Recommended

Garis Batas 17: Padang Gembala

Anak-anak Kirghiz bermain di dekat truk Kamaz. (AGUSTINUS WIBOWO)

Anak-anak Kirghiz bermain di dekat truk Kamaz. (AGUSTINUS WIBOWO)

Semalam di Alichur, tidur di dalam stolovaya, di atas lantai dingin dan dibungkus selimut tebal yang kotor, mungkin bukan idaman semua petualang. Supir-supir truk yang tidak saya kenal dan saya ingat wajahnya, kecuali satu dua orang saja, tidur berjajar seperti ikan yang digelar di pasar. Dalam kegelapan total, suara dengkuran sahut menyahut, seakan bersaing dengan lolongan anjing-anjing gembala di luar sana. Tak bisa tidur, saya membuka mata. Yang terlihat hanya hitam.

Tiba-tiba sebuah tangan merangkul saya. Di warung yang sempit ini memang tidak banyak tempat. Saya berbagi tikar dan selimut dengan Dudkhoda, pria Tajik yang menjadi teman bicara saya. Tak tahu apa artinya pelukan ini. Mungkin dia sudah pulas. Tapi, tidak terdengar dengkuran dari mulutnya. Ada hembusan napas yang lebih cepat dari biasanya.

Saya diam saja.

Tiba-tiba telapak tangan asing itu meraba-raba tubuh saya. Aduh, apa lagi ini? Bau vodka tercium kuat. Dudkhoda tidak sedang tidur lelap. Sepertinya ia butuh sesuatu untuk pelampiasan hasratnya. Suara dengkuran supir-supir Kirghiz masih bersahutan tanpa henti, seperti konser orkestra. Perjuangan Dudkhoda pun tidak pernah berhenti. Berkali-kali saya mengembalikan tangan itu ke tempat yang seharusnya. Berkali-kali pula tangan itu mendarat lagi di atas tubuh saya.

Malam itu terasa panjang bagi saya, tapi akhirnya berlalu juga. Saya, yang kecapekan karena perjalanan panjang dari Langar dan seteguk vodka yang merampas kesadaran, akhirnya tertidur pulas dan tak tahu lagi ke mana tangan nakal Dudkhoda mengembara.

Kabut tipis masih menyelimuti Alichur ketika matahari menampakkan dirinya. Langit yang biru kelam berhamoni indah dengan barisan gunung dan padang rumput yang menghampar. Rumah-rumah yang bentuknya seragam, kotak-kotak serderhana, satu demi satu mengepulkan asap melalui cerobong-cerobong panjang. Anjing-anjing berukuran besar berkeliaran, melolong, dan berlari-lari dengan ganas.

Kota ini adalah kota orang Kirghiz, bangsa penggembala. Rumah-rumah bertebaran acak di atas padang gembala, mengisi setiap petak yang bisa diisi. Bertebaran tak beraturan bak bintang di langit. Bangsa penggembala yang hidup di alam luas sejak ribuan tahun memang tidak perlu tahu terlalu banyak tentang aturan tata kota. Sejauh mata memandang, hanya ada padang dan gunung-gunung tak bertuan. Luas tak berbatas. Apa gunanya tata kota di sini?

Padang ini, yang mulai mengering di bulan Oktober, pastilah hamparan permadani hijau yang sangat indah yang menyelimuti bumi. Padang inilah yang menarik kaum penggembala dan ternak-ternak mereka di musim panas. Orang Kirghiz, salah satu bangsa nomaden di Asia Tengah, tersebar di Tajikistan, Afghanistan, Kazakhstan, China, dan tentu saja negaranya sendiri Kyrgyzstan.

Karakteristik orang Kirghiz sangat Mongoloid, sangat jauh berbeda dengan orang Tajik yang berkarakteristik wajah Eropa. Mata yang relatif sipit dan hidung datar membuat mereka sangat mirip dengan orang China dan Jepang. Mereka menganut agama Islam Sunni, sedangkan orang Tajik di Pegunungan Pamir umumnya Syiah sekte Ismaili. Tetapi, karena kebudayaan nomaden yang sangat kental dan agama Islam dalam sejarah orang Kirghiz masih relatif baru, kehidupan orang Kirghiz jauh dari kesan religius. Hampir tak ada orang yang bisa membaca huruf Arab. Jangan tanya soal shalat, puasa, atau larangan minum alkohol. Arti Islam direduksi hanya menjadi kalimat syahadat dan pantangan makan daging babi.

