Recommended

Garis Batas 33: Kumis dan Balbal

Negeri bangsa pengembara (AGUSTINUS WIBOWO)

Negeri bangsa pengembara (AGUSTINUS WIBOWO)

Salju mulai mengguyur kota Bishkek, menyulap taman-taman cemara menjadi negeri Sinterklas. Anak-anak Rusia dengan riang membuat manusia salju. Kakek-kakek melintas pelan karena lapisan es yang licin sudah membungkus jalan setapak. Saya hanya bisa tertegun, karena celana jeans yang saya cuci dan jemur di luar sepanjang malam, kini jadi kaku seperti papan tripleks.

Musim dingin sudah datang di Kyrgyzstan. Setelah diguyur salju selama dua hari terakhir, matahari mulai menampakkan senyumnya. Kota yang sempat muram, dingin, dan kelabu, seketika menjadi penuh gairah.

Selain taman-taman yang dipenuhi para gadis muda yang sibuk berfoto di tengah lapisan salju, menggelincir di atas lapisan es, dan kakek-nenek yang berjalan-jalan menikmati segarnya udara bermandi sinar mentari, TSUM juga penuh sesak oleh pembeli.

TSUM adalah department store pusat, mal terbesar milik pemerintah di seluruh negeri. Mal berlantai tiga ini mungkin tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pertokoan di Jakarta, tetapi gedung ini cukup fenomenal di Kyrgyzstan. Mal ini adalah satu-satunya gedung di seluruh negeri yang memiliki eskalator, mungkin sudah ada sejak zaman Soviet. Eskalator tua dengan tangga yang tinggi-tinggi dan bersudut tajam, meluncur perlahan dengan suara berderik, seakan sudah tak kuat lagi membawa para pengunjung. Toko-toko tersebar di semua penjuru, mulai dari studio foto di bawah, baju-baju di lantai 2, hingga buku dan kaset CD di lantai atas.

Di halaman mal, kios-kios yang menawarkan kartu ucapan ulang tahun, natal, tahun baru, koran, buku, dan majalah berderet-deret, berhadap-hadapan dengan warung-warung kecil yang menawarkan bakmi laghman dan pangsit mantu. Memesan makan an di Kyrgyzstan, hitungannya bukan hanya per porsi, tetapi kita bisa memesan 0,5 dan 0,7 porsi nasi plov, misalnya. Belum lagi kita harus membayar 5% untuk biaya pelayanan. Di negara ini, semua bisa dihitung dengan tingkat ketelitian beberapa desimal.

Jalan Chuy, jalan utama di kota Bishkek, membentang lurus dari timur ke barat. Taman-taman berjajar sepanjang jalan. Mulai dari Taman Pahlawan Revolusi, Dubory, Ala Too, sampai Panfilov, semua dihiasi dengan patung-patung yang membangkitkan kebanggaan tentang masa lalu dan masa mendatang. Di antaranya, Patung Erkindik, artinya Kemerdekaan, berwujud malaikat terbang membawa matahari, menjulang tinggi memberi pencerahan ke seluruh negeri.

Di samping Erkindik berkibar tinggi bendera Kyrgyztan, berwarna merah bergambar matahari dengan 40 sudut. Di bagian tengahnya adalah siluet lubang matahari yang selalu ada di puncak yurt – tenda bangsa pengembara Kirghiz. Di bawah kibaran bendera, dua orang tentara berseragam, bertopi bulu tebal, berdiri tegak, setia menjaga tiang sepanjang hari. Ini pasti salah satu pekerjaan paling membosankan di dunia, berdiri tegap berjam-jam menjaga bendera di tengah lapangan.

Patung Erkindik di Bishkek (AGUSTINUS WIBOWO)

Patung Erkindik di Bishkek (AGUSTINUS WIBOWO)

Gedung-gedung berarsitektur Rusia berbaris sepanjang Jalan Chuy. Seperti ideologi sama rata sama rasa, gedung-gedung ini semuanya seragam berbentuk kotak-kotak balok. Hanya tinggi dan warnanya yang berbeda-beda.

