Recommended

Garis Batas 31: Berakhir di Sini

Pusat kota Bishkek (AGUSTINUS WIBOWO)

Pusat kota Bishkek (AGUSTINUS WIBOWO)

Anak Satina satu-satunya, Maksat, yang dulu selalu menemani ibunya di Toktogul, sekarang sudah jadi mahasiswa tingkat pertama di ibu kota Bishkek. Satina menganjurkan saya untuk mengontak Maksat kalau ke Bishkek nanti. Kebetulan sekali, di malam ketika saya hendak meninggalkan Toktogul, bapak angkat Maksat datang dari Bishkek.

Namanya Moken. Kata Satina, orangnya baik sekali. Siapa Toktogulduk, orang Toktogul, yang tak kenal Moken? Sekarang Maksat menumpang gratis di rumah Moken di Bishkek. Belakangan saya tahu bahwa Moken bekerja sebagai supir taksi. Di Kyrgyzstan, seperti halnya Tajikistan, supir taksi termasuk pekerjaan yang menjamin cemerlangnya masa depan.

Saya menumpang mobil Moken langsung ke Bishkek. Jalan dari Toktogul ke arah utara melewati gunung-gunung tinggi. Kendaraan umum yang boleh melintas cuma taksi. Bus besar dilarang lewat sini sejak kejadian bus yang mengangkut para pedagang Uyghur dari China terguling dan menewaskan banyak orang, beberapa tahun lalu. Mobil Moken termasuk mewah. Badannya panjang dan kursinya lebar. Saking nyamannya mobil ini, saya ketiduran terus sepanjang perjalanan sampai ke Bishkek.

Rumah Moken terletak di perumahan Ala Too di pinggiran kota Bishkek. Maksat, yang masih mengenali saya, sangat terkejut dengan kedatangan saya yang tiba-tiba bersama bapak angkatnya. Maksat langsung menggiring saya ke ruang tamu, menyiapkan makan an kecil, dan berbincang tentang masa lalu.

Moken sendiri sangat sibuk. Ia bakal punya hajat besar pernikahan anak sulungnya, tiga hari lagi. Sejak seminggu ini, sanak saudara terus berdatangan dari Toktogul. Ada yang menginap. Ada yang membawa bayi. Rumah besar Moken di Bishkek jadi sangat ramai. Moken pun sibuk belanja persiapan pesta, dan saya ditinggal begitu saja dengan Maksat.

Maksat membawa saya ke pusat kota Bishkek, sekitar 30 menit perjalanan dengan bus, karena saya rewel mencari warnet. Di daerah pinggiran kota seperti tempat tinggal Moken ini sama sekali tidak ada internet. Sudah dua mingguan saya tidak mengecek email padahal status visa Kazakhstan dan Uzbekistan saya masih menggantung.

Pusat kota Bishkek ini ramai, apalagi kalau dibandingkan dengan Toktogul atau Karaköl. Ruas-ruas jalan di sini semua lurus, berpotongan satu sama lain membuat peta kota Bishkek mirip tetrad buku kotak-kotak anak SD. Landmark paling menonjol di sini adalah TsUM, Tsentralnii Univermag, pusat perbelanjaan sentral milik negara. Hampir semua kota-kota besar bekas Uni Soviet di Asia Tengah punya TsUM. ‘Sentral’ adalah kata favorit pemerintahan komunis, dan Kyrgyzstan masih setia menyimpan kenang-kenangan masa lalunya.

Di dekat TSUM berbaris rapi toko, warnet, money changer, restoran siap saji, dan segala macamnya. Dua minggu tak mengecek internet sama sekali, saya merasa seperti pertapa yang baru turun gunung. Banyak berita-berita kurang menyenangkan di tumpukan e-mail saya. Yang paling meresahkan adalah pengurusan visa Kazakhstan saya macet, padahal visa Kyrgyzstan saya habis 10 hari lagi.

