Recommended

Titik Nol 202: Negeri Berselimut Debu

Dua pemuda ‘modern’ Afghan dari negeri berselimut debu (AGUSTINUS WIBOWO)

Dua pemuda ‘modern’ Afghan dari negeri berselimut debu (AGUSTINUS WIBOWO)

“Apa yang kau cari di Afghanistan?” tanya pria muda ini, di sebuah sudut gelap ruang tunggu visa di kantor konsulat Afghanistan di Peshawar.

Ruangan itu kotor. Selapis debu tebal menyelimuti lantai. Pemuda itu kemudian mencolekkan tangan kanannya di atas lantai.

“Kamu mau melihat Afghanistan? Lihat saja tanganku. Kamu lihat debu ini? Kamu sudah melihat Afghanistan. Cukup. Di sana cuma ada debu!”

Debu-debu beterbangan bersama hembusan napasnya. Saya terbatuk-batuk.

Kantor konsulat Afghanistan dipenuhi orang Afghan. Mereka berpakaian mirip orang Pakistan, tetapi punya kebiasaan aneh suka menggigit syal yang melingkari leher. Tidak ada orang asing lainnya.

Visa Afghan tidak sulit. Datang pagi hari, sore bisa diambil. Harganya cuma 1 dolar per hari. Mau enam bulan, satu tahun, berapa pun boleh, asal punya duitnya. Tetapi kemudahan visa ini tidak serta merta mendatangkan ribuan rombongan turis ke Afghanistan. Situasi keamanan sejak serangan Amerika di negara itu semakin lama semakin memburuk. Baru-baru ini ada kerusuhan besar di Kabul. Bom bunuh diri juga mulai marak. Semakin jarang petualang yang berani menjelajah negeri itu dalam kondisi seperti ini.

Wahid, pemuda itu, berumur 25 tahun. Kulitnya putih bersih dan wajahnya tampan. Bahasa Inggrisnya sangat fasih, seperti belajar di negeri Barat saja. Dia juga tinggal di Hayatabad, tetapi bukan di perkampungan kumuh Kacha Garhi. Orang tuanya, katanya, dari keluarga yang cukup terpandang di Kabul.

Sebagai seorang Afghan, yang menggambarkan Afghanistan hanya sebagai selapis debu, Wahid sangat kecewa dengan negerinya. Kebenciannya terhadap Pakistan, yang baru dua tahun ditinggalinya, juga sama parahnya.

“Buat apa kamu membuang-buang waktu di sini? Ini negara jorok.”
Lagi-lagi ia menjumput debu yang menutupi lantai ruangan itu, dan meniupkannya di hadapan saya.
“Orang-orang di sini, makanannya cuma debu. Minumnya juga debu.. Tak ada yang bersih di sini. Dan orang selalu jadi sakit.”

Baginya, Pakistan dan Afghanistan hanya punya arti yang teramat simpel – debu. Tak lebih.

Saya melihat ada kekecewaan di mata Wahid. Ada hujatan yang selalu meluncur terhadap segala macam kebodohan orang-orang senegaranya, yang semakin lama semakin bobrok dibungkus debu.

Orang-orang Afghanistan. Kaum pria berjubah shalwar kamiz dan perempuan berbalut burqa (AGUSTINUS WIBOWO)

Orang-orang Afghanistan. Kaum pria berjubah shalwar kamiz dan perempuan berbalut burqa (AGUSTINUS WIBOWO)

Tiba-tiba suaranya melengking tinggi.

“Lihat ini. Kalau kamu punya jenggot, berarti kamu Muslim. Kalau tidak punya jenggot, berarti kafir. Inikah ajaran Islam?”

Wahid sendiri mencukur wajahnya bersih-bersih. Ia mengenakan kaus ketat dan celana jeans yang juga ketat. Di Afghanistan, Taliban pernah melarang pakaian seperti ini dan memaksa semua pria berpakaian shalwar kamiz, memakai penutup kepala, dan memelihara jenggot. Kalau pakai surban lebih bagus lagi. Wahid sama tidak setuju dengan kebijakan tak masuk akal seperti ini. Dengan mantap ia menunjuk dada kanannya, “Agama itu di sini!”

