Recommended

Garis Batas 30: Bagaimana Cara Membaca Kyrgyzstan

Aksakal, atau "kakek berjenggot putih" (AGUSTINUS WIBOWO)

Aksakal, atau “kakek berjenggot putih” (AGUSTINUS WIBOWO)

Bab ini mungkin seharusnya diletakkan pada saat awal-awal kita memasuki negeri ini. Saya yakin, banyak orang yang kesulitan membaca nama negara ini, karena dari sekian banyak deretan huruf itu, hampir semuanya huruf mati. Jadi bagaimana sih membaca Kyrgyzstan?

Saya sebenarnya juga baru belajar bahasa Kirghiz. Dapat buku pinjaman dari sukaralewan PeaceCorps asal Amerika. Penutur bahasa Kirghiz sekitar 4 juta jiwa, tersebar di Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, China, dan Rusia. Bahasa Kirghiz bersaudara dekat dengan bahasa Kazakh, Uzbek, Turkmen, dan Turki, semuanya masuk rumpun bahasa Turki. Ada yang bilang bahasa Jepang dan Korea juga masih bersaudara jauh, semuanya ikut kelompok bahasa Altai. Saya pernah belajar bahasa Jepang, tetapi tidak banyak membantu untuk belajar bahasa Kirghiz.

Pertama kali belajar bahasa ini, saya merasa pusing karena begitu banyak rumus-rumus aneh bin ajaib. Dalam dua hari, saya melahap 100 halaman buku tata bahasa dasar itu, dan waktu malam Satina menanyakan mengapa jalan saya jadi sempoyongan.

Karakteristik utama dalam bahasa Kirghiz, seperti bahasa-bahasa Turki lainnya, adalah harmonisasi vokal. Dalam satu kata, semua vokalnya harus berasal dari kelompok yang sama. Ada 4 kelompok vokal yang menjadi hukum dasar bahasa Kirghiz:

a berpasangan dengan u dan y
o berpasangan dengan u
e berpasangan dengan i
ö berpasangan dengan ü

Kelompok vokal pertama menunjukkan bahwa y dalam bahasa Kirghiz adalah vokal, pasangannya dengan vokal a. y, yang ditulis dalam huruf Rusia ?, dibaca seperti vokal ‘eu’ dalam kata keukeuh. Nama Kyrgyzstan, terdiri dari 3 vokal: dua y dan satu a, semuanya masuk dalam kelompok vokal pertama.

Sekarang mari lihat nama-nama kota di Kyrgyzstan. Toktogul, hanya ada vokal o dan u, kelompok vokal kedua. Naryn, masuk kelompok pertama. Jalalabad, Özgön, Bör Döbö, Tokmok, semuanya memenuhi batasan pasangan vokal. Demikian juga dengan kata-kata lainnya dalam bahasa Kirghiz. Kata-kata dari bahasa Arab, yang datang bersama Islam sekitar lima abad silam, juga harus memenuhi aturan vokal ini. Nikah menjadi nikeh, masjid menjadi mejit, kitab menjadi kitep. Kata-kata pinjaman dari bahasa Rusia, yang masuk hanya beberapa dekade silam, umumnya tidak mengalami perubahan sama sekali.

Seperti bahasa Indonesia, bahasa Kirghiz juga mengutamakan penambahan imbuhan dalam pembentukan kata. Aturan vokal harus dipegang teguh ketika kita membubuhkan imbuhan. Misalnya, bahasa Kirghiz punya 12 macam akhiran untuk menunjukkan fungsi jamak, yaitu: lar, lor, ler, lör, tar, tor, ter, tör, dar, dor, der, dör. Ini semua tergantung vokal dan konsonan terakhir dari kata yang bersangkutan. Misalnya alma (apel) menjadi almalar (apel-apel) tetapi kitep menjadi kitepter (buku-buku).

Pusing kan? Ini masih belum seberapa. Bahasa Kirghiz masih punya segudang kerumitan. Ada 8 kata ganti, semuanya punya akhiran masing-masing. Ada banyak penanda waktu yang harus dikombinasikan dengan 8 kata ganti tadi. Belum lagi berbagai macam akhiran untuk menyatakan bisa, tidak, mungkin, dan banyak lagi. Susunan kalimatnya selalu S-O-P, seperti bahasa-bahasa rumpun Turki lainnya. Saya jadi kagum dengan bocah-bocah Kirghiz yang bisa menguasai bahasa sesulit ini.

Bahasa Kirghiz ditulis dengan huruf Rusia yang dimodifikasi, diciptakan ketika negeri ini dikuasai Rusia dan masih dipakai ketika negara Kyrgyzstan merdeka hingga sekarang. Walaupun ada rencana untuk beralih ke huruf Latin seperti halnya Uzbekistan dan Turkmenistan, Kyrgyzstan masih terbilang malas untuk melakukan perubahan drastis itu.

Bukan hanya bahasanya yang dituliskan oleh orang Rusia. Identitas Kirghiz, sebagaimana bangsa-bangsa lain di Asia Tengah, juga dikukuhkan oleh ahli etnografi Uni Soviet. Dulu, nama ‘Kirghiz’ dipakai untuk menamai orang Kazakh. Orang Kazakh dan Kirghiz sangat dekat secara linguistik, kultural, dan historis. Orang Kazakh adalah pengembara di hamparan padang stepa, sedangkan Kirghiz tinggal di gunung-gunung. Kazakh dulu dinamai Kirghiz dan orang Kirghiz dulunya disebut Kara Kirghiz, si Kirghiz Hitam. Baru pertengahan 1920’an orang Kirghiz mendapat namanya yang sekarang.

Kalau orang Uzbek dan Tajik yang bersalam dengan assalomualaikum, orang Kirghiz, yang sejarahnya memeluk agama Islam masih relatif muda, mengucap salom alaykum hanya untuk aksakal, laki-laki tua yang dihormati. Salam yang paling lazim digunakan adalah ‘salamatsyzby?’, ‘apakah Anda baik-baik saja?’, kemudian dilanjutkan menanyakan keadaan suami atau istri, anak, keluarga, hewan-hewan ternak, tenda, dan pekerjaan orang yang diajak bicara. Kebiasaan ini merefleksikan kultur bangsa nomaden yang masih sangat kental dalam kehidupan orang Kirghiz.

Bangsa Kirghiz memang menjalani ribuan tahun perjalanan panjang dari negeri nenek moyangnya di Mongolia sana hingga ke balik pegunungan Tien Shan tempat sekarang mereka tinggal. Ribuan tahun perjalanan yang penuh dengan perjuangan dan pertumpahan darah. Bangsa Kirghiz baru saja merayakan 1000 tahun kesusastraan mereka, sebuah epos bernama Manas, puisi panjang tentang perjuangan pahlawan bernama Manas. Puisi ini panjangnya hampir setengah juta baris. Orang Kirghiz dengan banga mensejajarkan peradabannya dengan epos klasik dunia macam  Mahabarata dan Oddysei.

Seperti jatuh bangunnya perjuangan Manas, yang tidak pernah menyerah pada keadaan dan kegagalan, sebuah pepatah Kirghiz membuat saya kagum akan ketangguhan bangsa ini:

“Kami bangsa Kirghiz,
Sudah mengalami ribuan kematian,
Tetapi kami menjalani ribuan kehidupan.”

 

(Bersambung)

 

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 16 April 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*