Recommended

DetikTravel (2013): Tentang Etika Fotografi Perjalanan

1306DetikTravel_photography_1

Penting! Ini Etika Berfoto Saat Traveling

•    Oleh: Afif Farhan – detikTravel
•    Rabu, 19/06/2013 16:29 WIB
Jakarta – Kurang lengkap rasanya, jika Anda tidak foto-foto atau narsis saat traveling ke suatu destinasi. Meski begitu, ada beberapa etika yang harus Anda tahu sebelum menjepretkan kamera. Jangan sampai kasus Borobudur terulang!

Berfoto sudah menjadi kegiatan wajib para wisatawan. Objek-objek wisata seperti pantai, gunung, atau atraksi wisata berupa tari-tarian, dapat Anda abadikan sebagai kenang-kenangan di dalam kamera. Tapi ingat, ada etika-etika berfoto saat tarveling yang harus Anda perhatikan.

Penulis buku Garis Batas yang sudah berkeliling Asia Tengah, Agustinus Wibowo berbincang dengan detikTravel mengenai etika berfoto saat traveling. Dia pun memberikan banyak petuah dan pengalaman-pengalaman uniknya saat berfoto-foto di suatu destinasi:

1. Cari tahu soal aturan berfoto

“Pertama, cari dulu tanda larangan memotret. Kalau tidak ada tandanya, berarti Anda bebas foto-foto di situ,” tutur pria yang biasa disapa Agus ini, Rabu (19/6/2013).

Agus menambahkan, hal tersebut baiknya dilakukan di tempat-tempat wisata berupa candi, masjid, atau bangunan bersejarah. Sebabnya, bisa-bisa kena denda atau malah ditangkap.

“Pernah saya di Turkmenistan ditangkap karena dianggap mata-mata. Sebab, saya memotret patung-patung emas yang ada di sana. Sampai mau keluar negaranya, kamera saya diperiksa lagi apakah ada foto tersebut atau tidak,” ujar Agus.

Selain itu, beberapa negara di dunia pun punya peraturan masing-masing tentang memotret. Untuk itu, sebaiknya Anda mempelajari destinasi tujuan terlebih dulu.

“Di China tidak boleh memotret polisi, di Afghanistan tidak boleh memotret wanita, lalu jangan memotret orang sembarangan di pedalaman India karena mereka akan minta uang,” ujar Agus mengingatkan.

2. Minta izin terlebih dulu

Traveling tidak hanya mengunjungi tempat-tempat dengan pemandangan cantik saja. Sebagian traveler berjalan-jalan untuk bertemu suatu masyarakat yang masih memegang nilai adat dan budaya leluhurnya. Kalau mau memotret mereka, tentu ada etikanya juga.

“Kita harus minta izin terlebih dulu untuk memotret,” kata Agus.

Meski asal jepret, hal tersebut bisa dianggap menganggu bagi sebagian orang. Traveler disarankan meminta izin dulu sebelum menjepretkan kamera. Setelah itu, bersikaplah ramah dengan mereka supaya Anda makin mudah untuk memotretnya.

“Ketika memotret manusia, kita harus bisa memanusiakan manusia. Kita harus menghargai mereka dan jangan asal menyuruh berpose seperti yang kita mau,” ucap Agus.

 

3. Lihat situasi

Kasus sekelompok traveler China yang foto-foto dengan lumba-lumba terdampar pantas mendapat kecaman. Mereka mengangkat lumba-lumba tak berdaya itu ke atas air, lalu berpose dengan banyak gaya. Kemudian, lumba-lumba itu akhirnya mati.

“Itu sangat tidak manusiawi,” komentar Agus tentang kejaidan tersebut.

Dalam posisi seperti itu, baiknya traveler menolong binatang tersebut terlebih dulu. Hubungi pihak keamanan setempat untuk ditindaklanjuti dengan tepat. Jika mungkin Anda nantinya akan bertemu binatang-binatang yang terdampar atau nyasar saat traveling, segera laporkan!

“Bagaimana pun juga, binatang juga punya perasaan,” imbuh Agus.

Kasus lainnya yang masih membekas di pikiran adalah perayaaan Waisak di Candi Borobudur beberapa waktu lalu. Banyak traveler yang menggunakan blitz dan memotret para biksu dari dekat. Inilah tindakan yang kurang terpuji dan tidak mengerti situasi sebenanrnya.

“Lihat situasinya, mereka itu sedang ibadah. Coba kembali ke diri kita sendiri, apakah saya mau saat sedang ibadah lalu orang-orang mengerumuni dan berfoto dengan blitz yang sangat menganggu,” ungkap Agus.

1306DetikTravel_photography_2

Mau Memotret Saat Traveling, Pahami Dong Etikanya

•    Oleh: Afif Farhan – detikTravel
•    Rabu, 19/06/2013 14:46 WIB

Turis tak bertanggung jawab memfoto lumba-lumba (CNN)
Jakarta – Para traveler dunia mengecam turis di China yang memfoto lumba-lumba yang kemudian mati. Kita juga ingat perayaan Waisak di Borobudur, betapa tidak tertibnya pengunjung yang membawa kamera. Memfoto harus tahu etika.

