Recommended

Titik Nol 201: Di Atas Charpoi

Pria penduduk dusun Safed Sang (AGUSTINUS WIBOWO)

Pria penduduk dusun Safed Sang (AGUSTINUS WIBOWO)

Malam bertabur bintang. Kami duduk di atas charpoi di pekarangan rumah kerabat Ziarat Gul dari Safed Sang. Dalam remang-remang lampu petromaks, saya memandangi wajah kawan-kawan baru saya.

Rumah ini bukan rumah Ziarat, melainkan rumah seorang kawannya. Rumah ini tertutup rapat dari luar, seperti halnya kultur Muslim Pakistan yang ketat yang tak mengizinkan perempuan anggota keluarga sampai terlihat orang lain. Tetapi di balik tembok padat yang melingkar, ada halaman luas terhampar. Musim panas Peshawar memang tanpa ampun, tetapi malam yang sejuk sungguh nikmat menikmati angin sepoi-sepoi di halaman rumah.

Kami duduk di atas charpoi – kasur tradisional Asia Selatan berukuran memanjang, dengan empat kaki dari kayu, dan jalinan tali tambang sebagai tempat tidur. Satu charpoi cukup untuk satu orang tidur, tetapi bisa juga diduduki tiga orang. Duduk di atas charpoi di bawah tudung langit malam yang cerah adalah kenikmatan tak terhingga setelah hari panas yang melelahkan berakhir. Di hadapan saya banyak sekali kawan baru. Satu per satu diperkenalkan, tetapi saya tak ingat semua nama mereka.

Seorang pria berusia 38 tahun adalah kakak yang paling tua. Adiknya yang gemuk berumur 25 tahun adalah teman Ziarat. Ada dua adik lagi, umurnya 12 dan 10 tahun, yang menjadi ‘pelayan’ dengan menyiapkan sebaki nasi dan sepoci es sirup. Semuanya laki-laki, kakak beradik. Tetapi mestinya ada juga saudara-saudara perempuan, yang seperti biasa dalam kultur Pashtun, adalah mahluk yang tak nampak di mata orang asing. Saya hanya mendengar suara perempuan berbisik-bisik dan tertawa-tawa, sebelum akhirnya disuruh diam oleh si pria gemuk.

“Perempuan itu seperti bunga yang indah,” kata si lelaki yang paling tua, “kecantikan mereka harus dilindungi dan dijaga.”

Baginya, burqa, kerudung yang menutup rapat tubuh wanita Pashtun dari ujung kepala sampai ujung kaki, adalah busana wajib menurut jalan Islam untuk melindungi kecantikan perempuan.

“Ya. Pashtun, behtarin Musliman…! Pashtun adalah Musliman yang terbaik!” seru kawan Ziarat yang gemuk.

Ziarat sendiri adalah tipe orang yang mengharamkan musik dan menganggap perempuan yang bekerja adalah tanda-tanda kemiskinan.

“Hanya keluarga miskin dan negara miskin yang mengizinkan perempuan bekerja.”

Rumah orang Pashtun bertembok tinggi dan kokoh. Orang luar tak tahu siapa dan kehidupan macam apa yang tersembunyi di balik tembok itu (AGUSTINUS WIBOWO)

Rumah orang Pashtun bertembok tinggi dan kokoh. Orang luar tak tahu siapa dan kehidupan macam apa yang tersembunyi di balik tembok itu (AGUSTINUS WIBOWO)

Ziarat memang masih muda. Umurnya belum juga genap 20 tahun. Ia masih meraba dunia secara tekstual. Caranya memandang segala sesuatu masih dengan pedoman pasangan hitam-putih dan benar-salah. Saya ingat, tadi pagi ia baru ‘menguji’ saya yang lulusan teknik komputer dengan pertanyaan yang menurutnya paling penting.

“Apa definisinya bahasa pemograman C?” tanyanya.

Saya tidak tahu. Semasa kuliah dulu itu adalah makanan sehari-hari saya sebagai programer komputer. Tetapi sungguh, saya tak pernah memikirkan apa definisi C.

“Kalau kamu tidak tahu artinya C, bagaimana kamu bisa memprogram dengan bahasa C?” tantangnya.
“Mengapa tidak? Kita tidak perlu tahu arti dan sejarah C sebelum kita bisa memprogram,” sanggah saya.
“Bagaimana seseorang bisa menyetir mobil tanpa mengetahui ‘arti’ dari mobil?” si pemuda tak mau kalah.