Visa Uzbekistan juga tidak terlalu lancar. Kedutaan Uzbekistan di Bishkek terkenal suka ribet. Pelamar visa harus menelepon dulu satu atau dua hari sebelumnya untuk memesan waktu wawancara. Yang tidak bisa bahasa Rusia atau bahasa Uzbek, mesti bawa penerjemah. Bukan hanya wawancaranya, isian formulir pun semuanya harus dalam bahasa Rusia. Bahkan untuk menelepon pun harus dengan bahasa Rusia.

Kami berjalan bersama ke Kantor Telepon Pusat –lagi-lagi pusat, persis di seberang TSUM. Di sini dua lusinan bilik telepon kuno berjajar rapi, dan ramai orang duduk berbaris menunggu giliran. Kalau wartel di Indonesia telepon dulu baru bayar, di sini sistemnya prabayar. Setelah membayar kita dapat semacam karcis yang disebut talon, baru kita bisa memulai menelepon.

Kedutaan Uzbekistan memang tidak terlalu ramah. Belum sempat saya bertanya-tanya, telepon di seberang sana sudah dibanting. Bahasa Rusia saya masih belum lulus rupanya, sampai orang di seberang sana tak sabar menunggu pertanyaan saya habis. Siapa yang tidak tahu adatnya kedutaan negara-negara ini, yang dipenuhi orang-orang dengan tingkat kesabaran setipis kertas buram?

Setidaknya saya masih punya beberapa hari untuk menyelesaikan urusan visa-visaan ini. Kami menyeberang lewat penyeberangan bawah tanah yang dipenuhi toko-toko. Lewat depan toko fotokopi, di sini disebut kserokopia – walaupun mesinnya tidak selalu Xerox, saya jadi ingat mesti mengopi beberapa lembar paspor.

Penjaga toko adalah seorang wanita muda yang cantik dan ramah. Tetapi mesinnya tidak. Dari tadi rusak melulu dan hasil fotokopiannya hitam legam. Kami menunggu sepuluh menit. Maksat sudah tidak sabar lagi karena ada janji. Tepat ketika saya hendak meminta balik paspor saya, mesin fotokopi tahu-tahu nyala lagi. Saya langsung menyambar kertas fotokopian, membayar, dan langsung pergi mencari bus.

Sambil menunggu bus yang tidak datang-datang, saya memperhatikan orang-orang yang menunggu di halte. Bishkek memang ramai. Kota ini nampak jauh lebih sibuk daripada Osh, kota terbesar kedua di negara ini. Semua orang berpakaian necis dan modern. Orang keturunan Rusia banyak sekali. Bahasa Kirghiz nyaris tidak terdengar, karena semua orang bicara bahasa Rusia, yang mungkin lebih memancarkan aura intelektual.

Bus di kota Bishkek ukurannya kecil-kecil, bentuknya mirip sebongkah roti tawar. Pintu masuknya di sebelah kanan. Tempat duduknya tak lebih dari 15 saja, dan sore-sore begini semua bus benar-benar penuh. Penumpang berdiri berdesak-desakan seperti ikan sarden. Karena bus yang kecil dan atap rendah, berdiri pun harus membungkuk. Tetapi di tengah kesesakan ini, pria Kirghiz selalu menunjukkan sikap ksatria – mempersilakan wanita dan orang tua untuk duduk.

Ada toleransi yang luar biasa yang belum pernah saya lihat di bus kota Indonesia. Misalnya seorang penumpang yang tidak kebagian tempat duduk membawa barang bawaan yang berat, penumpang yang duduk otomatis menawarkan membawakan barang-barang itu selama perjalanan. Bahkan bayi pun bisa dititipkan pada penumpang lain tanpa ada rasa khawatir.

