Recommended

Garis Batas 50: Bukan Negara Normal

Tukang sepatu dari Bukhara (AGUSTINUS WIBOWO)

Tashkent, ibu kota Uzbekistan  (AGUSTINUS WIBOWO)

Baru saja sampai di Uzbekistan, saya sudah dipusingkan dengan masalah yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Staf KBRI Tashkent siap dengan setumpuk wejangan bagaimana harus melewatkan hari-hari di negara Uzbek ini.

Tashkent, dalam bahasa Uzbek disebut Toshkent, berarti ‘kota batu’. Tapi jangan mencari batu di sini. Kota ini sudah tidak hidup di zaman batu dan perjalanan waktu sudah menggiringnya menjadi kota modern dan kosmopolitan di Asia Tengah. Gadis-gadis Rusia berpakaian trendi mengibaskan rambut pirangnya, menyusuri barisan gedung-gedung tinggi yang megah dan rapi. Di musim dingin ini, Tashkent tetap menawarkan kehangatan, kedinamisan sebuah kota maju, plus keindahan gadis-gadis yang menyegarkan mata pria Indonesia mana pun. Kalau mereka dibawa ke Indonesia, semua pasti jadi bintang sinetron.

Tidak jauh dari pusat kota ada hotel bintang empat yang cukup membuat orang Indonesia bangga. Siapa sangka kita punya hotel mewah di sini? Hotel Bumi, demikian namanya. Dua tahun lalu hotel ini punya hubungan dekat dengan Bakrie Group. Menjulang tinggi mengundang kekaguman, hotel yang dikenal punya hobi berganti-ganti nama ini, menjadi landmark di sini. Nama aslinya Hotel Tata, dibangun oleh India. Tidak ada orang Tashkent yang tidak kenal nama ini. Tahun ini namanya Le Meridien, tahun depan entah mau ganti nama apa lagi.

Daerah Gogolya di pusat kota, satu blok di seberang Lapangan Amir Temur Maydoni, adalah tempat berkerumunnya kedutaan negara-negara sahabat. Bertetangga dengan KBRI, ada Kedutaan Besar Inggris, RRC, Belarus, Ukraina dan Perancis. Jalanan cukup lengang, rimbunnya pohon memberi kesan teduh tiada tara, dan polisi Uzbek berpatroli di mana-mana.

Sebagai seorang kawan lama yang datang berkunjung ke KBRI, saya disambut dengan sangat hangat oleh teman-teman staf dan diplomat. Malah ada yang langsung menawari saya tempat menginap. Baru datang saya sudah disuruh sibuk-sibuk mengurus perpanjangan visa. Ini kan hari pertama saya di negara ini, dan visa saya masih sebulan lagi.

“Ingat, Gus,” kata Rosalina Tobing, staf bidang politik, “kalau kamu sudah masuk Uzbekistan, kamu jangan berpikir ada di negara normal. Di sini semuanya bisa terjadi.”

Untuk memperpanjang visa Uzbekistan, waktu tunggunya minimal satu bulan, dan itu pun masih belum tentu dapat visa. Rosalina bercerita tentang seorang mantan duta besar Indonesia untuk Uzbekistan, yang datang berkunjung ke negara ini sebagai tamu. Begitu datang mantan duta besar itu langsung mengurus perpanjangan visa. Pihak Uzbekistan cuma menyuruh tunggu dan tunggu. Pada hari terakhir ia diberi tahu bahwa visanya tidak turun. Bukan hanya harus meninggalkan Uzbekistan saat itu juga, beliau pun harus membayar denda yang tidak sedikit.

Birokrasi adalah uang di sini.

“Itu belum apa-apa dibanding kejadian tahun lalu,” kata Murtie Djuffan, staf konsuler.

“LSM-LSM asing ditutup dan personilnya dideportasi semua, setelah kejadian Andijan berdarah. Mereka hanya diberi waktu 24 jam angkat kaki dari Uzbekistan, tanpa kompromi. Cuma 24 jam, gila nggak?”