Suku Kirghiz tidak begitu membaur dengan orang Tajik, bangsa mayoritas di Tajikistan. Kendala utama selain budaya, agama, juga bahasa. Jarang sekali orang Kirghiz yang bisa bahasa Tajik, demikian pula sebaliknya. Walaupun dua bangsa ini sama-sama tinggal di Tajikistan, bahasa pemersatu mereka adalah bahasa Rusia. Orang Rusia datang menjajah seluruh penjuru Asia Tengah berabad silam. Mereka jugalah yang menciptakan sebuah negara bernama Tajikistan.

Nyonya pemilik warung sama sekali tidak bisa bahasa Tajik. Anak-anaknya, Naser (10 tahun) dan Aziz (8 tahun) bisa sedikit-sedikit bahasa Tajik karena diajari di sekolah. Umer, 5 tahun, anak tetangga, malah sama sekali tidak bisa sepatah kata pun bahasa Tajik. Negara Tajikistan memang baru berumur 15 tahun. Paham kebangsaan dalam sanubari etnis-etnis minoritas memang harus ditumbuhkan perlahan. Generasi muda Tajikistan, tak peduli dari etnis mana pun, memang harus bisa berbicara dalam bahasa nasional.

Alichur mengingatkan saya pada bebasnya hidup pengembara. Naser, Aziz, dan Umer sibuk bermain sepanjang hari. Mengejar gelindingan roda, naik-naik ke atas truk, dorong-dorongan, pukul-pukulan, dan mengejar-ngejar anjing yang ukurannya hampir sama tingginya dengan bocah-bocah itu. Mereka memang pemberani, sebagaimana seharusnya anak-anak gembala.

Hari ini Dudkhoda berjanji membawa saya ke Murghab dengan menumpang truk orang Kirghiz itu. Dia sibuk menaruh barang bawaannya ke dalam bak terbuka itu. Dua ikat besar kayu bakar. Supir-supir Kirghiz juga sibuk memeriksa kendaraannya sejak pagi tadi. Ada yang membuka kap mobil, menghidupkan mesin, melemparkan asap hitam ke pelukan langit biru. Truk-truk ini semua buatan Rusia, berlabel besar-besar : KAMA3, dibaca Kamaz. Ada tiga Kamaz yang dibawa supir-supir itu. Semua membawa hewan ternak. Truk-truk ini datang jauh-jauh dari Kyrgyzstan membawa batu bara untuk dijual di Tajikistan. Uang hasil penjualan batu bara mereka belikan kawanan sapi, kambing, dan sejenisnya untuk dipasarkan di negeri Kirghiz sana. Ini bisnis yang paling menguntungkan di sini.Sepanjang hari saya menunggu di dalam warung. Saya menghindari Dudkhoda, yang juga diam sedari pagi. Kami sama sekali tidak membahas apa yang terjadi semalam. Kali ini saya benar-benar butuh bantuannya di tengah orang-orang  Kirghiz yang asing ini.

Pria Khirgiz dengan topi bulu. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pria Khirgiz dengan topi bulu. (AGUSTINUS WIBOWO)

Lama sekali supir-supir itu mereparasi Kamaz yang mogok. Seorang kakek tua dari Alichur datang ke warung, katanya ingin menumpang sampai ke Murghab juga. Kakek tua itu seakan datang dari dunia lain saja. Gurat-gurat di wajahnya mengesankan umurnya sudah lebih dari seabad. Jubah hitamnya mengantarkan aura kebesaran. Selapis kumis tipis dan sejumput jenggot, mengingatkan saya pada Genghis Khan. Topi bulunya benar-benar dari kulit hewan, menyatu dengan batok kepalanya, membuatnya seperti manusia berbulu hewan.

Saya ingin sekali melihat kakek dari zaman kemarin ini naik ke Kamaz. Pasti menjadi perpaduan yang indah antara masa kini dengan masa prasejarah. Tetapi sayang, supir-supir truk ini tidak menerima penumpang gratisan. Dudkhoda setidaknya menawarkan makan malam kepada supir Kamaz di Murghab nanti. Dan saya sebagai tamu Dudkhoda juga akan diangkut gratis. Tetapi tidak untuk kakek Kirghiz tua dengan kepala berbulu rubah.

