Recommended

Titik Nol 204: Kamp Pengungsi

Bocah pengungsi Afghan di kamp pengungsian Kacha Garhi, dalam kemonotonan warna kehidupan (AGUSTINUS WIBOWO)

Bocah pengungsi Afghan di kamp pengungsian Kacha Garhi, dalam kemonotonan warna kehidupan (AGUSTINUS WIBOWO)

Pulang. Mengapa harus pulang? Rumah sudah menjadi puing-puing. Tidak ada pekerjaan. Tidak ada roti. Tidak ada impian. Tidak ada yang tertinggal lagi, kecuali selimut debu, kerumunan orang-orang lapar, hancurnya kebanggaan masa lalu yang dibungkus rapat-rapat oleh pasir gurun dan gunung gersang.

Bazaar Khyber di jantung kota Peshawar adalah mesin waktu yang melempar saya ke zaman Seribu Satu Malam. Hanya satu warna yang ada: coklat kelabu. Pria-pria bersurban dan berjubah lalu lalang di jalan-jalan pasar Khyber yang berkelok-kelok bak rumah sesat. Di dunia yang hanya dikuasai laki-laki ini, wajah wanita nyaris tak terlihat sama sekali. Pasang-pasang mata besar dan garang mengintip dari balik kain hitam pekat. Itu pun jumlahnya masih bisa dihitung.

Keledai dan kuda menarik berbagai macam barang dagangan. Ada bagian yang khusus menjual jubah. Ada yang khusus menjual barang elektronik dari China. Ada lagi bagian baju-baju bekas yang dijual nyaris gratis. Bahkan topi beruntai manikam dari Kandahar, topi pakkol dari Gilgit, hingga peci Melayu, semua ada di bazaar besar ini.

Melayu memang pernah singgah di sini. Bukan hanya saya saja yang selalu berpeci untuk membawa identitas ke-Indonesia-an saya, yang hampir tak lagi dikenali lagi ketika saya sudah mengenakan jubah kamiz dan celana shalwar ala Pakistan. Soekarno pun pernah datang ke sini, berpidato di sebuah pertigaan tak jauh dari Bazaar Khyber. Pertigaan itu sekarang dinamai Soekarno Square. Waktu terus bergulir. Peshawar seakan tidak pernah lepas dari masa lalunya. Namun, orang sudah tak ingat lagi siapa itu Soekarno.

Pedagang topi dari Jalalabad, lebih betah tinggal di Peshawar (AGUSTINUS WIBOWO)

Pedagang topi dari Jalalabad, lebih betah tinggal di Peshawar (AGUSTINUS WIBOWO)

“Soekarno? Hmm… Siapa ya dia? Mungkin pahlawan dari India,” kata seorang apoteker yang tokonya terletak persis di depan Soekarno Square.

Latifullah, sepuluh tahun umurnya. Ia sangat lincah melayani pembeli. Tubuhnya sudah gemuk sekarang. Tiga tahun lalu ketika saya berada di toko topi tradisional ini, dia masih bocah kecil yang malu-malu menuangkan teh hijau ke dalam cangkir mungil. Sudah banyak pula celotehnya. Atau karena mungkin saya juga semakin lancar berceloteh dalam bahasa Urdu, dibandingkan tiga tahun silam. Toko topi ini punya abangnya, Khalifullah. Topi yang dijual di sana kebanyakan buatan tangan dari Afghanistan. Indah sekali detailnya, dengan manik-manik dan cermin-cermin kecil yang disulam rapi.

Toko Khalif tak pernah sepi. Seorang kakek tua berjenggot putih panjang sibuk mematut dirinya di depan cermin kecil punya Khalif. Topi putih yang hendak dibelinya dipasang miring ke kiri, miring ke kanan. Lama juga dia mengagumi dirinya dengan topi baru itu. Saya jadi teringat ABG yang mencoba mode pakaian terbaru di departement store di Indonesia.

Latif menuang lagi teh ke dalam cangkir-cangkir. Khalif menghirup dalam-dalam teh hijau panasnya.

“Benar kamu mau kembali lagi ke Afghanistan?” tanya Khalif.
Saya mengangguk.
“Kamu suka sekali Afghanistan?”
Saya mengangguk lagi.
“Apa sih yang mau kamu cari di sana?”

Apa yang saya cari? Pertanyaan ini pun sering menghantui saya dalam perjalanan ini. Apa yang saya cari, di tempat-tempat berdebu dan panas, yang orang pun malas untuk membayangkannya. Saya sering bergulat dengan pertanyaan yang satu ini. Sering kali orang yang bertanya tak bisa mengerti pula penjelasan saya. Ini adalah pertanyaan, yang sering ditanyakan dengan serius, namun kemudian berakhir dengan mengambang begitu saja di udara, hanya menjadi penghias percakapan belaka.

Pemerintah Pakistan terus mendorong para pengungsi untuk pulang ke kampung halaman (AGUSTINUS WIBOWO)

Pemerintah Pakistan terus mendorong para pengungsi untuk pulang ke kampung halaman (AGUSTINUS WIBOWO)

Adalah sebuah mimpi yang membawa langkah-langkah saya hingga ke sini. Mimpi untuk menyingkap rahasia Afghanistan, yang selama ini selalu tersembunyi di sudut angan, terbungkus selimut debu dan lekukan gunung-gunung tinggi. Afghanistan dalam benak saya, adalah barisan orang-orang bersurban yang melindungi gunung-gunung gundul tak bertuan. Sejarah yang membasuh bumi Afghan dengan darah, selalu membuat negeri ini sangat misterius.

