Recommended

Garis Batas 47: Ziarah Suci

Perjalanan suci ke Turkestan (AGUSTINUS WIBOWO)

Perjalanan suci ke Turkestan (AGUSTINUS WIBOWO)

Permata sejarah Kazakhstan, demikian Turkistan dikenal. Bekas ibukota kesultanan Kazakh di abad ke-16 ini kini menarik ribuan Muslim dari Asia Tengah yang menjadikannya sebagai Mekkah kedua.

Matahari menampakkan wajahnya ketika saya turun dari kereta di Stasiun Turkistan. Langit biru kelam, berpadu dengan putihnya hamparan salju yang membungkus bumi, membangkitkan semangat saya di ujung perjalanan Kazakhstan ini.

Setelah menitipkan backpack di penitipan bagasi stasiun, saya segera menuju ke makam suci Khoja Ahmad Yasawi, monumen sejarah yang paling dibangga-banggakan negeri Kazakh.

Khoja Ahmad Yasawi lahir di Turkistan, hampir seribu tahun yang lalu. Dia belajar Islam di Bukhara dan  kembali ke Turkistan, menyebarkan ajaran sufisme di sini. Makamnya menjadi pusat ziarah penting. Begitu pentingnya makam ini sampai orang setempat percaya, tiga kali berziarah ke Turkistan sama dengan sekali naik haji ke Mekkah.

Bangunan megah yang sekarang menaungi pemakaman Yasawi dibangun lebih dari 200 tahun sesudah kematiannya. Adalah Timur si Pincang, atau Timurleng, yang sekarang diadopsi sebagai pahlawan besar Uzbekistan, yang membangun gedung megah di Turkistan ini untuk menghormati sang Khoja. Timur memang terkenal dengan monumen-monumen agungnya yang menyilaukan mata. Lihat kota Samarkand yang bertabur masjid-masjid dan madrasah-madrasah raksasa. Bangunan makam Khoja Yasawi ini hanyalah salah satu contoh kecil dari kedigdayaan sang Amir Timur.

Kubah-kubah hijau zamrud menantang langit. Lautan salju menghampar di hadapan. Dinding berbungkus mozaik, yang kalau dilihat dari dekat adalah tulisan bahasa Arab “ALLAH” yang disamarkan menjadi bentuk-bentuk geometris yang indah. Pintu masuknya tinggi sekali, seakan dibuat untuk raksasa. Warna hijau dan oranye berpadu indah, menghamburkan keindahan arsitektur gaya Persia.

Bagian pintu masuk mausoleum ini tidak sempat dihias apa-apa, karena sang Raja Timur dari selatan  keburu meninggal sebelum bangunan ini selesai. Namun hal itu tidak mengurangi kedahsyatannya.

Jangan heran kalau kemudian Kazakhstan demikian bangga akan peninggalan sejarah yang ada dalam wilayahnya. Walaupun cikal bakal bangsa ini adalah suku nomaden, namun Kazakhstan masih punya keajaiban arsitektur yang menjadi ciri khas bangsa-bangsa sedentair. Setelah Borat mengobrak-abrik reputasi Kazakhstan, sebuah film berjudul Nomad:The Warriors meluncur dari kantong pemerintah Kazakhstan yang menghabiskan dana 40 juta dolar untuk pembuatannya.

Film yang pembuatannya jauh sebelum Borat ini berkisah tentang kebesaran dan kejayaan peradaban Kazakhstan. Dengan setting kota kuno Turkistan, bangunan-bangunan dari zaman Timur, serta padang rumput Kazakhstan yang luas, semua orang yang menonton pasti dibawa berkhayal tentang masa lalu negeri ini. Ada pejuang padang rumput bernama Mansur yang kemudian menjadi khan agung Kazakh yang beribu kota di Turkistan. Ada nilai-nilai luhur bangsa padang rumput, perjuangan tanpa akhir, dan kemenangan.

Nomad, epos yang membawa imajinasi kita ke padang rumput Kazakhstan, memang dipenuhi wajah-wajah artis Amerika dan teknologi Hollywood, sarat dengan pesan politik dari Presiden Nazarbayev tentang kebangaan akan peradaban Kazakhstan yang gemilang.