Peristiwa Andijan berdarah adalah bentrokan antara pemerintah dengan gerakan Muslim di sana. Ratusan orang tewas. Saya tidak ingin bercerita banyak tentang kejadian kontroversial itu di sini. Begitu sensitifnya peristiwa ini sampai-sampai pemerintah Uzbekistan memutus semua jaringan informasi dan mengusir semua jurnalis internasional dari negaranya. Dalam semalam, NGO asing ditutup dan personelnya dideportasi. Hubungan Uzbekistan dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa memburuk. Amerika gigit jari karena pangkalan militernya di negara ini ditutup, dan Uzbekistan tiba-tiba mesra kembali dengan induk semang Rusia.

“Bukan negara normal,” kata-kata itu terus berdengung-dengung dalam benak saya. Di mana ketidaknormalan negara ini? Saya yang terbiasa dengan keanehan aturan birokrasi negara-negara Stan yang lain, malah merasa cerita-cerita ini normal-normal saja, sudah risiko bagi orang yang datang ke negara-negara antah berantah di Asia Tengah.

Murtie juga bercerita tentang KBRI yang pernah memprotes bandara Tashkent karena suatu masalah. Di mana-mana, di seluruh dunia, aturannya tidak seperti ini. Dengan santai pihak bandara menjawab, “Itu kan dunia. Ini Uzbekistan. Kalau mau seperti itu ya sudah kamu ke dunia saja.” Gila nggak?

Di lingkungan kedutaan ini, saya mendengar berbagai kabar yang dikategorikan sebagai ‘info orang dalam’, yang membuat saya semakin tertarik dengan ruwetnya perpolitikan Asia Tengah. Ada yang lucu, ada yang seram, tetapi semuanya seru untuk didengar. Bagaimana pun desas desus yang saya dengar di hari pertama ini membuat saya langsung suka dengan atmosfer ibu kota ini.

Tashkent adalah kota besar yang sunyi dan nyaman, tidak sibuk seperti Jakarta. Supermarket Tashkent boleh dibilang cukup lengkap, malah ada teh Indonesia berbandrol Printsesa Yava – Puteri Jawa. Semua barang ada, tetapi mahal-mahal, walaupun masih jauh lebih murah dibandingkan di Kazakhstan.

“Susah sekali, semakin tahun semakin mahal,” keluh Murtie yang sedang berbelanja. Dan semakin susah juga membayarnya, karena uang Sum Uzbek demikian kecil nilainya, sehingga kalau belanja kita harus membawa berbendel-bendel uang kertas.

Kasihan sekali para kasir di Uzbekistan. Hitungannya banyak sekali. Bayangkan membeli laptop cuma dengan uang kertas ribuan rupiah. Itu yang terjadi di sini. Kalau beli tiket pesawat, sudah sangat biasa orang membawa uang berkresek-kresek atau berkotak-kotak. Juga masuk akal kalau, walaupun ilegal, orang lebih suka dibayar dengan dolar daripada sekarung uang Sum. Menghitungnya itu yang capek.

Apartemen Syahruddin, staf perlengkapan KBRI, tidak jauh dari kedutaan. Staf Indonesia yang bekerja di sini kebanyakan menyewa apartemen di sekitar sini, karena lokasinya yang praktis. Saya sangat berterima kasih kepada Syahruddin, yang bukan hanya menyediakan tempat tinggal tetapi juga menghujani saya dengan jaket hangat dan kaos-kaos yang bersih.

“Ini untuk kamu,” kata Syahruddin, menyodorokan jaket biru tebal, “besok kamu ke Samarkand kan? Di sana dingin sekali lho.”

Saya diajak KBRI ke kota kuno Samarkand di selatan sana, menyaksikan pertunjukan tari-tarian Indonesia. Indonesia ternyata masih eksis di tengah hamparan daratan Asia Tengah.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 14 Mei 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*