Recommended

Garis Batas 28: Kawan Lama dari Toktogul

Depresi Kyrgyzstan (AGUSTINUS WIBOWO)

Depresi Kyrgyzstan (AGUSTINUS WIBOWO)

Dari Karakul saya melanjutkan perjalanan ke Toktogul. Sebuah memori indah mengantar saya ke sana. Dua tahun silam, saya terdampar di kota ini, berkenalan dengan dua orang sukarelawan Amerika, Rosa dan Jason, yang mengajar bahasa Inggris. Gelar mereka keren – Peace Corps. Lewat mereka saya berkenalan dengan seorang guru bahasa Inggris di desa itu. Inilah awal persahabatan saya dengan Satina Eje, atau Mbak Satina, guru desa yang tak pernah padam semangatnya.

Betapa manis kenangan bersama wanita paruh baya yang ramah dan terus berceloteh tanpa henti tentang kehidupan di Kyrgyzstan. Ia menghabiskan waktu bersama putra satu-satunya, Maksat, yang sudah hampir lulus sekolah, di rumah kayunya di sebuah apartemen kuno di sebuah gang kecil di Toktogul.

Rumah Satina seperti mesin waktu. Ada dinding kayu berbalut shyrdak – permadani sulam-sulaman khas Kyrgyzstan. Ada hiasan dinding bergambar Mekkah dan bertulis huruf Arab. Satina tidak tahu kalau tulisan itu berbunyi “Allah” dan “Muhammad”. Ada telepon yang masih menggunakan papan putar yang mengeluarkan bunyi gredek-gredek tiap kali nomornya diputar. Ada pula televisi hitam putih yang tabungnya super cembung. Ada koleksi foto-foto keluarga hitam putih ketika suami Satina masih hidup. Bagi Satina, semua ini adalah barang biasa. Bagi saya, setiap pernik rumah Satina adalah serpihan masa lalu saya.

Saya teringat di musim panas dua tahun lalu itu, Satina membawa saya ke danau Toktogul yang terbentang luas bersambung dengan gunung-gunung salju di kejauhan sana. Satina memasak sherpo, sup Kirghiz yang penuh dengan minyak dan yoghurt, yang saya hirup dalam-dalam bersama potongan roti dan bubuk merica merah.

Dan, hari ini saya kembali ke Toktogul dengan segudang pertanyaan dalam benak – bagaimana dua tahun telah mengubah Satina, kawan lama saya dari negeri Kirghiz.

Toktogul tak banyak berubah. Saya masih ingat betul jalan utama ini, rindangnya pohon-pohon yang berjajar, dan lapangan besar tempat dulu rombongan artis cilik dari Eropa datang menggelar konser. Tetapi saya benar-benar lupa gang kecil menuju rumah Satina.

Hari ini hari Minggu. Jalanan lengang. Hampir tak ada orang di jalan. Sepertinya penduduk Toktogul menggunakan hari libur hanya untuk tidur. Saya melihat sesosok tubuh terkapar di atas dedaunan kuning yang berguguran. Ada juga orang tidur pulas di pinggir jalan seperti ini?

Wanita itu bertumbuh tambun, ber-sweater hijau. Posisi tidurnya sepertinya tidak nyaman sama sekali. Kakinya bertekuk. Mulutnya menganga. Sepertinya ia tergeletak begitu saja, tanpa memilih tempat yang nyaman untuk tidur. Tetapi ia begitu lelap sampai tidak terganggu sama sekali dengan orang lewat.

Saya semula berpikir perempuan empat puluh tahunan ini kena serangan jantung. Tetapi seorang pejalan kaki bilang, perempuan ini cuma mabuk. Tidak kurang dan tidak lebih.

Kehidupan yang penuh frustrasi dan depresi di negeri sunyi Kyrgyzstan membuat vodka menjadi jalan pintas favorit untuk membebaskan diri dari tekanan hidup. Taman-taman desa dan kota dipenuhi para pemabuk ketika senja menjelang. Kota-kota Kyrgyzstan menjadi sangat berbahaya ketika hari mulai gelap, karena para setan mabuk bisa tiba-tiba melompat dari balik pohon dan menodongkan pisau. Kriminalitas yang disebabkan oleh alkohol, atau vodka terrorism, membuat orang-orang di negeri ini tak berani berjalan-jalan keluar rumah di waktu malam.

Lenin di balik terali, Toktogul (AGUSTINUS WIBOWO)

Lenin di balik terali, Toktogul (AGUSTINUS WIBOWO)

Vodka, tidak hanya membuat penduduk takut, tetapi juga membahayakan nyawa si peminum sendiri. Mabuk sampai teler dan pingsan di pinggir jalan seperti ini, apalagi di musim dingin, tak jarang berujung kematian. Tak peduli laki-laki atau perempuan, vodka tak pernah pilih-pilih korbannya.

