Recommended

Garis Batas 35: Pelarian

Sumpit tak pernah absen di meja makan keluarga Dungan (AGUSTINUS WIBOWO)

Sumpit tak pernah absen di meja makan keluarga Dungan (AGUSTINUS WIBOWO)

Bagaimana bangsa Dungan bisa sampai di sebuah desa mungil di pelosok negeri Kirghiz ini? Di negeri ini, identitas mereka sebagai bangsa minoritas sering dipertanyakan. Mereka meninggalkan negeri leluhur di Tiongkok sana dalam sebuah pelarian, meninggalkan bentrokan identitas yang kini disusul pergesekan identitas yang lain.

Apakah identitas itu? Anda bisa menjadi seorang bapak, seorang pegawai kantor, seorang warga Jakarta, warga Indonesia, seorang Muslim, seorang pendukung globalisasi, atau seorang pendukung emansipasi wanita, sekaligus pada saat bersamaan. Seorang manusia bisa punya sejumlah identitas sekaligus, ada yang saling mendukung, ada yang saling bergesek. 

Demikian pula halnya dengan bangsa. Ada jati diri yang menyatukan beribu manusia yang menyatakan diri sebagai anggota dari golongan yang sama. Di Asia Tengah, pertanyaan tentang identitas suku bangsa semakin kompleks ketika Uni Soviet memutuskan untuk memecah dataran luas ini menjadi beberapa negeri Stan, yang masing-masing dihuni oleh suku-suku yang bersama-sama lahir dalam pencarian identitasnya masing-masing. Apa itu Kirghiz? Siapa itu Uzbek dan Tajik? Pertanyaan-pertanyaan ini baru muncul tak sampai seabad lalu ketika garis-garis batas negara mulai dicoret-coret di atas peta kawasan ini.

Pencarian identitas semakin rumit, karena Asia Tengah tidak dihuni oleh lima suku bangsa yang sudah jelas definisi dan garis batasnya. Belum lagi bangsa pendatang dari seluruh penjuru Uni Soviet yang datang ke padang rumput luas ini dengan berbagai alasan – pengungsi gempa, pelaku kriminal yang dibuang, pemimpin agama yang dihukum, pelarian perang, prajurit, saudagar sutra, dan sederet manusia-manusia lain.

Di antara bangsa pendatang itu, ada orang-orang Dungan dari negeri Tiongkok. Siapakah orang-orang Dungan ini?

Ali, alias Ma Jingsheng, pria Dungan berusia 60 tahun dari Tokmok, berkata, “Bapak kami adalah Arab. Ia adalah agama kami, Islam. Ibu kami adalah China. Ialah bahasa kami, kebudayaan kami.”

Ali berkisah tentang kejadian 800 tahun lalu, ketika penyerbu Arab masuk ke negeri leluhur Dungan di Tiongkok sana, di balik Pegunungan Tien Shan dan Pamir. Raja yang ketakutan akan serbuan itu memutuskan untuk menikahkan puterinya dengan orang Arab, untuk menghindari perang. Keturunan dari pernikahan itu adalah orang Dungan sekarang. Separuh sejarah, separuh takhayul, demikian orang Dungan menganggap Arab sebagai bapak dan Tiongkok sebagai ibu.

Orang Dungan, di RRC disebut etnis Hui, adalah salah satu dari 56 suku bangsa yang diakui pemerintah Tiongkok. Nama Dungan, yang terkenal di bekas wilayah Uni Soviet, sama sekali tidak dikenal di Tiongkok. Lalu mengapa mereka disebut Dungan? Asal muasal nama ini pun masih misteri. Orang-orang Dungan di Tokmok yang saya temui kebanyakan juga tidak tahu bagaimana nama ini kemudian melekat pada diri mereka.

Beberapa literatur menunjukkan, nama Dungan mungkin berasal dari bahasa Turki dönen, artinya orang-orang yang berbelok atau berpulang. Dalam bahasa Mandarin, kata Hui juga berarti ‘pulang’. Apakah ini asal muasal nama Dungan? Hingga hari ini, kata ini masih menjadi perdebatan ahli sejarah Tiongkok dan Asia Tengah.

Yeja Karim, tetua Dungan yang paling dihormati di seluruh Tokmok, berkisah bahwa Dungan berasal dari bahasa Mandarin dong-gan, yang artinya provinsi Gansu bagian timur, tempat asalnya nenek moyang etnis Hui. Bagaimana orang-orang Hui ini jadi disebut Dungan, juga karena kesalahpahaman pemerintah Rusia yang sama sekali tidak mengerti bahasa China.

Ganfan, nasi Dungan, memperkaya khasanah kuliner Kyrgyzstan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Ganfan, nasi Dungan, memperkaya khasanah kuliner Kyrgyzstan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Sejarah Dungan memang tidak lepas dari pelarian. Sekitar 120 tahun silam, etnis Muslim Hui di Tiongkok memberontak terhadap Dinasti Qing, namun berhasil dikalahkan. Untuk menghindari pembalasan dari pemerintah, umat Muslim Hui kemudian melarikan diri ke balik perbatasan Rusia, dimana kemudian mereka dikenal sebagai Dungan.

