Recommended

Mazar-i-Sharif – Secuplik Masa Lalu

During Taliban era, celebrating Naoruz was forbidden

During Taliban era, celebrating Naoruz was forbidden

“Sekarang semua serba mahal. Waktu zaman Taliban, semuanya murah,” Obaidullah (32 tahun), kakak Naqeebullah memulai selasar kenangannya tentang kehidupan Mazar di masa lalu. Harga barang yang terus melambung tinggi belakangan ini menjadi bahan kegelisahan hampir semua orang. Roti nan yang tahun kemarin masih 5 Afghani sekarang sudah jadi 10 Afghani (sekitar 2.000 Rupiah). Harga sepiring nasi di Salang sekarang 100 Afghani, dua dollar.

Obaid berkumis tipis, berkaca mata, dan bertubuh besar. Sekarang bekerja sebagai insinyur di sebuah NGO lokal bernama CHA (Coordination for Hummanitarian Assistance). Bahasa Rusianya bagus sekali karena ia melewatkan waktu bertahun-tahun sebagai insinyur di Uzbekistan dan beberapa bulan di Turkmenistan. Sering kali ia lebih suka berbicara dalam bahasa Rusia daripada bahasa Dari dengan saya. Bahasa Inggrisnya pas-pasan.

“Waktu zaman Taliban dulu, sewa rumah tak sampai 40 dolar. Sekarang, sudah ratusan dolar per bulannya.” Tetapi itu bukan berarti hidup di zaman Taliban lebih mudah. Walaupun harga murah, tetapi orang tak punya uang. Tak ada pekerjaan. Dan semua dirundung ketakutan.

“Siapa yang tak takut, potongan tangan digantung di pohon, untuk memperingatkan orang akan kejamnya hukuman bagi para pelanggar.” Obaidullah menceritakan bagaimana Taliban melaksanakan hukum rajam dan gantung di lapangan.

“Waktu pertama kali, kami memang berbondong-bondong ke stadium. Saya juga penasaran melihat bagaimana pelaksanaan hukuman yang katanya menegakkan hukum Islam itu. Tetapi setelah melihat itu semua, saya berkata dalam hati, ‘Tidak! Ini bukan Islam!’. Sejak saat itu saya tidak pernah lagi melihat acara mengerikan itu.”

NGOs and humanitarian projects sprung up all over Afghanistan in post-Taliban time

NGOs and humanitarian projects sprung up all over Afghanistan in post-Taliban time

Keluarga Naqeeb dan Obaid adalah etnis Tajik, suku yang menjadi mayoritas di Afghanistan bagian utara. Taliban adalah orang Pashtun, berasal dari selatan. Bahasa mereka sama sekali berbeda. Orang Tajik berbahasa Dari (atau Tajik, atau Farsi, atau Persia, sama saja istilahnya), sedangkan orang Pashtun berbahasa Pashto, yang susah sekali dipelajari. Kedua bahasa ini adalah bahasa nasional Afghanistan tetapi tidak semua orang bisa kedua bahasa ini sekaligus.

Kedatangan Taliban ke kota Mazar langsung disambut pertumpahan darah. Yang pertama kali, pejuang etnis Hazara yang menganut aliran Syiah bangkit melawan pasukan Taliban. Orang-orang Pashtun yang tersesat dalam gang-gang kota Mazar yang semrawut bak labirin langsung dibantai.

Kesempatan kedua ketika Taliban berhasil menaklukan hampir seluruh negeri Afghan, giliran etnis Hazara yang menjadi bulan-bulanan pembantaian. Taliban masuk ke setiap rumah, membunuh setiap orang Hazara yang dijumpainya. Pembunuhan rakyat sipil di dalam rumah, mulai dari orang tua, perempuan, anak-anak, hingga bayi yang baru lahir sekali pun, masih terasa kejam dalam keganasan perang macam apa pun. Mayat orang-orang dari etnis itu dibiarkan di jalan sampai berhari-hari, menjadi santapan anjing jalanan. Dendam yang tak pernah padam seperti inilah yang membuat Afghanistan dipenuhi semangat kebencian etnis dan banjir darah.

