Recommended

Garis Batas 46: Naik kereta api, tenge… tenge… tenge…

Perjalanan panjang dalam kereta api (AGUSTINUS WIBOWO)

Perjalanan panjang dalam kereta api (AGUSTINUS WIBOWO)

Dua minggu di Kazakhstan adalah hari-hari yang berat. Mie instan yang sudah menjadi makanan pokok saya di sini, karena harganya yang paling terjangkau, telah mengantarkan beberapa lubang sariawan di sudut-sudut mulut. Dinginnya bulan Desember yang tak bersahabat di Kazakhstan, ditambah lagi harga-harga yang terus menghisap darah, membuat saya tak sabar untuk meninggalkan metropolis Almaty. 

Sebagai negara daratan yang sangat luas, jaringan kereta api menjadi alat transportasi vital di Kazakhstan. Dengan kereta api orang bisa ke mana-mana, dari Almaty di pucuk selatan, sampai ke Astana yang seribuan kilometer jauhnya, hingga ke Petralovsk, Semey, Atyrau, dan Uralsk di pucuk-pucuk negeri, bahkan sampai ke Moskwa dan Siberia. Seratusan tahun yang lalu, Kazakhstan cuma tempat terpencil di ujung dunia, layaknya Timbuktu yang terlupakan. Sekarang Timbuktu ini sudah disulap menjadi negara makmur.

Saya yang terpukau oleh stasiun Almaty 1, tahu-tahu digeret polisi stasiun. Saya ketahuan memotret di dalam lingkungan stasiun. Saya dibawa ke ruang interograsi. Di sana ada seorang wanita gendut yang sepertinya polisi kepala. Dengan sabar ibu polisi itu bertanya mengapa saya memotret, karena itu haram hukumnya di sini. Saya manggut-manggut, minta maaf dan menghapus foto-foto saya.

Para penumpang dengan brutal memasuki kereta. Yang kuat yang menang, seperti hukum rimba di padang gembala. Saya memang sengaja datang awal-awal, untuk menghindari adu jotos dengan penumpang-penumpang lain yang tidak sabar menaruh barang.

Seperti umumnya kereta dari Soviet, kap di bawah tempat tidur bisa dibuka. Di situlah kita bisa menaruh bawaan. Kap kemudian ditutup dan atasnya bisa diduduki sekalian ditiduri, sehingga cukup aman dari maling. Satu kompartemen biasanya terdiri dari empat ranjang berhadap-hadapan (dua di atas), dan dua buah ranjang di sebelah jendela.  Saya suka memesan ranjang yang bawah, karena selalu dekat dengan barang bawaan saya.

Kereta ini akan membawa saya ke Turkistan, melintasi kota selatan di dekat perbatasan Uzbek yang namanya Shymkent. Tujuan akhir kereta ini adalah Manggistau, yang belakangan saya tahu jauh berada di ufuk barat sana di sebelah Laut Kaspia. Jangan heran kalau tiket sampai ke Manggistau sampai sekitar satu juta rupiah. Jaraknya ribuan kilometer, ditempuh dalam tiga hari perjalanan tanpa henti.

Karena lewat Shymkent, kereta ini penuh dengan orang-orang yang turunnya cuma sampai di Shymkent saja. Kalau kereta yang menuju Astana kemarin banyak penumpang Rusia, kereta yang menyusuri jalur selatan Kazakhstan ini penuh orang Asia, kebanyakan etnis Kazakh dan Uzbek. Di Kazakhstan, seperti spektrum, semakin ke selatan semakin besar proporsi orang Kazakhnya.

Orang Kazakh yang tinggal di daerah selatan negeri ini masih kental budaya Asianya, ramah tamah dan suka bergaul. Saya masih ingat wajah-wajah dingin tanpa senyum yang saya jumpai di Astana. Keakraban yang saya rasakan dalam kereta ini membuat saya bertanya-tanya, apakah saya masih berada di negara yang sama. Senda gurau dan derai tawa terdengar di mana-mana.

