Recommended

Titik Nol 200: Sebuah Desa di Pinggiran Peshawar

Bocah-bocah Safed Sang di atas keledai (AGUSTINUS WIBOWO)

Bocah-bocah Safed Sang di atas keledai (AGUSTINUS WIBOWO)

Di desa kecil Safed Sang, di pinggiran kota Peshawar, saya melewatkan malam dengan para pemuda Pathan.

Salah seorang pemuda itu bernama Ziarat Gul, artinya ‘bunga ziarah’. Umurnya baru 19 tahun. Wajahnya lebar. Bola matanya besar. Hidungnya mancung. Garis wajahnya kuat. Tubuhnya tinggi dan kekar. Kulitnya putih bersih, jauh lebih putih untuk ukuran orang Punjabi atau Sindhi. Ziarat adalah etnis Pashtun, atau dalam bahasa Urdu disebut Pathan. Orang Pashtun juga sering disebut Afghan, suku bangsa dari Afghanistan.

Perjumpaan saya dengan Ziarat sebenarnya tak disengaja. Dua bulan sebelumnya, saya sedang berkonsentrasi di depan komputer di sebuah warnet. Ziarat, yang duduk di sebelah saya, memandangi lekat-lekat. Terus-menerus mengajak bicara sampai saya tak bisa konsentrasi. Setengah jam berikutnya, datanglah Lam Li si petualang Malaysia. Mata Ziarat langsung beralih ke arah tubuh wanita itu. Di Pakistan, kaum pria bisa sampai melotot memandang tanpa lepas jika melihat kemolekan wanita, yang terbalut jubah dan jilbab sekali pun.

Betapa kecewanya Ziarat ketika tahu sekarang hanya tinggal saya yang ada di Pakistan. Lam Li sudah menyeberang ke Afghanistan, sehingga tak ada lagi kesempatan baginya berkenalan. Tetapi ia tetap membulatkan tekad untuk mengajak saya mengunjungi desanya yang bernama Safed Sang.

Peshawar, terletak di propinsi N.W.F.P (North Western Frontier Province), propinsi perbatasan peninggalan kolonial Inggris. Tempat ini dihuni oleh etnik Pashtun atau Pathan, yang tersohor akan kegagahan dan kekeraskepalaannya. Tak seperti British India yang takluk dalam kekuasaan Inggris, orang Pathan ini masih punya separuh kemerdekaan. Daerah mereka disebut tribal area di mana hukum kolonial tidak berlaku. Di tribal area orang Pathan masih memberlakukan hukum adat dan kesukuan mereka, yang didasarkan atas nilai-nilai Pashtunwali.

Sekarang, romantisme tribal area sama sekali bukan tentang romantisme suku-suku eksotis di tengah pedalaman gunung tersembunyi. Mendengar nama itu, yang terbayang adalah orang-orang bersurban mencangklong bedil atau pejuang Al-Qaeda yang bersembunyi di gua-gua. Hanya berapa kilometer saja dari Peshawar, kita sudah memasuki tribal area, yang karena alasan keamanan tertutup sama sekali bagi orang asing.

Safed Sang, kampungnya Ziarat Gul, memang bukan di dalam lingkar tribal area. Tetapi ada hembusan keganasan tribal yang saya rasakan, setidaknya dari omong-omongan si pemuda Ziarat.

“Aku benci sekali orang Hazara,” katanya.
Hazara, adalah etnis minoritas di Afghanistan, dengan raut wajah seperti orang Mongol dan menganut sekte Syiah.
“Mereka membunuh banyak orang Pashtun. Mereka kafir!”