Tata kota Bishkek sangat rapi. Jalan-jalan lurus horizontal dipotong oleh jalan-jalan lurus vertikal, membuat kota ini jadi seperti buku kotak-kotak. Bishkek, ibu kota negara Kyrgyzstan, seperti halnya Dushanbe di Tajikistan, memang masih muda. Sejarahnya sebagai kota dimulai oleh orang-orang Rusia pada akhir abad XIX.

Dilahirkan sebagai Pishpek, kota ini sempat dinamai Frunze, kemudian berganti lagi menjadi Bishkek setelah Kyrgyzstan merdeka. Pishpek dalam bahasa Kazakh atau bishkek dalam bahasa Kyrgyz artinya alat pengocok untuk membuat kumis, minuman tradisional bangsa nomaden di padang rumput Asia Tengah. Kumis terbuat dari susu kuda yang difermentasikan sehingga mengandung sedikit alkohol. Minuman ini juga menjadi minuman wajib bangsa nomaden di Mongolia, dan di sana dikenal sebagai airag.

Dari bendera, lambang negara, patung-patung, hingga nama ibu kota, negeri ini tidak melupakan sejarahnya sebagai bangsa nomaden.

Terlepas dari sejarah sebagai pengembara padang rumput yang sering diidentikkan dengan keterbelakangan, Kyrgyzstan masih menyimpan peninggalan peradaban masa lalu mereka yang bisa disejajarkan dengan bangunan-bangunan kuno Uzbekistan. Terletak 80 kilometer di timur Bishkek, berdiri menara kuno Burana dari abad ke-11. Tempat ini dulunya pernah menjadi ibu kota Balasagun, sebuah kota persinggahan penting Jalan Sutra di Asia Tengah.

Menara Burana megah dari kejauhan. Bentuknya seperti silinder gemuk. Tingginya sekitar 25 meter, miring seperti Menara Pisa. Konon menara ini sejatinya setinggi 45 meter, namun sempat hancur karena gempa bumi pada abad ke-15. Warnanya coklat lempung, dindingnya dihiasi gurat-gurat mirip mozaik. Dikelilingi bukit-bukit bersalju, menara ini tidak kesepian.

Balbal dan menara Burana (AGUSTINUS WIBOWO)

Balbal dan menara Burana (AGUSTINUS WIBOWO)

Puluhan patung batu penuh misteri, bergambar wajah-wajah manusia tanpa ekspresi, tersebar di hadapan Menara Burana. Sesosok wajah pria botak duduk bersila terukir di atas batu berlempeng bundar, semua menghadap ke arah menara. Dengan wajah lucu, barisan patung ini justru menambah suasana seram tempat ini, seperti barisan mayat yang terpanggil menghadap ke satu arah yang sama. Balbal, demikian patung batu ini disebut, adalah obelisk peninggalan peradaban Turki untuk penanda kuburan.

Wajah-wajah yang terukir pada setiap balbal adalah rupa musuh yang telah dikalahkan oleh khan atau raja Turki. Balbal didirikan untuk menghormati khan yang sudah meninggal. Banyak patung balbal membawa cawan setinggi dada, yang menjadi perlambang penyerahan sepenuhnya para musuh di akhirat. Batu-batu penanda kuburan ini tersebar di Asia Tengah, dari Mongolia sampai ke Turki, dan menjadi bukti dari kepercayaan religius bangsa pengembara.

Dari kejauhan saya mendengar derap kuda, ditunggangi dua bocah Kirghiz yang dengan gagah melintasi bukit-bukit salju. Mereka mendekat, memamerkan seekor burung dara yang terluka yang dari tadi disimpan di balik baju. Sambil menyeringai penuh kebanggaan, bocah-bocah itu menyentak kudanya, meninggalkan saya bersama Menara Burana dan kesunyiannya.

Sejauh mata memandang hamparan salju menyelimuti semua penjuru. Dunia Kyrgyzstan di hadapan saya hanya biru kelamnya langit yang berpadu dengan bumi yang putih bersih. Seorang diri saya berdiri di tengah luasnya padang Kyrgyzstan bersama Menara Burana yang berdiri di hadapan barisan batu-batu berwajah datar yang hanya membisu menyimpan rahasia peradaban.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 21 April 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*