Menjelang tengah hari, baru barisan tiga Kamaz ini berderet-deret meninggalkan Alichur. Saya bersorak girang. Melompat ke salah satu Kamaz. Duduk di samping saya adalah Dudkhoda, yang masih membuat saya diam seribu bahasa. Tak apa. Pemandangan di kanan kiri jalan sangat mengagumkan. Langit seakan tertangkup di atas kepala. Garis cakrawala bersambung dengan lekukan gunung. Jajaran gunung di kejauhan sana nampak hampir sama tingginya dengan Kamaz yang saya tumpangi. Entah kami sedang berada di ketinggian berapa, tetapi yang jelas tidak kalah dari puncak Semeru.

Kamaz, ibarat gajah di dunia hewan. Besar, tangguh, perkasa. Tetapi ia memang lambat. Berkali-kali raksasa jalanan ini mogok. Saya melompat turun. Jehangir, supir truk yang orang Kirghiz dan berbadan tambun itu sibuk membuka mesin. Penumpang harus turun. Saya dan Dudkhoda menggigil kedinginan. Angin di Pegunungan Pamir memang bukan tipe angin sepoi-sepoi untuk dinikmati. Setiap kali angin menerpa wajah saya, bulu-bulu hidung saya langsung membeku. Sakit sekali.

Murghab tak lebih dari 100 kilometer jauhnya dari Alichur. Tetapi perjalanan di tengah padang gembala dan gunung-gunung tinggi ini memakan waktu hampir seharian. Kamaz merayap lambat di atas Pamir Highway yang beraspal mulus. Ketika jalan mendaki, kendaraan ini memanjat pelan-pelan sambil menghembuskan gas buangan tanpa henti. Kalau jalan turun pun Kamaz juga harus merayap perlahan kalau tidak ingin tergelincir. Menjelang gelap rombongan Kamaz kami baru sampai di pintu gerbang kota Murghab.

Di pintu gerbang ini ada pos pemeriksaan tentara Tajikistan. GBAO memang propinsi sensitif. Pemeriksaan tentara di mana-mana. Semua melompat turun dan menunjukkan paspor masing-masing. Saya masuk ke ruang gelap itu. Ada kasur bersusun. Seorang tentara, sepertinya komandan, sambil tiduran berbungkus selimut, memeriksa dokumen-dokumen kami. Supir-supir Kirghiz menunjukkan paspor biru mereka, berjudul besar: KYRGYZ RESPUBLIKASY. Dengan garang, di balik selimut tebal dan di atas sandaran bantal kumalnya, si komandan membolak-balik paspor-paspor itu.

Suaranya tiba-tiba menggelegar.

“Mana registrasinya?”

Supir-supir Kirghiz tertunduk, diam seribu bahasa. Orang-orang bertubuh besar ini seketika meringkuk seperti murid SD yang disetrap gurunya karena lupa mengerjakan pe er. Si komandan langsung melanjutkan ceramahnya tentang arti pentingnya registrasi, sambil menunjukkan contoh registrasi ‘yang baik dan benar’ dari paspor Indonesia saya.

Brat, kalau kamu masuk Tajikistan, kamu harus ikut hukum Tajikistan,” suara menggelegar dalam bahasa Rusia yang kasar dan cepat terus berkumandang dari balik selimut tebal.

“Kalau tinggal di sini lebih dari tiga hari, registrasi wajib hukumnya!” sergap komandan itu lagi.

Dia melemparkan paspor-paspor Kyrgyzstan itu seperti buku-buku tak berharga. Semua supir Kirghiz ini kena denda, masing-masing 20 Somoni atau sekitar 6 dolar.

Dua puluh Somoni membuat salah satu supir ini menitikkan air mata. Bagi pria bertubuh besar dan garang ini, kehilangan 20 Somoni hanya gara-gara cap registrasi cukup untuk memproduksi rasa haru dan sedih. Untuk urusan duit, komandan Tajikistan susah ditawar. Dibandingkan dengan orang-orang Kirghiz ini, saya sebenarnya membayar jauh lebih mahal demi mendapatkan registrasi ‘yang baik dan benar’. Sepuluh dolar di Dushanbe dan sepuluh dolar di Khorog untuk mendapatkan dua cap buruk rupa di tengah paspor saya. Tajikistan memang hidup dari gemerisik roda birokrasi.

Langit semakin gelap ketika rombongan kami sampai ke pekarangan rumah Dudkhoda. Rumah-rumah di sini semua gelap dan bobrok. Sunyi. Tak ada kehidupan, laksana rumah hantu. Tetapi rumah-rumah hantu di pekarangan inilah yang membuat saya berbalik simpati kepada Dudkhoda.

(Bersambung)

 

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan ulang sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 28 Maret 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*