Recommended

Titik Nol 198: Karachi

Mausoleum Mohammad Ali Jinnah, Bapa Pendiri Pakistan, adalah lanmark Karachi (AGUSTINUS WIBOWO)

Mausoleum Mohammad Ali Jinnah, Bapa Pendiri Pakistan, adalah lanmark Karachi (AGUSTINUS WIBOWO)

Karachi, inilah kota terbesar di Pakistan. Inilah salah satu urutan atas kota terbesar di muka bumi. Di sinilah belasan juta manusia Pakistan tumpah ruah, segala macam etnis dan agama campur aduk. Di sinilah segala kebanggaan bangsa, gemilang sejarah, bercampur dengan bau busuk gunung sampah dan sungai tercemar.

Perjalanan dengan bus melintasi gurun pasir membawa saya kembali dari dunia Thar ke alam Pakistan. Begitu meninggalkan Umerkot, bus tak henti memutar acara khotbah pengajian dan lantunan syair maatam yang membawa suasana kesedihan Ashura. Penumpang bus, kebanyakan perempuan Hindu dengan sari dan kalung hidung ukuran besar, sama sekali tidak ada yang protes.

Karachi, walaupun sudah bukan ibu kota Pakistan lagi, masih memegang kendali sebagai pusat perekonomian negeri ini. Kota pelabuhan ini masih menjadi hub perdagangan internasional dan gerbang utama masuknya komoditi ke seluruh Pakistan. Siapa yang tak terkesima oleh ukuran kota yang sudah masuk kategori megapolitan ini? Siapa yang tak takjub melihat modernitas arsitektur kuburan Muhammad Ali Jinnah – sang Bapak Pendiri Pakistan, sang Quaid-e-Azam (Pemimpin Yang Agung)? Di mana lagi di Pakistan kita bisa melihat hiruk pikuk orang seramai di kota ini, dengan luas sebesar ini, dengan gedung tinggi dan peninggalan kolonial bertebaran di segala penjuru?

Tetapi Karachi bukannya kota tanpa masalah. Saya tinggal di rumah seorang kawan, ekspat yang menetap di dekat Saddar Bazaar. Dari atap jendela kamarnya di lantai sebelas, saya bisa melihat kota Karachi tersebar semrawut sejauh mata memandang. Pemandangan yang gagah, namun menyedihkan.

“Jangan kamu kira gedung tinggi di sini semuanya beres,” kata kawan saya itu, “Coba lihat rumah sakit bertingkat 12 itu,” ia menunjuk ke arah bangunan tinggi di seberang Jalan Jinnah.

Rumah sakit itu baru dibangun, tetapi hanya lantai 7 sampai 12 yang berfungsi. Sisanya tak bisa dipakai karena kesalahan teknis.

Pemandangan pusat kota Karachi (AGUSTINUS WIBOWO)

Pemandangan pusat kota Karachi (AGUSTINUS WIBOWO)

Di seberang jalan lainnya, kerangka bangunan tinggi berhenti di tengah-tengah. Pembangunan dibatalkan dan gedung separuh jadi itu ditinggal begitu saja. Ada lagi yang lebih parah, gedung tinggi dibangun sampai berapa lantai, ternyata miring. Terpaksa dirobohkan dan dibangun ulang.

“Masih mending daripada yang di sebelah sini,” kata kawan saya, “mereka sudah membangun tinggi-tinggi, kemudian pembangunan putus tengah jalan. Bukannya langsung dihancurkan, malah batunya dipreteli satu per satu dan memakan waktu sampai berbulan-bulan sampai gedung itu habis.”

Apartemen di Karachi umumnya bernama eksklusif, sebut saja City View atau Glamour Residence. Tetapi jangan bayangkan ini apartmen mewah. Apartemen kawan saya ini tepat di seberang terminal. Asap hitam sudah mengendap di dinding apartemen. Air bocor terus menetes, menjadikan lantai apartemen jadi sangat kumuh. Tikus berlarian. Lift ada dua, yang satu selalu rusak, karena pihak manajemen akan menunggu dua-duanya rusak semua baru mau memperbaiki. Itu pun temboknya sudah mengelupas dan baunya pesing. Di lantai atas ada anak-anak pecandu narkoba yang sering fly di anak tangga dan merampok orang yang lewat.