Development, development, and development

Development, development, and development

Konsulat Iran, yang kantornya di dekat rumah Obaid sekarang ini, juga menjadi sasaran amuk Taliban. Iran tidak mendukung Taliban dan membantu perjuangan etnis Syiah Hazara. Semua diplomat Iran yang sedang naas di dalam konsulat itu digorok oleh Taliban. “Seorang jurnalis,” kata Obaid, “kasihan sekali dia, baru datang dari Iran, masih muda. Dia teman saya. Saat itu dia juga tinggal di kantor konsulgari – konsulat, juga ikut menjadi korban.”

“Mereka juga masuk ke rumah kami, melakukan razia,” lanjut Obaid, “kami tidak boleh memasang foto di tembok. Tidak boleh ada televisi, kaset musik. Semua pria harus berjenggot dan semua wanita tertutup chadri.”
Rumah keluarga Obaid tersembunyi dalam gang sempit yang ruwet, bagaiman Taliban bisa menemukan mereka?
“Mereka jumlahnya ribuan, berpencar ke berbagai penjuru. Tak ada yang terlewatkan sama sekali. Bersih.”
Inilah arti ‘pembersihan etnis’ yang benar-benar harafiah.

Orang tak boleh mendengarkan musik, karena musik itu haram. Tidak ada televisi. Jurnalis juga tak perlu. Yang bisa didengarkan orang cuma radio yang isinya melulu lantunan doa keagamaan. “Siapa yang tak bosan hidup seperti itu?” kata Obaidullah dalam bahasa Rusia, “ochen skuchna, ochen ochen skuchna!”

Now you can travel freely and singing along the way

Now you can travel freely and singing along the way

Sebenarnya, hidup pada zaman Taliban jauh lebih mahal daripada sekarang. Bahkan mendengarkan musik pun taruhannya nyawa. Ataukah sebaliknya, apakah harga nyawa zaman itu terlalu murah, bahkan lebih murah daripada gandum dan beras?

Obaid pernah ditangkap Taliban gara-gara tidak bertopi. Waktu itu jenggot wajib hukumnya. Tutup kepala juga. Lebih bagus lagi kalau memakai surban. Pakaian ala Barat diharamkan, semua harus memakai jubah atau shalwar qameez. Yang melanggar itu kena cambuk atau dipenjara.

Obaid meringkuk di penjara selama seminggu. Penjara terlalu penuh karena setiap kesalahan sepele hukumannya penjara. Di penjara pun tak diapa-apakan, cuma melewatkan waktu saja.

Betapa kontras hidup di zaman Taliban dengan ketika ia masih insinyur di Uzbekistan. Kala itu negeri-negeri Asia Tengah masih baru merdeka. Dolar Amerika masih dihargai 3 Sum Uzbek (sekarang 1 dolar = 1250 Sum, dan nilai tukarnya masih terus melorot). Turkmenistan masih menawarkan visa on arrival dan Ashgabat masih kumuh. Betapa Obaid teringat gadis-gadis Asia Tengah yang bebas bekerja, juga umat Muslimnya yang teramat santai.

“Pernah kami singgah di Termiz, tengah malam. Kelaparan sekali. Ada satu warung yang buka, tetapi kebab sudah habis. Kami dibisiki, ditawari sate babi. Saya terkejut sekali. Muslim Uzbek sana sama sekali tidak peduli, makan daging haram tidak masalah.”

Termiz adalah kota perbatasan Uzbek, hanya dua jam perjalanan dari Mazar, di seberang sungai Amu Darya sana. Tetapi kehidupan di seberang sungai sudah seperti kehidupan di dunia lain.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*