Peristiwa yang terjadi di Hainan, China, wajar saja membuat marah banyak orang. Seekor lumba-lumba yang terdampar di pantai, bukannya ditolong malah dijadikan bahan untuk narsis di kamera foto. Lumba-lumba yang mengalami pendarahan itu malah ditarik ke pantai dan wisatawan berebut berfoto.

“Sangat tidak manusiawi, bagaimanapun juga binatang punya perasaan,” ujar Agustinus Wibowo, penulis buku Garis Batas yang juga penggemar fotografi, dalam perbincangan dengan detikTravel, Rabu (19/6/2013).

Menurut Agustinus, traveler yang bertanggung jawab seharusnya sadar betapa pentingnya menolong hewan yang terluka. Ada etika yang harus diutamakan ketimbang menambah koleksi foto belaka atau bahkan sekadar narsis.

“Bagusnya mereka menolong dulu,” kata dia.

Pun demikian halnya dengan ricuh perayaan Waisak di Candi Borobudur, akibat tidak tertibnya pengunjung yang ingin berfoto-foto. Agustinus mengingatkan, pahami dulu etika dan sopan santunnya sebelum mengambil gambar.

“Borobudur itu masalah ritual, kamera pasti mengganggu di situ,” jelas pria yang pernah menjelajah ke Asia Tengah ini.

Tapi bukan artinya wisatawan tidak boleh berfoto. Justru dengan tahu etika berfoto, wisatawan bisa mendapatkan gambar yang diinginkan, sekaligus tidak mengganggu orang lain, hewan atau alam.

“Bagaimana kita meminimalisir efek kamera yang kita gunakan agar tidak mengganggu. Jangan juga memotret dari jarak dekat. Di situlah empati kita. Kita buktikan diri kita di posisi mereka,” kata Agustinus.

1306DetikTravel_photography_3

Etika Saat Memotret Suku-suku Pedalaman

•    Oleh: Afif Farhan – detikTravel
•    Rabu, 19/06/2013 17:19 WIB
•    Komentar: 0

Wisatawan berpose bersama suku-suku pedalaman di Papua (Afif/detikTravel)
Jakarta – Indonesia memiliki suku-suku pedalaman yang menarik untuk didatangi. Atraksi budaya dan kehidupan sehari-harinya mungkin sulit Anda temukan di tempat lain. Tapi ingat, jangan sembarangan memotret mereka.

Ratusan suku tersebar dari Sabang sampai Merauke. Mereka punya adat istiadat yang berbeda satu sama lain. Hal inilah yang jadi daya tarik traveler untuk bertemu dan mengenalnya lebih dekat. Berfoto-foto dengan mereka, pasti jadi kenang-kenangan yang sangat berkesan.

Penulis serial buku tentang Asia Tengah, Agustinus Wibowo pun berbagi pengalaman dengan detikTravel saat bertemu dengan suku-suku pedalaman. Dia menerangkan dan lebih menekankan soal etika memotret suku pedalaman.

“Mereka punya hak untuk tidak mau dipotret,” kata Agus, Rabu (19/6/2013).

Agus mengingatkan kepada traveler untuk berhati-hati saat memotret suku-suku pedalaman. Sebab, mereka juga dapat terganggu dan mungkin malu sehingga tidak mau dipotret.

“Kalau saya ke pedalaman, ada banyak kok turis yang datang terus langsung foto-foto begitu aja pakai blitz, itu banyak implikasinya. Mereka bisa saja terganggu,” ujar Agus.

Selain itu, Anda juga akan dimintai uang oleh orang-orang suku pedalaman yang dipotret tersebut. Jumlah yang diminta pun tidak sedikit dan mampu merogoh kocek dalam-dalam.

“Di India atau di Papua, ada suku-suku pedalaman yang meminta uang setelah dipotret. Awalnya tidak ngomong, setelah selesai mereka mengikuti sambil meminta uang,” kata pria yang sudah menjelajahi Asia Tengah tersebut.

Jika mau berfoto, maka baiknya minta izin terlebih dulu dan mengetahui tentang suku-suku pedalaman yang Anda datangi. Lalu, bagaimana dengan suku-suku yang meminta imbalan uang?

“Kalau mereka minta uang sebelum kita potret, jangan dikasih. Itu degradasi. Saya tidak pernah membayar setelah dipotret, karena lebih baik tidak dipotret saja sekalian,” tegas Agus yang buku terakhirnya berjudul Titik Nol ini.

Agus pun berkisah soal aturan-aturan unik tentang memotret suku-suku atau masyarakat pedalaman. Di Afganistan atau Pakistan misalnya, di sana dilarang keras untuk memotret wanita.

“Di Afghanistan atau Pakistan, itu dilarang memotret wanita. Misal kita mau motret gunung, terus ada wanita di dalam fotonya, itu tetap harus dihapus. Kalau mau memotret wanita di sana harus izin kepada pria dari keluarga atau suaminya,” papar Agus.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*