Mati lampu sudah langganan. Untuk bayar rekening Internet yang selalu putus pun kawan saya harus berdebat tiga jam.

“Ini Pakistan, man,” kata petugas penarik rekening itu, santai, “jangan terlalu banyak berharap. Oh ya, mari minum teh?

Satu hal yang saya suka dari Karachi adalah kualitas media yang cukup bagus. Harian Dawn, didirikan oleh sang Quaid-e-Azam sendiri, adalah harian berbahasa Inggris terbaik di kota ini. Harganya memang berlipat-lipat lebih mahal daripada koran di India, tetapi saya selalu sebisa mungkin membeli koran Dawn agar tak ketinggalan berita dan masalah terkini di Pakistan.

Ada laporan menarik tentang penanganan sampah di Karachi yang teramat buruk. Mengapa kota terbesar di Pakistan – yang arti harafiahnya negara bersih atau negeri suci – malah menjadi kota terjorok sedunia? Dari rubrik Surat Pembaca, seorang warga mengkritisi organisasi luar negeri yang memasukkan Pakistan dalam daftar negara gagal. Alasannya, Pakistan punya teknologi nuklir dan menjadi juara kriket kelas dunia. Bagaimana mungkin negara dengan kualitas seperti ini adalah negara gagal?

Kalau menurut pendapat saya, gagal tidaknya negara bukan dari keberhasilan kriket atau kepemilikan nuklir. Saya, sebagai pengunjung di sini, berulang kali terjebak dalam hartal atau mogok massal akibat goncangan politik. Bahkan kasus kartun Denmark (kartun Nabi Muhammad yang dipublikasikan salah satu media di Denmark –red) pun bisa jadi kerusuhan besar di seluruh penjuru negeri.

Beberapa minggu yang lalu terjadi bom bunuh diri di Karachi pada acara peringatan Maulid Nabi yang menewaskan pemimpin Sunni Tehrik. Sejak itu, suasana di Sindh tak pernah damai. Kedua muttahida – partai agama – saling tuduh dan memaksa seluruh kota dan propinsi melaksanakan hartal atau mogok massal. Hartal sungguh tak mengenakkan.

Kemarin, Karachi lagi-lagi dilanda hartal. Semua toko tutup. Bus dan taksi tak boleh beroperasi, semua jalan diblokir. Orang hanya bisa tinggal di rumah atau ikut berdemo. Kota ini pun tertidur.

Kontras yang hidup bersama (AGUSTINUS WIBOWO)

Kontras yang hidup bersama (AGUSTINUS WIBOWO)

Koran Dawn hari ini memberitakan betapa gembira pemimpin muttahida akan mogok bersama yang mereka gerakkan. Sebaliknya, rubrik Surat Pembaca hari ini penuh berisi keluhan warga Karachi akan seruan hartal, mogok massal. Pelajar universitas mengeluh karena sekarang waktu ujian dan mereka tidak bisa ke kampus karena tak ada kendaraan. Para pekerja protes karena tak bisa mencari nafkah. Pemilik toko kesal karena ekonomi semakin seret dengan acara mogok-mogokan seperti ini.

“Negara kita sudah terbelakang, pendidikan juga terbelakang, sekarang siswa juga harus punya hari libur lebih banyak gara-gara acara mogok massal,” tulis seorang mahasiswa di rubrik itu.

Selain medianya yang terbuka, yang saya kagumi dari masyarakat Karachi adalah tingkat keberagamannya. Kota ini bisa dikata yang paling kosmopolitan di Pakistan bahkan sejak jauh sebelum Pakistan lahir. Ada komunitas Protestan, Katolik, Parsi, Hindu, bahkan Yahudi dan Ahmadiyah.

