.

Demikianlah rutinitas orang-orang padang gurun yang hidup dalam kebosanan, yang setiap hari disiram bulir-bulir pasir halus yang merambah relung-relung hati. Tetapi sebenarnya mereka sedang hidup dalam penantian. Menantikan datangnya mukjizat yang mengubah garis hidup mereka.

Saya teringat beberapa desa yang pernah saya kunjungi bersama-sama petugas lapangan dari LSM Sami Samaj Sujag Sangat. Debu yang beterbangan membungkus mobil kami sama sekali tidak menghalangi bocah-bocah yang bersorak gembira menyambut kedatangan ‘tamu agung’ dari ‘dunia modern’.. Mereka berlari-larian, melompat-lompat, merayakan kebahagiaan tiada tara untuk sejenak waktu dibebaskan dari kebosanan hidup yang itu-itu saja.

Bagi sebagian orang, unta masih tetap yang terbaik (AGUSTINUS WIBOWO)

Bagi sebagian orang, unta masih tetap yang terbaik (AGUSTINUS WIBOWO)

Sudah sekian lama saya hidup bersama orang-orang desa Ramsar. Saya pun ikut meloncat gembira melihat truk tua bergetar-getar dari kejauahan. Gerakannya lambat, getaran vertikal naik turunnya malah lebih dahsyat. Debu mengepul hebat. Truk tua ini seakan menyeruak dari dunia lain, dari jalan beraspal mulus yang membentang di seberang sana, menuju ke alam Ramsar di tanah pasir gersang.

Truk tua ini disebut kekra. Warnanya hijau dengan bak terbuka bercat kuning. Kacanya sudah pecah. Bempernya sudah bobrok. Tetapi truk buatan Pakistan ini masih tangguh, dibuat khusus untuk medan berat macam padang pasir ini. Kekra memang bandel. Walaupun wajahnya sudah nyaris hancur seperti peninggalan Perang Dunia II, tetapi masih sanggup melintasi gundukan-gundukan pasir halus di Thar, mengangkut manusia dan hewan-hewan dari pedalaman gurun. Sekarang ia adalah raja padang pasir, menggantikan unta-unta yang semakin kurus dan sayu.

Bocah-bocah Ramsar berlari riang menyambut truk tua berhiaskan pernak-pernik cantik ini. Semua berlari, melompat-lompat, bersorak sorai, memanjati kendaraan kuno ini. Dari dalam kekra turun dua orang tukang, pewujud mimpi yang sudah lama dinanti-nanti dalam hidup yang selalu datar.

Kekra membawa tanker, menumpahkan air yang menyembur dahsyat dari pipa besar. Air itu ditampung dalam sebuah kolam di pinggiran desa. Pemerintah Pakistan menjanjikan akan membangun sebuah gedung sekolah di desa ini. Pondasi sudah disiapkan. Sekarang penduduk desa berdatangan, membantu dan menyambut para tukang yang datang dari kota ini. Selain air, masih ada batu-batuan dan semen yang harus diturunkan dari truk.

Menanti harapan, menanti impian (AGUSTINUS WIBOWO)

Menanti harapan, menanti impian (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya kagum dengan pemerintah negara ini, yang sampai membangun infrastruktur di tempat paling terpencil seperti ini. Saya sering melihat gedung-gedung sekolah di desa-desa yang berpencar di padang Thar. Umumnya masih baru, kursi-kursi kayunya masih tak bergores. Tetapi sekolahnya kosong melompong, karena tak ada guru dan tak ada murid.

Guru-guru dari kota malas datang ke sini. Yang menjadi guru biasanya warga setempat, seperti Jamal, yang pendidikannya pun tidak tinggi. Murid nyaris tidak ada, karena walaupun gratis, banyak orang tua tak mengizinkan anaknya ke sekolah. Saya teringat waktu mewawancara seorang warga gurun yang tidak menyekolahkan anaknya, si kakek dengan penuh semangat berkhotbah, “Kami ini buta huruf! Kenapa anak kami harus jadi pintar? Mereka harus jadi seperti kami! Mereka harus seperti nenek moyangnya!”

Apa artinya gedung sekolah tanpa guru dan murid? Alhasil, gedung-gedung itu malah menjadi tempat nongkrong para pria desa yang tak punya pekerjaan selain membuang waktu dan menelan butir-butir pasir.

Mereka hanya menanti mimpi, menantikan uluran tangan dari luar yang akan mengubah garis hidup mereka. Tetapi ketika kesempatan itu datang, mereka pun masih tak tahu harus berbuat apa. Jalan menunju mimpi indah itu memang masih terlalu panjang.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 7 Mei 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*