Tetapi, pada zaman itu belum ada yang namanya Uzbekistan, Kazakhstan, dan kakak-beradik stan-stan yang lain. Asia Tengah masih belum dipecah-pecah menjadi republik-republik berdasar etnis oleh induk semang Uni Soviet. Identitas Asia Tengah kala itu adalah Islam, Turki, dan Persia. Orang tidak bicara tentang etnis, garis batas negara, dan nasionalisme seperti sekarang. Boleh saja Kazakhstan mengklaim Turkistan sebagai peninggalan peradabannya, seperti halnya Uzbekistan yang meng-Uzbek-kan Amir Timur, serta Tajikistan dengan ratapannya akan kota Samarkand. Semua ini adalah perpaduan dari masa lalu yang gemilang yang kini harus dipecah dalam blok-blok bernama batas teritorial.

Entah apa yang akan dikatakan Khoja Yasaui ketika melihat orang sekarang meributkan apakah Yasaui itu orang Kazakh atau orang Uzbek. Bukankah hal itu pada masa kehidupannya tidak penting sama sekali? Diskusi tentang identitas-identitas kebangsaan baru bermunculan sekarang, ketika negara-negara stan merdeka dan berdaulat penuh, dan membutuhkan common values, common history, dan nasionalisme untuk mempersatukan rakyatnya.

Di antara identitas yang bercampur aduk di Asia Tengah sekarang, kita tentunya tidak boleh melupakan Rusia, yang demikian mengakar setelah seabad lebih bercokol di bumi Asia Tengah. Ketika orang-orang khusyuk berziarah dan memanjatkan doa-doa di pemakaman Khoja Yasawi, tempat ini juga menjadi lokasi pemotretan wedding favorit. Pria berjas, wanita bergaun putih ala Eropa, datang bergandengan diiringi sanak keluarga. Mereka memanjatkan doa di dalam makam, tak lupa senantiasa direkam oleh video camera yang dibawa cameraman. Klik… klik… klik…, foto pernikahan dijepret di depan bangunan agung makam, menjadi kenang-kenangan seumur hidup pasangan pengantin.

Malamnya, saya sampai di Shymkent, kota terakhir Kazakhstan sebelum memasuki negara stan berikutnya, Uzbekistan. Saya berharap bisa sampai di Uzbekistan hari ini juga, tetapi apa daya, ternyata perbatasan Kazakh-Uzbek tutup waktu malam.

Tak ada pilihan lain, saya harus menginap di Shymkent, kota Kazakh yang punya populasi etnis Uzbek sangat besar ini. Saya menghitung recehan uang Tenge di dompet saya. Yang tersisa hanya uang logam, uang receh, yang harus cukup membawa saya sampai ke Uzbekistan.

Terminal bus ini gelap gulita. Ada sebuah penginapan di dalam terminal, tetapi pelayan losmen bilang semua kamar penuh. Bolehkah saya tidur di bangku saja, setidaknya lebih hangat daripada tidur di luar? Si pelayan menolak saya mentah-mentah.

Saya langsung bertemu dengan pemilik hotel, yang terkejut dengan bahasa Kazakh saya yang terbata-bata. Dia juga gembira karena pertama kali ada orang Indonesia sampai di sini. Harga kamar di sini 600 Tenge, dan seperti kata pelayan, semua kamar penuh. Sekali lagi, saya memohon untuk diijinkan tidur di atas kursi. Pemilik hotel mengangguk. “Dua ratus lima puluh Tenge!”

Pemilik hotel mengajak saya makan malam. Perut saya belum diisi apa-apa sejak pagi tadi, tetapi saya cukup tahu diri, saya tak punya uang lagi. Saya membaringkan diri di atas bangku-bangku yang dijajar dan dipasangi selimut oleh pelayan. Saya berusaha menambatkan diri ke alam mimpi dengan perut keroncongan.

Hampir saja saya bermimpi, ketika si pelayan datang dengan semangkuk shorpo, sup daging hangat, bersama selembar roti nan. “Makan saja, nggak usah bayar,” kata pelayan gemuk itu sambil tersenyum, faham akan kekuatiran saya. “Rahmat,” terima kasih, hanya itu yang bisa saya ucapkan. Saya langsung menyantap makanan itu seperti sudah berhari-hari tak makan, dan langsung tertidur lelap sesudahnya.

Tidur di atas bangku keras di tengah dinginnya Desember Kazakhstan memang sangat menyiksa. Berpetualang di Kazakhstan tanpa dukungan dompet yang tebal memang menyakitkan. Saya hanya berharap, besok semua penderitaan ini akan  berakhir. Karena besok saya akan melangkahkan kaki ke arah gerbang Uzbekistan, negeri hangat di selatan sana.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 9 Mei 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*