Saya tiba-tiba teringat, Satina juga hobi minum. Walaupun Satina tidak pernah minum-minum di hadapan saya, karena saya bukan peminum, saya tak berani membayangkan apakah Satina, wanita yang saya hormati, juga bisa teler seperti perempuan gemuk yang terkapar di pinggir jalan ini.

Bekbolot, seorang pemuda Toktogul, membantu saya mencari alamat Satina. Susah payah, dengan beratnya backpack di punggung, kami berhasil menemukan rumah itu. Apartemen kayu yang sama. Pintu-pintu mungil yang sama. Pohon besar yang sama. Semuanya masih sama. Saya gembira sekali.

Bekbolot memencet bel. Sebuah kepala gadis muda menyembul dari balik pintu. Saya tidak kenal gadis ini. Dia tak tersenyum, dan menjawab pendek-pendek.

Eje pergi ke desa. Dia kembali lagi nanti sore,” Bekbolot menterjemahkan ucapan gadis itu kepada saya. Satina tidak ada di rumah. Maksat juga tidak ada.

Saya menjelaskan maksud kedatangan saya, bahwa saya kawan lama Satina yang ingin berjumpa. Gadis itu tidak mengizinkan saya masuk.

“Saya tidak kenal kamu. Kalau eje tahu saya mengizinkanmu masuk, pasti eje akan menghukumku,” katanya.

Si gadis lima belasan tahun ini mengaku sebagai keponakan Satina dan datang dari desa. Saya juga tidak memaksa. Rumah ini punya Satina dan si gadis hanya menjalankan tugasnya.

Bekbolot menemani saya duduk di pekarangan, menunggu datangnya Satina. Hampir dua jam kami menunggu. Satina tak datang juga. Udara sudah mulai dingin. Langit mulai gelap, pertanda bahaya mulai datang. Saya juga tidak tahu lagi mau ke mana.

Bekbolot, pelajar muda yang saya temui di jalan, malah mengajak saya menginap di rumahnya daripada menunggu di luar seperti ini. Saya semula tidak setuju, tetapi Bekbolot kemudian memberikan nomer telepon rumahnya kepada gadis itu dan meninggalkan pesan untuk disampaikan pada Satina.

Saya mengikuti Bekbolot, melintasi taman desa Toktogul yang terkenal angker waktu malam, penuh dengan pemabuk. Kalau bukan karena ada Bekbolot, tentu saya tak berani lewat sini.

Keesokan paginya, saya kembali lagi ke rumah Satina. Wanita bersanggul dan berjaket coklat itu sudah menunggu di depan pintu pekarangannya.

“Avgustin!!!!!!!” teriak Satina penuh gembira ketika melihat bayang-bayang saya membelok dari ujung jalan. Dia memeluk saya, mengajak saya masuk, dan menyiapkan teh hangat.

“Saya kemarin malam sekali baru pulang,” katanya dengan bahasa Inggrisnya yang khas, “Jam 11. Saya coba telepon nomer yang dititipkan, berkali-kali, tetapi sepertinya telepon di situ rusak. Saya khawatir sekali. Kemarin malam, ketika saya pulang, saya mabuk berat. Saya tak ingat apa-apa lagi. Keponakan saya bilang, gara-gara menelepon kamu, saya menangis habis-habisan sepanjang malam. Tetapi saya tidak ingat apa-apa sama sekali.”

Satina masih mengenali saya seperti dua tahun silam.

“Kamu tak berubah!” katanya tersenyum, menghias gurat-gurat wajahnya. Bahkan tetangga-tetangga Satina pun masih ingat saya. Dua tahun lalu, saya datang dengan celana sedengkul dari Indonesia. Orang-orang di sini mengira saya pakai rok. Saya sendiri sudah lupa kalau bukan Satina yang mengingatkan kejadian lucu itu.

“Kepala saya masih sakit,” kata Satina, “gara-gara mabuk kemarin. Saya minum terlalu banyak. Tetapi sekarang saya mesti mengajar. Tetapi ada sukarelawan yang menggantikan saya untuk jam pertama, karena saya sudah minta izin tidak mengajar pagi hari untuk menunggu kamu. Kamu sekarang mau istirahat dulu atau ikut saya ke mengajar?”

Saya dengan semangat berangkat ke sekolah bersama Satina, seperti anak kecil yang bergembira di hari pertama masuk sekolah.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 14 April 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*