Kemudian setelah Pakistan merdeka, mengalirlah imigran Muslim dari India, yang disebut sebagai kaum Mohajer atau pendatang. Mohajer adalah penutur bahasa Urdu, sedangkan waktu itu Karachi dipenuhi orang Sindh. Selama bertahun-tahun pergesekan antar golongan menjadi masalah kemasyarakatan di sini. Karachi semakin kosmopolitan dengan kedatangan berbagai etnis pengungsi dari Afghanistan yang sekarang kebanyakan mendiami pemukiman kumuh dan bocah-bocahnya menjadi pemungut sampah.

Sohail, seorang pemuda Karachi, mengajak saya berjalan-jalan berkeliling kota. Kami melihat pemukiman orang Parsi yang mewah. Orang Parsi termasuk golongan orang kaya. Rumah mereka besar dan dulunya tak berpagar. Karena keadaan keamanan kota yang memburuk, akhirnya mereka memasang pagar juga di rumahnya. Kampus Sohail adalah sekolah seni terbesar di seluruh negeri, Sekolah Seni Lembah Indus. Bangunan aslinya adalah bekas bangunan Parsi. Kemudian sekolah ini pindah ke Pantai Cliffton.

Penduduk di perkampungan kumuh berangkat ke tempat kerja (AGUSTINUS WIBOWO)

Penduduk di perkampungan kumuh berangkat ke tempat kerja (AGUSTINUS WIBOWO)

Pada kasus biasa, pindah sekolah ya berarti pindah gedung. Tetapi untuk kasus Sekolah Seni Lembah Indus, karena menempati gedung bersejarah berusia seabad lebih, ‘pindah’ di sini berarti harafiah. Gedung yang lama dipindah batu demi batu, satu demi satu, ke lokasi baru di bawah arahan tim arsitektur dan sejarawan dari kampus.

Di lokasi baru ini, mahasiswa seni yang terkenal selalu modis dan nyentrik membuat saya ternganga dan seakan lupa bahwa saya sedang berada di Pakistan. Gadis-gadisnya berpakaian ketat, berambut tergerai, dan tanpa sungkan berdiskusi dengan lawan jenis. Sungguh bukan tipikal perempuan Pakistan yang dijumpai di jalan atau desa pinggiran. Mereka ini adalah anggota kalangan atas Karachi, hanya secuil minoritas di tengah masyarakat Pakistan.

Pantai Cliffton boleh dibilang tak cantik. Tetapi ada daya tarik tersendiri yang menjadikan tempat ini menjadi tempat bermukimnya kalangan atas. Salah satu penghuninya adalah keluarga Bhutto, yang rumahnya mirip istana di ujung jalan.

Ombak berdebur di pantai yang datar ini. Manusia dari berbagai kelas bersinggungan di sini. Sohail yang datang dengan mobil mewah, datang ke sini untuk berleha-leha menghirup segarnya udara laut. Di pinggir pantai, pria berjubah lusuh menggiring unta yang dihias kembang warna-warni, mengharap nafkah dari pengunjung yang ingin berpose di atas unta.

Karachi adalah tepi pantai dengan hewan padang pasir. Karachi adalah berbagai ekstrim yang hidup bersama. Karachi adalah mimpi indah yang bercampur kenyataan pahit. Karachi adalah kemegahan arsitektur kolonial berpadu dengan morat-maritnya bangunan modern.


(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 8 Mei 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

3 Comments on Titik Nol 198: Karachi

  1. jakartanya pakistan, etnisnya lebih beragam bahkan

  2. Foto2 yang (selalu) bagus dan “bicara’.

  3. Saya punya temen dari pakistan, yang satu asal karachi dan yang satu asal nowshera. Setelah baca postingan anda, saya jadi tau atas perbedaan yang cukup mencolok dari mereka. Thanks buat postingannya yang sarat info mas.

Leave a Reply to Arif Rahman Cancel reply

Your email address will not be published.


*