Recommended

Garis Batas 16: Semalam di Alichur

Alichur, Kota Gembala di Pengunungan Pamir (AGUSTINUS WIBOWO)

Alichur, Kota Gembala di Pengunungan Pamir (AGUSTINUS WIBOWO)

Di antara semua kesusahan hidup di Tajikistan, yang paling berat adalah transportasi. Langar memang sangat terpencil. Letaknya bukan di jalan utama, sehingga dalam sebulan mungkin hanya ada satu kendaraan saja yang lewat. Saya ingin meneruskan perjalanan ke utara, menuju Pamir Highway yang menghubungkan Tajikistan dengan Kyrgyzstan, negara tujuan saya berikutnya.

Tetapi menunggu satu bulan di Langar tentu saja bukan pilihan. Visa Tajikistan, yang saya beli dengan harga 250 dolar di Kabul, hanya memberi saya ijin tinggal satu bulan. Khalifa Yodgor memang orang baik. Tahu kesulitan saya, ia membantu mencarikan saya kendaraan yang akan membawa saya melanjutkan perjalanan.

Pemilik mobil yang satu ini memang sudah lama menganggur. Tahu saya ingin ke Alichur, dia langsung mengeluarkan sederetan hitung-hitungan yang membuat kepala saya pening.

“Jarak Langar ke Alichur 120 kilometer. Pergi pulang 240 kilometer. Naik turun gunung, 1 liter bensin cuma untuk 3 kilometer. Kamu paling tidak harus memberi 80 liter bensin.”

“Bisa bayar tidak pakai uang?”

“Terserah kamu, mau bayar pakai bensin atau bayar pakai uang?”

Apakah dia menganggap saya sebagai suplier bensin yang selalu membawa 80 liter bensin ke mana-mana? Atau memang di sini, di mana BBM langka sampai harganya mencekik leher, bensin pun sudah jadi mata uang? Sebenarnya kalau boleh, saya lebih memilih membayar pakai doa saja.

“Kalau bayar pakai uang berapa?”

Dia mengeluarkan kalkulatornya.

“Empat Somoni per liter bensin. Kali 80 liter. Kamu bisa bayar 320 Somoni!”

Hah! Sembilan puluh dolar lebih! Mahal amat!. Bukankah harga bensin hanya 3.80 Somoni?

“Itu harga di Vrang. Di sini, semakin tinggi tempatnya, semakin mahal harga bensinnya,” supir itu keukeuh dengan harga yang diberikan. Tidak bisa ditawar. Pilihannya hanya dua, bayar pakai bensin atau dengan lembaran Somoni.

Saya tak punya uang sebanyak itu. Rasa putus asa mendekat di hati saya. Kami terdiam. Akhirnya, supir mobil mengaku, kalaupun saya bayar, bensinnya juga tidak ada. Harus tunggu dulu sampai ada pedagang bensin dari Vrang atau Ishkashim. Ya ampun! Jadi buat apa tadi  saya menawar sampai berbusa-busa. Mungkin itu hanya pengobat bosannya sebagai supir pengangguran.

Di tengah kebingungan, tiba-tiba Yodgor berlari menghampiri saya menyampaikan kabar gembira. Tetangga-tetangga sedang sibuk men-charter mobil. Mereka semua hendak ke Murghab, jadi saya bisa menumpang dengan damai. Berangkatnya besok, pagi-pagi buta. Saya hampir meloncat saking senangnya. Terima kasih Tuhan! Saya bisa melanjutkan perjalanan.

Esoknya, pagi-pagi benar, saya berkemas siap berangkat. Saya mengucap selamat tinggal kepada Yodgor, istri dan anak-anaknya. Saya juga pamitan kepada Tilo. Komandan tentara itu, berubah menjadi gembala kambing di pagi hari. Sama seperti Yodgor sang khalifa yang jadi gembala sapi.  Saya juga merasa sangat berat meninggalkan Tilo. Ingin sekali saya tinggal lebih lama di Langar. Saya sangat menghargai perjumpaan dengan Tilo. Semuanya seperti suratan takdir yang serba kebetulan. Entah kapan saya bisa berjumpa lagi dengan komandan yang satu ini.