Tiga tahun lalu, dengan mimpi yang sama, saya datang di hadapan Khalif. Dengan bahasa Urdu saya yang ala kadarnya, akhirnya Khalif menangkap maksud saya. Kecintaan yang sama tentang negeri yang sama, Afghanistan – di balik gunung sana.

Senyumnya yang manis tersungging dari balik jenggot tipisnya.

Khalif kemudian menceritakan tentang kampung halamannya di Jalalabad. Panasnya memang membakar kulit, tetapi hijaunya lembah yang dipenuhi anggur dan melon yang manisnya luar biasa itu ibarat surga di bumi. Khalif, seorang dari jutaan pengungsi Afghan di Pakistan, sudah lama menetap di Peshawar. Namun sesekali ia pulang ke Jalalabad.

“Afghanistan sekarang sudah lebih baik,” kata Khalif.
“Tidak. Peshawar masih jauh lebih baik.”

Pulang, mungkin memang kata terakhir yang terbersit di pikiran Sher Shah, 22 tahun, seorang pengungsi, juga dari Jalalabad di bagian timur Afghanistan. Kampung halaman sudah bukan lagi kebun anggur yang indah. Dalam bayangannya yang ada hanyalah puing-puing dan kehancuran.

“Mengapa harus pulang? Kami sudah tidak punya tanah, tidak ada rumah, tidak punya apa-apa lagi. Apa lagi yang bisa kami kerjakan? Apa lagi?”

Bukankah Peshawar adalah kota yang nyaman? Mereka semua berbicara bahasa Pashtun, sama dengan yang ada di Afghanistan. Jalan-jalan lebar dan mulus. Mobil-mobil berlalu lalang. Pasar-pasar selalu hiruk pikuk. Tak ada perang dan ketakutan. Belum lagi gadis-gadis bisa pergi sekolah dengan bebas. Walaupun harus tinggal di rumah-rumah lumpur yang kotor, bagi Sher Shah, Peshawar adalah rumahnya.

Kamp pengungsi Kacha Garhi di distrik Hayatabad tak jauh dari pusat kota Peshawar, tempat sekarang Sher Shah tinggal, memang sudah ada lebih dari 25 tahun lalu. Waktu itu, tentara-tentara kulit putih dari Rusia sudah menduduki Kabul. Afghanistan ikut berkibar bersama merahnya panji-panji komunis Uni Soviet. Tanah Afghan pun bersamanya menjadi merah, karena darah mengalir di mana-mana.

Manusia, bak air bah, menggelegak menyerbu negeri-negeri tetangga, mencari keselamatan dan kehidupan yang lebih baik daripada kampung halaman yang kini berubah jadi neraka. Di antara jutaan manusia itu, ada orang tua Sher Shah yang membawa impian tentang hidup baru di Peshawar, bersama bayi mereka yang baru berumur dua tahun.

Banyak bocah yang terpaksa berakhir menjadi tukang pungut sampah (AGUSTINUS WIBOWO)

Banyak bocah yang terpaksa berakhir menjadi tukang pungut sampah (AGUSTINUS WIBOWO)

Dua puluh tahun si bayi kecil ini hidup di perkampungan kumuh Kacha Garhi, menjadi pemuda pengangguran Sher Shah yang sedang berdiri di hadapan saya. Rumah-rumah kecil dari lumpur menyebar tak beraturan sejauh mata memandang. Merayap. Mengular. Kotor. Semrawut. Berbungkus debu.

Kacha Garhi adalah perkampungan pengungsi Afghanistan pertama di Pakistan, ketika gelombang demi gelombang orang Afghan menemukan tanah yang baru di pinggiran kota Peshawar. Perlahan-lahan, perkampungan ini terus bertambah luas. Sudah ratusan ribu orang Pashtun dari Afghan yang ikut menggantungkan mimpi bersama kekumuhan Kacha Garhi dan Peshawar.

Orang-orang ini, datang dari pelosok-pelosok desa Nangarhar, Khost, Baghlan, Kabul, dan macam-macam daerah di Afghanistan, memang bukan imigran berkualitas yang dicari-cari negara asing. Sebagian besar tak berpendidikan. Opium dan bedil pun ikut dibawa. Belum lagi orang-orang Afghan ini sudah tidak merasa sebagai tamu lagi di Peshawar. Peshawar sudah dianggap tanah Pashtunistan, rumahnya orang Afghan.

Setelah robohnya kekuasaan Taliban, upaya demi upaya untuk memulangkan orang-orang Afghan di Peshawar ini sudah berkali-kali dilakukan. Tak semua orang mau pulang. Tentu saja. Siapa yang tahu pasti apa yang akan terjadi di kampung halaman yang sudah diluluhlantakkan oleh tiga puluh tahun peperangan.

Apa yang mau dicari di kampung halaman? Hanya selimut debu. Sher Shah mengeluh.


(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 18 Mei 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Titik Nol 204: Kamp Pengungsi

  1. Jenengan kpn melanjutkan perjalanan ke afrika?? Kulo tunggu tulisannya..

Leave a comment

Your email address will not be published.


*