Recommended

Garis Batas 20: Bagaimana Caranya Keluar dari Sini?

Bazaar Kota Murghab (AGUSTINUS WIBOWO)

Bazaar Kota Murghab (AGUSTINUS WIBOWO)

Bagaimana caranya keluar dari Murghab? Saya sudah tak sabar lagi ingin keluar dari kota yang penuh dengan kemuraman hidup ini. Apalagi, visa Tajikistan saya hanya tersisa empat hari. Saya harus selekasnya masuk ke Kyrgyzstan sebelum visa kadaluwarsa.

Murghab memang bukan tempat yang nyaman untuk menunggu kendaraan. Sudah dua hari saya menunggu di pasar Murghab yang sepi dan malas itu. Begitu pula dua orang backpacker bule, orang Israel dan Amerika, yang saya temui di sana. Di sini, tidak seperti di Langar, banyak sekali mobil. Tetapi, tidak ada penumpang. Orang tidak mampu membayar karcis perjalanan yang melambung. Harga bensin di Murghab 3.40 Somoni per liter, lebih murah daripada di Langar yang terpencil. Selain kami bertiga, tidak ada lagi yang berniat pergi ke Kyrgyzstan.

Melihat backpacker bule  para supir tidak mau melewatkan kesempatan berharga. Tiga ratus dolar, tidak bisa ditawar, untu menyewa jeep sampai ke kota Osh di Kyrgyzstan sana. Saya tidak tertarik untuk menyewa kendaraan. Angka ratusan dolar jauh sekali di atas kemampuan dompet saya. Tapi, Si Turis Amerika sudah tidak sabar lagi. Visanya berakhir hari ini. Kalau dia tidak berada di Kyrgyzstan malam ini juga, nasibnya akan berakhir di tangan para tentara Tajik yang rakus, atau mungkin malah di penjara gelap. Kami menawar. Supir bergeming. Kami menunggu. Satu jam. Dua jam. Menawar lagi. Supir turunkan harga 10 dolar. Kami menunggu lagi. Menawar lagi. Saya jadi terbiasa dengan kehidupan super membosankan di sini.

Si Israel mulai mengumpat.

“Organisasi-organisasi bodoh. Apa gunanya orang-orang bodoh ini di sini selain merampok turis?” Ia marah karena Acted, sebuah LSM dari Perancis yang bekerja di Murghab, menyebutkan, harga sewa sebuah jeep ke Osh di Kyrgyztan adalah  250 dolar AS.

“Tetapi organisasi-organisasi itu kan tidak hanya bekerja untuk turis. Mereka juga menyediakan program kredit lunak kepada para penduduk,” saya menyanggah.

“Hah? Kredit lunak? Kalau mereka memberikan aku kesempatan, aku tahu sejuta cara bagaimana membuat kehidupan di kota sial ini jauh lebih baik!” Si Israel berapi-api.

“Misalnya?”

“Misalnya ya, memanggil sukarelawan asing mengajar Bahasa Inggris!”

Mengajar bahasa Inggris untuk orang-orang Kirghiz di Murghab? Orang-orang ini bahkan masih belum bisa bicara bahasa nasionalnya sendiri, bahasa Tajik.

“Setidaknya,” saya menyanggah, “Acted sudah menyediakan kursus komputer untuk orang-orang pengangguran sehingga mereka bisa mencari pekerjaan nantinya.”

“Apa gunanya ketrampilan komputer?” Si Israel protes.

“Apa gunanya bahasa Inggris?” bantah saya.

Dinginnya kota Murghab justru membuat perdebatan kami makin panas.

“Kota ini, hmmm…., hanya satu kata,” Si Israel berusaha menyimpulkan kota Murghab, “….malas! Ya! Itu kata yang tepat. Dan lihat orang-orang itu dengan topi mereka yang konyol.”

Topi konyol yang dimaksudnya adalah ak kalpak, topi putih khas orang Kirghiz, membumbung langsing dan tinggi dari kepala para pria.

Diskusi macam ini semakin membuat saya frustrasi. Tentang keacuhan orang asing yang merasa tidak diistimewakan di tempat di mana kehidupan sehari-hari pun sudah tidak ada istimewanya lagi. Tentang orang-orang beringas yang menghabiskan hari-hari tanpa arti, berkeliaran di jalanan dan di pasar. Tentang supir-supir yang sudah lama merindukan para penumpang, mangsa yang lezat disantap di tengah kelangkaan transportasi dan minyak.

Supir Kirghiz itu akhirnya melunak. Setelah negosiasi panjang selama dua hari, harga sewa jeep yang semula 300 dolar, akhirnya turun menjadi 140 dolar. Si Amerika yang kehabisan visa akhirnya menyetujui juga tawaran ini. Si supir mengajukan syarat. Dia akan membawa keluarganya ikut ke Kyrgyzstan. Saya yang ikut membantu proses tawar-menawar diijinkan menumpang gratis oleh kedua turis bule itu.

