Recommended

Garis Batas 53: Mafia

Dunia yang langsung mengabur (AGUSTINUS WIBOWO)

Dunia yang langsung mengabur (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya tertidur lelap dalam sebuah bus malam yang melaju menuju Bukhara. Dan, terbangun dalam ketidakberdayaan, terjebak dalam sebuah taksi yang berhubungan dengan mafia, dan larut dalam kegelapan malam.

Dari segala kecerobohan yang pernah saya lakukan, mungkin tak ada yang lebih parah daripada ini. Saya tertidur lelap dalam bus malam yang akan berangkat menuju Navoi, kota kecil di dekat Bukhara.

Saya tidak tahu mengapa saya begitu suka tidur di bus. Duduk tegak dalam bus yang pengap, penuh sesak, dan berguncang-guncang, mungkin bukan posisi terbaik untuk tidur. Tetapi bagi saya sama nyamannya dengan tidur di atas kasur empuk dalam istana. Saking nikmatnya, saya merasa air liur pun menetes tanpa sadar.

Tas ransel saya taruh di bawah bangku. Tas kamera saya peluk erat-erat. Dan mulut saya terus menganga mengiring lelap, bertengger di wajah saya yang menyandar ke arah jendela kaca yang dingin. Saya tak ingat apa-apa lagi. Bus gelap gulita, hanya suara deru mesin kendaraan kuno ini yang mengisi malam. Saya hanya merasakan beberapa kali penumpang yang duduk di sebelah saya berganti-ganti. Saya duduk di dekat pintu bus, sehingga tempat kosong di samping saya menjadi persinggahan penumpang yang mau turun.

Tidur lelap saya terganggu, ketika saya mendengar suara tas kamera terbuka. Siapa penumpang kurang ajar ini, berani-beraninya membuka tas orang. Saya memicingkan mata, mendengus kesal, dan tidur lagi melanjutkan mimpi indah yang sekarang pun saya tak ingat lagi.

Saya terbangun, ketika mesin bus yang membuai saya tiba-tiba berhenti, lama sekali. Saya mengusap daerah sekitar bibir. Ah…. saya tidak pernah merasakan tidur sesedap ini. Saya meraba-raba saku celana, mencari-cari telepon untuk menghubungi kawan saya di Bukhara.

Aaahhh…. saya menjerit histeris. Telepon genggam saya sudah tidak di saku lagi. Orang yang baru dibangunkan dari tidur lelap memang gampang panik. Saya langsung kelimpungan mencari HP, meraba-raba kolong kursi, koridor, sampai membuat marah sopir bus  karena penumpang terakhir ini bukannya langsung turun malah membikin ribut.

Saya terduduk dalam sebuah taksi. Pukul 4 pagi di Navoi, yang ada hanya gelap mutlak. Sopir-sopir taksi menawarkan angkutan ke Bukhara, nampak seperti singa lapar mencari mangsa di tengah ganasnya musim dingin.

“Kalau kamu beri 50 dolar,” kata si sopir ini dalam bahasa Rusia, “saya bisa mencari HP kamu kembali.” Saya langsung setuju. Bagi saya yang penting nomer telepon yang tersimpan di memori HP bisa kembali.

Sopir taksi lain yang duduk di jok belakang langsung menyanggah,

Nyet. Lima puluh dolar tidak cukup. Seratus dolar baru bisa.”

Saya tidak punya uang seratus dolar di dompet saya.  Saya cuma ingin HP itu kembali. Saya pura-pura menyanggupi permintaannya.

Kedua sopir itu kenal mafia, gembong kriminal terbesar di kota ini. Si mafia ini adalah bos dari semua pencuri di kota ini. Satu sopir bilang dia akan ke rumah mafia untuk merayunya mengembalikan HP saya yang hilang, dan sopir yang lain menunggu di dalam mobil bersama saya.

“Taruh uangmu di dashboard, jadi nanti kalau HP kamu kembali, kita bisa langsung membayarnya,” kata sopir yang duduk di sebelah saya, sementara rekannya sudah menyetir mobil yang mesinnya memecah kesenyapan malam.

Saya memang bodoh, tetapi tidak sebodoh itu untuk menaruh uang di dalam dashboard.

“Tidak mau,” saya langsung menunduk dan menyambung dengan kesunyian.

“Hei,” si sopir tidak sabar, “dengar ya, kami ini bukan teman para pencuri. Kami hanya ingin membantu kamu mendapatkan kembali HP kamu.”

Menit demi menit merayap dengan demikian lambatnya. Saya mulai merenung, memikirkan nasib saya yang berbalik drastis dari mimpi indah dan tidur lelap dalam bus antarkota. Saya jadi berpikir, apakah saya harus membuang 100 dolar hanya untuk sebuah HP kuno? Sekarang saya malah berharap HP nya tidak ketemu.

Doa saya terkabul. Sepuluh menit berselang, mobil itu kembali. Si sopir datang dengan tangan kosong. Si gembong mafia mengaku tidak mencuri HP saya, dan menyesal tidak bisa membantu. Saya benar-benar tak tahu harus senang atau sedih. HP hilang, tetapi setidaknya seratus dolar tidak melayang.

Tetapi dasar saya orang yang tidak pernah bersyukur, saya masih terus memikirkan HP yang hilang itu. Saya buru-buru naik ke bus yang akan berangkat ke Bukhara, sementara pikiran saya terus meratapi telepon yang entah sekarang berada di mana. Seperti kata pepatah, memikirkan kesialan akan mendatangkan kesialan. Waktu saya turun dari bus, kamera saya terloncat dari dalam tas, seperti atlet Olimpiade yang meloncat tinggi demi medali emas.

Rusak. Tentu saja.

Apa jadinya ini? Bagaimana saya mengambil gambar dari perjalanan jauh ini, kalau kamera yang menjadi bagian hidup saya, rusak begitu saja?

Saya sampai di rumah Suhrat, kawan saya di Bukhara. Hati saya hancur lebur karena berbagai kesialan yang terus merundung. Saya langsung terbaring di atas sofa, tanpa semangat apa-apa lagi.

“Semuanya adalah pertanda alam,” tulis Paulo Coelho dalam bukunya, Sang Alkemis.

Saya hanyut dalam buku ini, yang dikirim dari Jakarta oleh seorang kawan pembaca setia blog saya. Membaca buku ini, dalam kehampaan hati karena kehilangan barang-barang, membuat saya langsung masuk ke dunia si gembala dari Spanyol yang bercita-cita mencapai Piramida Mesir. Si bocah harus menjalani takdir dan mendengar bahasa alam, hingga mencapai apa yang diperintahkan kata hatinya.

Sebuah buku yang luar biasa. Semangat si bocah gembala itu tiba-tiba memberi kekuatan tak terduga bagi semangat saya yang sempat padam. Saya tidak malang. Keberuntungan tidak meninggalkan saya, dan takdir sedang menuntun saya, seorang petualang kecil yang hendak mencapai cita-citanya. HP, kamera, uang, sudah tidak penting lagi artinya. Semua itu adalah bagian dari perjalanan takdir.

Di tengah kota kuno Bukhara, saya menemukan kembali semangat perjalanan ini.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 19 Mei 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*