Teori, definisi, teori, definisi, semua berputar di sana. Orang yang terlalu banyak berteori jadi lupa prakteknya. Saya jadi teringat seorang penjaga warnet di Peshawar yang mengeluhkan negaranya yang terbelakang, listrik mati-nyala-mati-nyala, pendapatan tak ada, kota amburadul, orang miskin di mana-mana, jalan rusak, dan semua cuma satu penyebabnya – ‘konspirasi Yahudi’. Dan teori konspirasi ini klise sekali – di Lahore, Karachi, kereta api Punjab, sampai Peshawar.

Sekarang, di desa kecil bernama Safed Sang, para pemuda ini pun sudah hafal di luar kepala segala macam intrik kotor konspirasi kaum Yahudi.. Mereka terus berbincang, berdebat, diselingi gurauan-gurauan porno, sampai larut malam.

Saya terlelap di atas charpoi, dengan semilir angin sejuk mengantar mimpi saya. Jutaan bintang bertabur. Saya berada di alam terbuka, dikelilingi kungkungan tembok padat sebuah rumah di pinggiran tribal area di pedalaman Pashtunistan – tanah bangsa Pashtun.

Tiba-tiba saya terbangun di tengah malam. Gelap total. Lampu petromaks sudah lama dimatikan. Sedikit berkas cahaya berasal dari bulan dan bintang. Saya melihat bayang-bayang dua pemuda, berjubah kamiz dan bercelana kombor shalwar warna putih tidur bersama di atas charpoi. Satu charpoi kosong, ditinggal penghuninya.

Saya tak tahu siapa mereka. Tetapi mereka tidak tidur. Mereka sedang bergumul dalam kenikmatan tengah malam. Kaki mereka bersilangan, menggesek-gesek. Tangan saling bermain di atas badan, meraba-raba sekujur tubuh. Ada juga adegan ciuman. Tetapi sama sekali tidak romantis. Pertunjukan tengah malam ini lebih mirip dua bocah yang bergumul dan bercanda, di mana seorang pria gemuk berusaha meraba selangkangan pemuda satunya.

Mereka berbisik-bisik, tapi saya tak bisa menangkap artinya karena dalam bahasa Pashtun. Lalat pun berdengung bising. Tengah malam juga waktu bermainnya segala jenis serangga di halaman kebun.

Saya berpura-pura tidur. Tetapi mata saya terus menatap aksi yang belum pernah sebelumnya saya lihat. Dalam kegelapan ini, saya tak yakin mereka tahu saya sedang mengamati mereka. Tetapi akhirnya, saya terlelap juga.

Beberapa menit kemudian, saya membuka mata lagi. Sekarang di antara charpoi saya dengan charpoi mereka tiba-tiba teronggok sebuah kursi, entah dari mana. Saya tak lagi bisa melihat wajah kedua pemuda yang masih bergumul itu, tetapi kedua pasang kaki itu masih terus bergesekan.

Pagi hari, malam panjang penuh rabaan dan gesekan itu, langsung terlupakan. Ziarat Gul mengantar saya pulang. Saya terus menyimpan sebuah pertanyaan dalam hati, apakah ciuman, pelukan, gesekan, antara kedua pria di atas sebilah charpoi adalah sesuatu yang normal di daerah ini, di mana para gadis sama sekali tak terlihat dan bersembunyi di balik tembok rumah dan burqa?


(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 13 Mei 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

3 Comments on Titik Nol 201: Di Atas Charpoi

  1. Ooo itu si gendut yg main homo2an

  2. Aduh mas…menjijikkn bgt.ceramah soal agama tp klakuan sprt org tdk beragama.jd ingat prnh knalan dgn pmuda pashtun di FB.dy menuduh saya sbgai muslimah yg buruk hanya krn saya FBan. Eh, gk lama omonganny mengarah kecabul.Langsung deh saya maki2…

  3. Henpriadi koto // September 6, 2021 at 6:07 pm // Reply

    Nauzubillahiminzalik, dalam islam homosek adalah laknat Allah…

Leave a comment

Your email address will not be published.


*