Recommended

Garis Batas 43: Lima Belas Tahun Merdeka

Culture Shock? (AGUSTINUS WIBOWO)

Culture Shock? (AGUSTINUS WIBOWO)

Kazakhstan memang masih muda. Pertengahan Desember ini, selain semaraknya persiapan Tahun Baru dan Natal, negeri ini juga sibuk merayakan 15 tahun hari jadinya. Memang tak salah kalau perayaan kali ini lebih meriah daripada biasanya. Di antara negara-negara baru Asia Tengah, Kazakhstan telah menunjukkan taringnya sebagai negeri yang paling makmur, memanjakan penduduknya dengan pendapatan per kapita yang menakjubkan, dan kini sedang melenggang ke arah kapitalisme ala negeri-negeri Barat. 

Terlepas dari meroketnya harga-harga karena pendapatan penduduk yang terus meningkat, tak semua orang di Almaty menikmati berkah kemakmuran itu. Kapitalisme justru membuat jurang antara kaya dan miskin, yang hampir tidak pernah ada sebelumnya ketika Kazakhstan masih berada di bawah merahnya komunisme Uni Soviet. Ibu kos saya, Nenek Lyubova, sudah rindu sekali akan apel Almaty yang terkenal itu. Sekarang, jangankan untuk membeli apel, untuk menghidangkan makanan seadanya di atas meja makan pun Lyubova sudah tak mampu. Semua menjadi mahal. Karena orang-orang di tengah kota sana menjadi kaya dan semakin kaya.

Saya yang sudah mulai terbiasa dengan biaya hidup Almaty, dan belajar banyak dari cara hidup hemat Nenek Lyubova, mulai bisa memenuhi kebutuhan perut sehari-hari dari belanja di Zelyonii Bazaar, pasar sayur. Di sini harganya jauh lebih miring daripada di Silkway Gipermarket. Menu harian saya kini bukan lagi hanya mie instant impor dari China, tetapi menjadi lebih sedap dengan acar kimchi yang dijual kiloan oleh ibu-ibu keturunan Korea. Saya juga jadi pelanggan tetap warung laghman Uyghur, bakmi bertabur irisan daging dan cabe dari propinsi Xinjiang di China.

Di pasar sayur juga banyak dijual sosis babi berkualitas tinggi dari Rusia. Bukan cuma dikonsumsi oleh orang Rusia, orang Kazakh pun ramai membeli sosis ini. Orang Kazakh memang mengaku Muslim, tetapi makan babi dan minum vodka bukan pantangan. Dibandingkan negara-negara Stan lainnya, Kazakhstan memang yang paling kuat pengaruh Rusianya. Selain karena jaraknya yang paling dekat dengan Rusia, besarnya populasi orang Rusia di negara ini yang hampir setengah populasi, sejarah orang Kazakh memeluk Islam juga masih baru. Kaum nomaden Kazakh bahkan mengenal Islam baru sekitar 200 tahun lalu, itu pun bercampur dengan kultur bangsa pengembara yang tidak suka terikat oleh aturan-aturan.

Jadilah Islam versi orang Kazakh. Mengaku Muslim tetapi babi dan vokda jalan terus. Tak pernah baca Alqur’an, bahkan huruf ALLAH dan MUHAMMAD yang selalu ada di semua masjid pun banyak yang tak bisa baca. Bulan Ramadan tidak dilewatkan dengan puasa atau berzikir. Puluhan tahun di bawah komunisme juga ikut melunturkan kehidupan spiritual di negeri ini.

Tetapi ketika Kazakhstan merdeka, lima belas tahun lalu, perlahan-lahan Islam pun kembali. Negara-negara baru ini memang memerlukan identitas dan jati diri untuk menjadi alasan eksistensinya. Arab Saudi dan Turki berbondong-bondong membangun masjid dan sekolah, mengingatkan orang-orang bagaimana hidup seharusnya sebagai Muslim. Almaty kini juga sudah mulai punya beberapa masjid, berdiri megah di tengah kota yang semula hanya terkenal akan gereja-gereja katedral Kristen Ortodoksnya.

Merayakan 15 tahun kemerdekaan (AGUSTINUS WIBOWO)

Merayakan 15 tahun kemerdekaan (AGUSTINUS WIBOWO)

Islam perlahan-lahan menjadi identitas. Anak-anak muda mengkoleksi liontin bertuliskan huruf Allah dan Muhammad, walaupun tidak tahu apa bacanya, untuk menyatakan dirinya sebagai Muslim. Beberapa pemuda Kazakh yang saya temui menolak dengan keras difoto di depan Katedral Zenkov, yang menjadi ikon Almaty, dengan alasan agama. Tetapi kebiasaan minum vodka dan terkadang sosis babi masih jalan terus. Yang paling penting memang identitasnya.

Identitas nasional Kazakhstan memang hal baru yang masih dalam proses inovasi dan pengembangan. Ketika stan-stan lain memproklamirkan kemerdekaan tahun 1991, Kazakhstan masih ingin terus ikut orang Rusia. Kazakhstan menjadi pecahan Soviet terakhir yang menyatakan kemerdekaan  pada tanggal 16 Desember 1991. Pengaruh Rusia yang sangat kuat mengaburkan definisi nasionalisme Kazakh. Islam, identitas yang perlahan-lahan mulai tampak di sana sini, masih belum cukup kuat untuk dikatakan sebagai karakter bangsa Kazakh.

Di bawah umbul-umbul yang dipasang para pekerja untuk persiapan perayaan 15 tahun hari jadi negara, saya mengagumi kebesaran Respublika Alangy, Lapangan Republik. Di lapangan yang dikelilingi gedung-gedung berbentuk kotak balok khas Rusia, berdiri monumen tinggi yang bernama Monumen Kemerdekaan. Di atas monumen itu bertengger lambang kejayaan Kazakhstan – seorang ksatria yang berdiri tegak di atas macan tutul terbang. Ksatria ini adalah replika Altyn Adam atau Manusia Emas, patung dari zaman Sebelum Masehi yang disusun dari ribuan keping emas. Altyn Adam, visi masa depan Kazakhstan yang gemilang.

Macan tutul dipilih Nazarbayev sebagai lambang kemajuan ekonomi Kazakhstan. Waktu itu, keempat macan ekonomi Asia – Indonesia, Malaysia, Korea Selatan, dan Thailand, cukup memukau Nazarbayev. Daripada meniru menjadi macan, negeri ini kemudian memilih macan tutul untuk lambang kemakmuran ekonominya. Lima belas tahun berselang, si macan tutul telah menunjukkan taringnya sebagai negara yang makmur, sedangkan si macan dari Indonesia sudah ompong giginya diterjang badai ekonomi.

Saya terus menyusuri taman-taman di sekitar Respublika Alangy yang kini berlapis salju tebal. Di pinggir jalan kecil, saya melihat ada tubuh manusia yang berbaring di atas trotoar. Dilihat dari dekat, ternyata bukan hanya satu orang, melainkan sepasang sejoli yang memadu cinta. Keduanya orang Kazakh. Si cowok berbaring di atas salju, dan si gadis berbaring di atas tubuh kekasihnya. Mereka memadu asmara di pinggir jalan, sama sekali tidak peduli dinginnya es dan orang-orang yang lalu lalang. Dunia hanya milik mereka berdua. Para pejalan kaki pun tak ambil pusing. Mungkin pemandangan ini sudah biasa.

Kazakhstan, di tengah persimpangan identitas, membuat saya jadi bertanya-tanya, “Apakah ini masih Asia?”

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 5 Mei 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*