Saya melompat lega ketika bus sudah sampai di dekat gang kecil rumah Moken. Punggung saya hampir bengkok karena ditekuk terus sepanjang perjalanan. Rumah Moken semakin senja semakin ramai. Bukan hanya sanak saudara, tetapi orang-orang Toktogul yang tinggal di Bishkek pun datang membantu persiapan pesta. Memang benar kata Satina, mana ada Toktogulduk yang tak kenal Moken?

Pukul 8 malam, di tengah keramaian dan kegembiraan tamu-tamu, saya meraba-raba kantong saya. Hey…. mana paspor saya? Biasanya selalu di kantong jaket yang sama, tersembunyi di balik risleting. Sekarang, kok tidak ada. Paspor saya hilang!

Saya lemas. Tidak pernah saya mengalami kejadian seperti ini. Kehilangan paspor Indonesia di Kyrgyzstan bukan cita-cita yang indah. Di sini tak ada KBRI yang bisa membantu.

Saya panik. Tetapi saya masih berusaha menenangkan diri. Terakhir kali saya ingat melihat paspor saya di kserokopia. Ada kemungkinan saya terburu-buru sampai mengambil fotokopian paspor dan kelupaan dokumen aslinya di toko. Tetapi masa saya bisa sebodoh itu? Saya sendiri tak percaya. Mungkin juga paspor saya jatuh di bus, di tengah keramaian penumpang yang berdesak-desakkan. Kalau yang ini berarti habislah saya. Tak ada harapan paspor kembali. Tidak, saya pun tak berani membayangkannya.

Saya gelisah. Malam itu saya tak bisa tidur. Saya hanya terbaring tak berdaya di atas lantai kamar anak Moken. Moken berusaha keras menghibur saya.

“Sudah, jangan kuatir. Kalau kamu tak punya paspor dan tidak bisa meninggalkan negara ini, kamu tinggal di sini saja. Saya jadi bapakmu dan rumah ini jadi rumahmu.”

Ergetse, istri Moken yang gemuk, juga mengangguk-ngangguk mengulum senyum. Ergetse tadi siang sempat senang sekali setelah mendengar saya memanggilnya soloo apam, ibuku yang cantik. Malam ini dia juga menghibur saya, di tengah kesibukan persiapan kawinan anaknya. Apakah ia benar-benar menjadi ibu saya, seorang pengelana Indonesia yang terdampar di Kyrgyzstan hanya gara-gara kehilangan paspor? Senyum mungil di bibir tipis itu seakan mengiyakan.

Malam ini adalah malam penuh siksaan bagi saya. Setiap detik merayap lambat, seperti DVD yang diputar dalam extra slow motion. Kedua anak Moken yang tidur berjajar mendengkur bersahut-sahutan. Saya mendengar jelas setiap dengkur, setiap hembusan nafas, bahkan tiap detak jarum arloji merayap. Ingin saya membangunkan matahari dari tidurnya, supaya hari yang baru cepat-cepat dimulai, dan saya bisa kembali ke kota mencari-cari paspor yang tercecer. Tetapi malam ini hanya diisi lolong anjing dan nyanyian kambing peliharaan Moken. Juga isak tangis tanpa air mata yang tak bisa saya tahan lagi menggelegak begitu saja.

Apakah ini akhir perjalanan ini, terdampar di pinggiran kota Bishkek hanya gara-gara buku hijau kecil yang sekarang entah di mana rimbanya? Apakah ini awal kehidupan baru saya, menjadi penduduk ilegal di Kyrgyzstan dan punya ata* bernama Moken dan apa* bernama Ergetse?

 

Catatan: Ata = ayah (bahasa Kirghiz), Apa = ibu (bahasa Kirghiz)

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 17 April 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Garis Batas 31: Berakhir di Sini

  1. Budaya memprioritaskan perempuan dan orang tua sudah saya saksikan di bus transjakarta yg hampir setiap hari sy tumpangi ketika sy 40 hari di jakarta

Leave a Reply to Ridwan arif Cancel reply

Your email address will not be published.


*