Agar nasib boshad,” Tilo seakan membaca pikiran saya, “kalau nasib mengizinkan, pasti kita berjumpa lagi.”

***

Perjalanan ke arah utara memang berat. Jalanan terus menanjak. Di sebelah kanan kami, Sungai Pyanj dengan setia mengalir. Di seberang sana Afghanistan juga setia berderet-deret. Afghanistan di seberang sana adalah Pamir-e-Kalon, Pamir Besar, menyambungkan lembah Wakhan sampai ke negeri China. Di sisi sebelah sini, jeep Rusia dengan tangguh melintasi jalan beraspal. Di seberang sana, jalan setapak kecil di pinggang gunung dilintasi rombongan karavan unta, kuda, dan keledai. Yang nampak hanya rombongan pria bersurban dalam jubah kebesaran. Mereka adalah para saudagar Pashtun yang datang jauh-jauh dari pedalaman Afghanistan ke Pegunungan Pamir untuk membeli ternak dari penggembala nomaden suku Kirghiz.

Dunia di seberang sana, yang dipisahkan oleh sungai selebar 20 meter, adalah dunia lain dari zaman ratusan tahun lampau. Dari jeep yang melaju kencang, saya mengamati unta-unta dan orang bersorban di dunia lain itu.

Perjalanan ini terasa sangat panjang. Karena mobil terlambat berangkat, kami baru sampai di Alichur pukul 10 malam. Setiba di Alichur kami mencari warung untuk makan. Ada sebuah warung kecil di pinggir pemukiman. Suara anjing gembala meraung-raung tanpa henti, mengingatkan saya pada hutan yang penuh serigala. Warung ini gelap gulita. Tak ada listrik di sini. Lampu petromaks menyamarkan wajah-wajah garang para pengunjung warung.

Saya berasa sudah tidak di Tajikistan lagi. Negeri yang semula sangat familiar kini berubah menjadi asing sama sekali. Orang-orang di warung itu duduk di lantai sambil bersantap dan bercengkerama. Mereka berbicara dengan bahasa yang tidak saya pahami. Saya hanya mengerti bahasa Tajik yang menjadi alat komunikasi saya dengan sesama penumpang dari Langar.

Pemilik wajah-wajah sangar di warung itu adalah supir truk dari Kyrgyzstan, negara tetangga di utara sana. Pemilik warung pun wanita etnis Kirghiz. Wajahnya dingin. Tak ada senyum dan kata-kata di mulutnya. Seperti orang Afghan, kami duduk berbaris di atas tikar, menantikan semangkuk sup daging kambing penuh minyak. Kami layaknya murid yang menantikan guru membagikan lembar ujian. Orang-orang Tajik rombongan saya duduk membisu. Warung ini dipenuhi bahasa Kirghiz dan aroma vodka.

Sehabis makan, orang-orang dari Langar segera kembali ke mobil untuk meneruskan perjalanan ke Murghab. Saya memilih tinggal di stolovaya, warung gelap dan asing ini. Pilihan gila? Bisa jadi. Tetapi saya benar-benar ingin mengintip  Kyrgyzstan dari bias-bias sinar cahaya para supir truk yang mulutnya menebar aroma vodka.

Untung di antara sepuluhan penginap di stolovaya ini, ada satu orang Tajik. Satu-satunya orang yang bisa saya ajak ngobrol. Namanya Dudkhoda, orang desa dari Shegnon yang menumpang gratisan truk orang Kirghiz  sampai ke Murghab. Dudkhoda berjanji akan membawa saya turut serta bersama supir-supir Kirghiz esok pagi sampai ke Murghab.