Pertama-tama kami harus menjemput bapak Si Supir dari pasar. Lama sekali menunggu Pak Tua selesai belanja. Setelah itu, kami menjemput ibunya yang sedang sibuk di rumah tetangga. Kami juga menjemput dua orang bibi yang tinggal di desa sebelah. Setelah sekitar tiga jam menunggu, keliling kanan kiri, jeep ini akhirnya berangkat juga ke arah Kyrgyzstan. Si Amerika sudah sangat tidak sabar. Berkali-kali ia melihat arlojinya. Sudah sore dan kami baru melaju beberapa kilometer saja meninggalkan Murghab. Kalau dia sampai telambat keluar dari Tajikistan, entah penjara macam apa yang akan dihuninya.

Tak sampai setengah jam, tiba-tiba mobil membelok ke arah timur. Kyrgyzstan ada di utara sana. Mengapa kami ke timur, ke arah China? Saya melihat puncak gunung Muztagh Ata, di balik perbatasan China. Puncak gunung bertudung salju ini pernah saya lihat dari Tashkurgan di China sana. Sekarang saya melihat gunung yang sama dari sisi yang berbeda.

Empat puluh kilometer ke arah timur, tiba-tiba jalan terputus. Ini adalah ujung jalan yang mungkin dicapai. Ini adalah ujung dunia. Tempat paling terpencil di sebuah negara terpencil. Song Kul, nama desa ini, terletak di kaki gunung Muztagh Ata, hanya beberapa terjangan saja ke arah perbatasan China. Mengapa kami sampai di sini?

Ternyata si supir masih harus menjemput beberapa orang bibinya yang lain lagi, ikut bersama-sama kami ke Kyrgyzstan. Saya terdesak ke tempat paling tak mengenakkan di bagasi, didesak-desakkan bersama tumpukan barang bagasi. Meringkuk. Jalan berbatu dan berdebu membuat mobil berjalan melompat-lompat. Saya ikut terlompat. Di atas terbentur atap jeep. Di depan tertumbuk tumpukan barang yang keras. Sungguh berat. Tapi, apa mau dikata, namanya juga penumpang gratisan.

Si Supir Kirghiz ini sungguh pintar. Sebenarnya, ia memang berencana pergi ke Kyrgyztan membawa semua keluarganya. Dan, dua orang bule inilah yang membayar ongkosnya. Saya lihat mereka pun mendapat tempat duduk yang tidak nyaman, meringkuk di bangku tengah diapit bibi-bibi Si Supir yang gendut-gendut. 140 dolar AS untuk dua bangku sempit. Dua turis bule itu membayar empat kali lipat lebih mahal dari harga seharusnya.

Mobil menyusuri jalan berbatu dan berdebu yang sama, ke arah barat, kembali ke jalan raya Pamir Highway. Di sinilah bayangan akan dunia paralel dimulai. Sepanjang jalan ke utara, ke arah Kyrgyzstan, tiang-tiang kayu berpagar kawat berjajar di sisi kanan jalan. Di belakang pagar itu tidak ada apa-apa selain barisan gunung batu.

“Apa itu di balik pagar?” saya bertanya.

“Itu China. Ini adalah perbatasan China,” kata Si Israel sok tahu.

“Tetapi saya tidak melihat apa-apa di sana,” saya masih tidak percaya China ada di belakang pagar-pagar kawat dan kayu itu.

“Di sini yang tidak ada apa-apanya. Di sana itu adalah superpower dunia!”

Kedua backpacker bule itu akhirnya sibuk berdiskusi tentang perbatasan Israel yang dilengkapi dengan listrik dan setrum sehingga orang-orang Palestina yang nekat memanjat langsung mendapat ganjarannya.

Di belakang pagar kayu sederhana itu memang bukan China. Mana mungkin negara macam China punya perbatasan yang sangat bocor seperti ini. Apalagi pagar-pagar kayu itu kadang jaraknya hanya lima meter dari tepi jalan. China masih 15 kilometer jauhnya dari pagar ini. Pagar-pagar ini didirikan untuk memisahkan jalan raya dari daerah sensitif perbatasan Tajikistan. Di belakang pagar, tentu saja masih Tajikistan yang itu-itu juga. Daerah perbatasan ini sangat sensitif, karena merupakan garis batas tiga negara – Tajikistan, Kyrgyzstan, dan China. Selain itu, China berusaha mengklaim 20 persen wilayah perbatasan GBAO, yang kebetulan mengandung emas.

Malam hampir menjelang ketika kami sampai di Karakul. Di sebelah kiri jalan, ada hamparan danau luas. Memasuki kota tepi danau ini ada pos penjaga perbatasan Tajikistan yang ketat sekali.

Saya yang sudah hampir pingsan berlompat-lompat sambil meringkuk di tengah tumpukan barang bagasi, sudah tidak kuat lagi meneruskan perjalanan ke Kyrgyzstan. Saya memutuskan turun di Karakul, danau raksasa yang menawarkan satu nama: kematian.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan ulang sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 2 April 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*