Recommended

Jaipur – A Lesson from a Bus Journey

November 26, 2005

Perjalaan dengan bus di India selalu penuh warna. Dan pengalaman saya kali ini, dalam bus dari Pilani menuju Jaipur, adalah salah satu pengalaman yang sangat biasa dalam perjalanan di India. Bus-bus di India didesain untuk menyempalan 50 kursi dalam sebuah bus yang sebenarnya hanya untuk 40 kursi. Akibatnya, sebuah jendela bus terkadang harus dishare oleh dua baris penumpang.

Penumpang di depan saya, seorang perempuan berbungkus sari, bersikukuh membuka jendela di samping kursinya lebar-lebar. Akibatnya, separuh bagian dari jendela yang terbuka itu tepat di sebelah saya, mengalirkan angin yang luar biasa dinginnya ke dalam bus. Penumpang-penumpang yang ketiban sial mendapat sapuan angin dingin itu semuanya marah. Bahkan ada ibu-ibu yang membawa bayi, dan bayinya menangis kedinginan. Tak heranlah, musim dingin seakan dipindahkan ke dalam bus, sedangkan perempuan yang membuka jendela itu hanya bersejuk-sejuk saja karena angin tidak berhembus langsung ke wajahnya. Semua orang teriak, histeris, minta agar jendela itu ditutup. Tapi orang India memang terkenal dengan konsistensinya, demikian juga sapi-sapi di jalan yang tak mau peduli dengan kendaraan yang lalu lalang. Perempuan ini pun keukeuh dengan tak mau menutup jendelanya berapa milimeter pun.

Dua jam perjalanan yang menyiksa. Saya masuk angin. Dan bayi yang menangis itu akhirnya diam juga karena kecapekan. Orang-orang yang berteriak-teriak pun juga sudah menjadi serak.

Saya tak ingin bicara tentang kekeraskepalaan ini. Tapi saya ingin bicara tentang empati, yaitu menempatkan posisi kita di posisi orang lain. Jika saja perempuan ini boleh memikirkan siksaan yang dialami penumpang lain, yang tidak dialami oleh dirinya sendiri, mungkin dia boleh menutup sedikit jendelanya. Namun sebelum menyalahkan dia, apakah kita juga mempunyai cukup empati di sini? Tak jarang kita mendengar para pengunjung asing di India mengeluhkan betapa kotornya negara ini, betapa bandelnya orang-orangnya, betapa buruknya pelayanannya, bla bla bla. Saya pernah berjumpa dengan seorang traveler dari Indonesia yang tak henti-hentinya membandingkan India dengan Jakarta. Saya sendiri pun sering mengeluhkan betapa tidak sopannya orang-orang di sini.

Namun kejadian ini benar-benar menyadarkan saya. Saya pun tak punya cukup empati. Dulu saya sering mengeluhkan bagaimana orang India selalu menyapa dengan “Halo! Halo!” dengan nada yang hampir sama dengan ketika kita menyerukan “hey, hey!!!”. Dingin, anonim. Saya menantikan sapaan lembut macam “mas”, “pak”, “permisi” dsb. Namun perlukah kita mempersalahkan ini kalau kita berpikir dari posisi mereka. Pernahkah kita perhatikan bahwa mereka juga memanggil “halo” dengan sesama orang India lainnya. Dan bagi mereka panggilan ini tak lebih dari sekedar mencari perhatian.

Contoh lain mengenai sistem antri di India yang selalu dikritik oleh orang-orang bule. Atau saya yang selalu mengherankan kenapa laki-laki India suka mencurahkan air seninya “di samping” dan bukannya “di dalam” WC umum. Hari ini saya mencoba langsung mempraktekkan pembuangan air seni ini di WC Umum, dan saya otomatis juga melakukan hal yang sama spt orang India pada umumnya.

Dengan empati kita akan berhenti selalu menilai tempat yang kita kunjungi dari sudut pandang dan standar nilai kita sendiri. Sebaliknya kita akan belajar untuk berpikir dari sisi mereka.

Kembali ke cerita perempuan yang membuka jendela itu. Mungkin dia kepanasan? Mungkin dia akan muntah karena mabuk darat?

2 Comments on Jaipur – A Lesson from a Bus Journey

  1. it’s gonna be a peace world if everybody has empaty as yours.
    And i’m sure it was one of hundred lessons you’ve got on travelling. wasn’t it?
    What a lucky person you are!
    Salute!!

  2. Karena kita tidak bisa sepenuhnya melepaskan latar belakang kita, maka buat saya it is natural kalau ada kecenderungan untuk membanding-bandingkan antara tempat yang sedang kita kunjungi dengan tempat asal kita (atau dengan tempat lain yang pernah kita datangi sebelumnya), bahkan kadang sesuatu jadi menarik kalau kita membandingkannya dengan tempat asal kita.
    Walaupun demikian, I agree with you bahwa kita harus belajar berpikir dari sisi locals. This way, selain kita nggak capek ngotot membandingkan keadaan dengan tempat asal kita, I think we’ll also learn much more from our travel.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*