Saya agak terkejut dengan ceramahnya yang serta merta. Semula dia mengira saya orang Afghan etnik Hazara. Mana ada ada orang asing yang berpakaian shalwar kamiz datang mengemis visa Afghanistan. Dia juga terkejut setelah saya bilang saya orang asing yang benar-benar ingin belajar dari negeri Afghan. Dia mulai berceramah panjang penuh kritik dan sindiran. Ia menyoal kecintaan saya terhadap Pakistan, shalwar dan kamiz abu-abu yang melekat di tubuh saya, hingga kesintingaan saya untuk pergi ke Afghanistan, yang menurutnya tak lebih dari kepulan pasir dan debu.

Olok-oloknya terhadap manusia-manusia yang hidup diselimuti debu ini terus berlanjut. Peshawar, kotanya orang Pashtun, seperti kota khusus laki-laki. Perempuan hampir tak terlihat sama sekali. Kalaupun ada perempuan yang keluar, tubuhnya terbungkus rapat dalam purdah hitam pekat. Hanya mata galak yang tampak.

Saya dengar mullah sudah mulai menganjurkan para wanita untuk mengenakan kaca mata hitam dan sarung tangan, bahkan untuk bertemu saudara sepupu sekali pun. Ada lagi busana wanita yang cukup favorit di Peshawar, yaitu burqa, semacam kain yang mengurung tubuh perempuan dan hanya menyisakan jejaring kecil di bagian mata. Siapa pun yang berada di bawah bungkusan ini tak bisa dikenali lagi identitasnya.

“Apa gunanya?” tanya Wahid, “Tak peduli perempuan dibungkus dalam purdah seperti apa pun, orang yang memang sudah rusak moralnya pasti masih bisa membayangkan lekuk-lekuk tubuh molek perempuan.”

Interaksi pria dengan perempuan sangat terbatas. Yang ada hanya fantasi-fantasi yang bergelantungan. Dan fantasi-fantasi itu justru membawa orang ke dosa yang lebih besar.

Saya bersama bodyguard Afghan di konsulat Afghanistan di Peshawar (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya bersama bodyguard Afghan di konsulat Afghanistan di Peshawar (AGUSTINUS WIBOWO)

“Kalau kamu ke Kandahar nanti, kamu bisa buktikan. Bercinta itu dosa. Tetapi bercinta dengan sesama laki-laki, ya Tuhan! Adakah dosa yang lebih besar daripada itu? Pada mulanya, Allah menciptakan manusia, satu laki-laki dan satu perempuan. Allah tidak menciptakan dua laki-laki!”

“Kalau saya jadi Karzai,” Wahid terus berkhayal, “saya akan melarang semua orang memakai shalwar kamiz. Hanya boleh pakai baju modern seperti kaus dan celana jeans.”
“Bukankah pakaian itu sudah menjadi tradisi Afghanistan?” protes saya.
“Tetapi kamu tahu, pakaian modern ini juga lambang pendidikan, kebebasan berpikir, dan kemajuan!”

Kalau Taliban menghakimi kualitas keimanan orang dari pakaiannya, Wahid menilai kemajuan berpikir orang dari celana jeans. Sama-sama ekstrimnya.. Di matanya, Kabul sudah jauh lebih modern daripada Peshawar, karena orang-orang Afghanistan lebih suka pakai baju a la Amerika dibandingkan orang Pakistan yang sangat setia terhadap shalwar kamiz.

Pemuda Afghan ini ingin keluar dari kumpulan debu yang sudah menjadi bagian dari seluruh hayatnya. Kumpulan debu ini, sudah bukan lagi tempat baginya, yang sudah merasa terlalu tinggi derajadnya untuk terus bergumul dengan segala macam kotoran yang menyelimuti negerinya.

Visa Afghanistan tiga bulan sudah tertempel rapi di paspor. Saya sudah tidak sabar untuk segera menuju negeri berselimut debu yang penuh misteri itu.

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 14 Mei 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

7 Comments on Titik Nol 202: Negeri Berselimut Debu

  1. sekarang sedang melanglang buana kemana Agustinus Wibowo? ..

  2. Mas, jln2 ke dlm negeri juga dong. Indonesia yg beragam budaya dg alam yg eksotis jg pasti tak kalah menarik. Kutunggu catatan perjalanannya ya mas…:)

  3. Ingat perang, ingat afghanistan.

  4. gede2 juga ya orang sana

  5. Really adore and love that Indonesian Guy… Love You!!!!

  6. tumben ada dalam foto mas agus

  7. Bagus bgt artikelnya bung

Leave a Reply to AL Akhyar Cancel reply

Your email address will not be published.


*