Yeja Karim, yang umurnya sudah kepala tujuh, ikut merasakan berkali-kali berpindah melintasi perbatasan Soviet dan China. Orang tua Yeja Karim termasuk yang melarikan diri ke Soviet tahun 1888 setelah pemberontakan Muslim yang digagalkan itu. Yeja lahir di Soviet, tetapi tahun 1930, ketika Stalin mulai berkuasa dengan tangan besi, keluarga Yeja mengungsi kembali ke negeri China. Yeja dibesarkan di propinsi Xinkiang dan  sempat menjadi guru di sekolah menengah di kota Yining.

Tahun 1961, ketika pemerintah Soviet membuka pintu gerbangnya bagi para mantan warga negaranya, Yeja ikut kembali bersama gelombang migrasi orang Dungan, masuk dari Khorgos ke Kazakhstan, kemudian menyeberangi Sungai Chuy hingga sampai di Tokmok.

Bagi Yeja, identitas Dungan yang paling utama ada dua – Muslim dan Tionghoa. Ketika saya berkunjung ke rumahnya, Yeja sedang berkonsentrasi mengikuti siaran TV tentang pengumuman 100 kader komunis yang diangkat di provinsi Fujian. Semuanya dalam bahasa Mandarin murni yang sudah tidak dipahami oleh sebagian besar generasi muda Dungan. Yeja sangat mencintai Tiongkok, tetapi dia tidak benci Kyrgyzstan.

“Semua tempat di seluruh dunia ini sama, seluruh penjuru adalah rumah kita,” kata Yeja bersemangat, yang kemudian dilanjutkan dengan menyanyikan lagu-lagu mars komunis Tiongkok.

“Tiongkok semakin lama semakin kuat. Kami, orang Hui dan semua keturunan Tionghoa, juga ikut menjadi kuat.”

Identitas ke-Tiongkok-an, bercampur dengan nuansa Islami, masih sangat kental di tengah keluarga Muhammad, 50 tahun, satu di antara sepuluhan orang yang rajin sembahyang di masjid setiap hari. Muhammad tinggal bersama istri, ibu, anak, menantu, dan beberapa cucu. Keluarganya cukup berada. Istrinya sudah naik haji tahun 70’an, melalui jalan darat dari Kazakhstan sampai Mekah, lewat Iran, Suriah dan Iraq. Zaman itu orang masih harus bersusah payah naik haji lewat medan yang berat.

Fatime, ibu Muhammad, sudah tua. Waktu saya datang, si nenek sedang mendirikan salat di sudut ruangan. Nenek hanya bisa bahasa Dungan, atau Mandarin. Muhammad sendiri kosa kata bahasa Dungannya terbatas sekali, dan sama sekali tidak bisa membaca huruf China. Anak Muhammad yang baru menikah, boleh dikata hanya mengerti 20 persen bahasa Dungan. Ketika bicara dengan anaknya, Muhammad lebih sering pakai bahasa Rusia.

Dari generasi ke generasi, identitas asli Dungan – Islam dan Tiongkok, semakin pudar. Anak muda yang bisa lancar berbahasa Dungan atau masih menjalankan ibadah salat dan puasa, bisa dihitung. Bahasa Dungan, yang ditulis dengan huruf Rusia, sangat tidak populer untuk dipelajari. Generasi muda Dungan lebih fasih bicara bahasa Kirghiz dan bahasa Rusia. Orang Dungan sudah tidak merayakan tahun baru Imlek seperti saudara-saudara etnis Hui di Tiongkok sana.

Tetapi bukan berarti identitas Dungan hilang sama sekali. Meja makan Muhammad masih didominasi sumpit, mie laghman dari Xinjiang, pangsit dan asinan dari China utara. Menu makanan Dungan seperti nasi ganfan dan tahu juga populer di seluruh Kyrgyzstan, dimana restoran Dungan dengan bumbu yang eksotis menawarkan variasi kepada masakan Kirghiz yang relatif hambar dan berminyak.

Dari Kerim yang sudah ter-Kirghiz-isasi dan ter-Rusian-isasi, hingga Yeja Karim yang masih merindukan kampung halaman, sampai ke sumpit-sumpit yang bertebaran di atas meja makan Muhammad, saya melihat serpihan-serpihan pergesekan dan interaksi identitas sebuah bangsa pendatang. Seperti komunitas Tionghoa di Indonesia, orang Dungan di Kyrgyzstan juga mengalami gelombang migrasi, pergesekan dengan etnis pribumi, pemudaran identitas dan penemuan kembali jati diri.

Dungan, mereka sungguh orang-orang yang kembali lagi ke akarnya.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 23 April 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*