Nenek Kazakh bergigi emas yang duduk di hadapan saya menawarkan makanan yang dibawanya. Saya pun membawa kimchi Korea yang saya bagi-bagi dengan penumpang lain. Dua orang pelajar universitas dari Shymkent juga sudah siap dengan roti dan buah-buahan. Menu utama saya, seperti biasa, mie instan kotak yang saya beli tadi pagi di pasar sayur. Kami saling mencicip makanan, ketika cakrawala menit demi menit beranjak gelap.

Keramahan orang Kazakh (AGUSTINUS WIBOWO)

Keramahan orang Kazakh (AGUSTINUS WIBOWO)

Setiap tempat duduk, yang juga berfungsi sebagai tempat tidur, sudah disediakan bantal dan kasur, tetapi tidak ada sarungnya. Menjelang gelap, petugas kereta api membagi-bagikan sprei dan sarung bantal. Benar-benar pelayanan yang sempurna, bukan?

Eits, tunggu dulu. Di negara kapitalis ini tidak ada yang gratis. Semuanya Tenge, Tenge, dan Tenge. Pinjam sprei dan sarung bantal pun bayar. Dua ratus lima puluh Tenge, hampir dua dolar, hanya untuk pinjaman kain semalam.

Dulu waktu ke Astana, saya berusaha menghindar membayar 250 Tenge, yang cukup besar bagi ukuran kantong saya. Saya langsung disemprot ibu petugas kereta yang judesnya bukan kepalang, “Kalau tidak pakai sprei, kamu tidak boleh tidur di sini!!!” Dengan berat hati, 250 Tenge pun melayang.

Di kereta ini, ketika penumpang-penumpang lain semua membayar sprei, saya merayu-rayu ibu petugas kereta. Eh, ternyata boleh. Uang Tenge pun masih betah terjepit di dompet saya.

Apa yang membuat orang-orang di sini demikian ramah dan tidak perhitungan dibandingkan di utara sana? Apakah udara yang dingin di utara sana membuat orang-orangnya juga sedingin es? Ataukah tingkat ekonomi yang rendah membuat orang lebih bersahabat dan tidak terlalu memikirkan untung rugi?

Ludmilla, ibu paruh baya etnis Rusia berseragam petugas kereta api, berjalan dari gerbong ke gerbong menawarkan kaus kaki. Dengan penuh keheranan ada orang asing di gerbong ini, dia langsung duduk di sebelah saya. Saya menunjukkan album foto saya, yang bercerita tentang kaum miskin di India, Pakistan, dan Afghanistan.

Tak saya sangka, butir-butir air mata nyaris menetes di pipi Ludmilla. Sambil sibuk melihat foto-foto dan mendengar cerita saya, Ludmilla terus-menerus mengusap matanya.

“Orang-orang malang…., sekarang saya belajar bagaimana bersyukur pada Tuhan. Spasibo. Terima kasih. Dengan melihat foto-fotomu, saya jadi tahu saya tidak layak mengeluhkan kehidupan di Kazakhstan.” 

Ludmilla memang tidak kaya. Untuk ukuran kemakmuran Kazakhstan, pedagang kaus kaki ini memang termasuk kelas bawah. Tetapi kemiskinannya tidak menghalanginya untuk bersyukur. Seperti ikan yang melihat segalanya kecuali air, orang sering lupa bersyukur. Sementara di belahan bumi lain orang harus berlapar dahaga, yang hidup bergelimang kemakmuran malah masih belum puas dengan rejeki yang diterima. 

Seorang aksakal, kakek berjenggot putih, berjubah hitam dan bertopi tradisional, berjalan dari gerbong ke gerbong. Si kakek membaca doa-doa berbahasa Arab. Para penumpang, yang kebanyakan Muslim, menengadahkan tangan. “Amin….” doa ditutup. Para penumpang meraupkan tangan ke wajah, dan langsung menyediakan sedekah untuk sang kakek.

Kehangatan dan keramahtamahan orang Kazakh, yang sudah menjadi tradisi turun-temurun bangsa pengembara, memang bukan untuk dicari di kota-kota metropolis macam Astana dan Almaty.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 8 Mei 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*