Senja di Safed Sang (AGUSTINUS WIBOWO)

Senja di Safed Sang (AGUSTINUS WIBOWO)

Konflik Hazara membunuh Pahstun dan Pashtun membunuh Hazara menjadi berita tanpa akhir di Afghanistan. Di negara tetangga itu, darah dibalas darah. Dendam kesukuan tak pernah selesai. Perang tak pernah berakhir di sana semenjak tiga puluh tahun lalu. Semangat kebencian suku-suku Afghan itu bahkan sampai di sini, di seberang perbatasan Garis Durand di sisi Pakistan. Kalau konflik Hazara dan Pashtun adalah masalah rumit primordialisme etnik yang bercampur dengan dendam, kebanggaan kesukuan, sentimen agama, kultur, fanatisme, pergesekan nilai, di mata Ziarat semuanya itu jadi sederhana, “Hazara membunuh orang Pashtun karena kami bicara bahasa yang berbeda!”

Nama desa Safed Sang sebenarnya juga berasal dari bahasa Dari, atau Farsi, bahasanya kaum minoritas di Afghanisan termasuk orang Hazara dan Tajik, walaupun di desa ini semua penduduknya Pashtun. Safed Sang berarti ‘batu putih’, dinamai demikian karena ada tambang pualam di sini. Jaraknya tidak jauh dari Peshawar, kalau naik bus sekitar 40 menit. Tetapi waktu kami berangkat dari ibu kota N.W.F.P itu, bus sudah tidak ada. Kami ganti kendaraan sampai lima kali, dari bus, truk, taksi, mobil, sampai ke angkot Suzuki.

Tetapi saya tak menyesal sampai ke sini. Saya melihat sisi lain sebuah desa mungil, yang nyaris masuk wilayah tribal area. Tidak semua desa Pashtun seseram yang digambarkan media. Buktinya Safed Sang sangat hijau menyejukkan. Ladang gandum menghampar di kanan kiri jalan. Langit biru bermandi awan, berubah menjadi semburat warna merah dan jingga ketika mentari mulai terbenam. Saya melupakan debu dan kelabu yang selalu menyelimuti Peshawar. Orang-orang desa berdatangan, memandang saya dengan penuh rasa ingin tahu, karena desa ini hampir sama sekali tak pernah didatangi orang asing.

Sampai di sini, saya menyerahkan sepenuhnya nasib saya di tangan Ziarat sang tuan rumah. Orang Pashtun, walaupun terkenal garang dan keras, sebenarnya adalah pengikut setia standar hidup suku mereka yang disebut pashtunwali. Poin nomor satu dari pedoman hidup ini adalah melmastia, keramahtamahan. Mereka harus memberikan yang terbaik bagi tamu – tak peduli apa sukunya, bangsanya, agamanya – tanpa mengharapkan imbal jasa apa pun. Tuan rumah bahkan terkadang merelakan nyawanya untuk melindungi sang tamu. Itulah alasan yang paling sering dipakai untuk menjelaskan mengapa Mullah Omar tak mau menyerahkan Osama bin Laden walaupun negaranya diporakporandakan tentara musuh. Osama adalah tamu. Ribuan nyawa orang Afghan melayang untuk melindungi tamu yang satu ini.

Ketika malam tiba, desa Safed Sang berganti wajah. Bukan lagi hijau yang menyejukkan, sekarang adalah kegelapan yang mencekam. Tak ada listrik di kota ini. Gelap gulita. Jalanan berbatu dan berdebu dalam seketika sepi. Semua orang pulang ke rumah. Saya hanya sempat menenggak segelas jus buah di warung pinggir jalan, sebelum akhirnya Ziarat mengajak saya pulang.

Di bawah bayang-bayang bulan saya melihat orang berkeliaran mencangklong senapan Kalashnikov. Mungkin khassadar – tentara suku, mungkin pula penduduk biasa. Saya tak tahu pasti. Dalam gelap ini semua orang tampak sama. Semua orang mengenakan pakaian monoton shalwar kamiz.

Tetapi saya tak takut. Ada Ziarat yang melindungi saya. Sebagai tamu, saya berserah diri pada kemurahan hati orang Pashtun yang menjujung tinggi melmastia.


(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 12 Mei 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Titik Nol 200: Sebuah Desa di Pinggiran Peshawar

  1. I want go to afghan for know more that country

  2. Setelah baca buku2 mu, paling penasaran akan sosok Lama Li

    Adakah fotonya?

    😬

Leave a comment

Your email address will not be published.


*