Orang Kirghiz berbeda perawakannya dengan orang Tajik. Kalau orang Tajik lebih mirip orang Eropa, berhidung mancung, bermata lebar, berambut sedikit pirang, bahkan ada beberapa yang berbola mata hijau dan biru, maka orang Kirghiz lebih mirip orang Mongol. Hidungnya datar, matanya kecil, tulang pipinya tinggi. Bahasa Kirghiz terdengar sangat berat dan kasar, penuh suara monoton yang kalau bicara harus memonyong-monyongkan bibir dan menggaruk-nggaruk kerongkongan. Bahasa Kirghiz sama sekali berbeda dengan Bahasa Tajik. Bahasa Tajik mirip bahasa Persia di Iran. Bahasa Kirghiz malah berkerabat dengan Bahasa Turki.

Yang menjadi bahasa pemersatu di stolovaya mungil ini justru bahasa Rusia. Agak aneh, sebab Moskwa lebih dari lima ribu kilometer jauhnya dari sini. Tetapi, itulah kenyataannya. Bahasa Rusia masih menjadi satu-satunya alat komunikasi di tempat terpencil di balik lekukan gunung-gunung tinggi ini.

Dengan bahasa Rusia yang terbatas plus gurauan-gurauan konyol, saya berhasil menjalin persahabatan dengan supir-supir Kirghiz itu. Mereka menawari vodka, tetapi saya lebih tertarik belajar bahasa Kirghiz dari mereka.

Atyng kim?”, nama kamu siapa. Kedengarannya tak susah juga. Wanita gemuk dan galak pemilik stolovaya meminjami saya buku pelajaran bahasa Kirghiz milik anaknya yang masih duduk di bangku SD.

Saya membolak-balik buku itu. Semuanya dalam bahasa Kirghiz, ditulis dalam huruf-huruf Rusia. Bab pertama, “Ata mekenim Kyrgyzstan“. Tanah airku Kyrgyzstan. Saya bersorak bangga. Saya berhasil mengucapkan kalimat pertama saya dalam bahasa Kirghiz. Para supir truk tertawa senang. Pemilik stolovaya yang judes pun ikut tersenyum. Buku mungil yang sobek di sana sini itu nampak sangat menarik. Ada bab tentang lagu kebangsaan, bendera, lambang negara Kyrgyzstan, juga kisah tentang Manas, gunung-gunung tinggi di negara itu, dan kota-kota industri di sana. Sepertinya ini buku geografi, dan memang terbitan negara tetangga.

Belakangan saya tahu, etnik Kirghiz yang tinggal dan menjadi warga negara Tajikistan diberi kebebasan untuk belajar dalam bahasa sendiri, di samping harus bisa bahasa Tajik. Buku-buku pelajaran bahasa Kirghiz semua didatangkan langsung dari Kyrgyzstan, penuh dengan pesan moral dan semangat kebangsaan negara tetangga. Anak ibu gemuk yang paling besar, Nasir, 10 tahun, lancar menyanyikan lagu kebangsaan Kyrgyzstan. Sebagai penduduk Tajikistan, bahasa Tajiknya sangat terbatas. Tidak heran, sebab di Alichur, yang hampir semua penduduknya dalah suku Kirghiz, bahasa Tajik tidak laku.

Malam semakin larut. Alichur, padang gembala di pedalaman Pamir, telah menawarkan secuplik Kyrgyzstan kepada saya yang masih mengembara di Tajikistan. Dalam kegelapan total, di balik selimut tebal di atas lantai warung yang keras dan bau, saya terus membatin sambil menggumam, “Ata mekenim Kyrgyzstan… ata mekenim Kyrgyzstan…”

 

(bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan ulang sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 27 Maret 2008

1 Comment on Garis Batas 16: Semalam di Alichur

  1. “GARIS BATAS” sudah dibaca, sy pengen baca SELIMUT DEBU dan TITIK NOL btw bukunya tidak ada di Palu…ada yang mau bantu cariin buknya buat saya……..

Leave a comment

Your email address will not be published.


*