Recommended

Garis Batas 56: Permata Islami

Bukhara, permata Islami (AGUSTINUS WIBOWO)

Bukhara, permata Islami (AGUSTINUS WIBOWO)

O Bokhara! Engkau menghias Langit, Ialah Bulan yang cemerlang, O Langit yang perkasa, memeluk BulanMu dengan riang 

Demikian Abu Abdullah Rudaki, sang pujangga Persia, menggoreskan bait syahdu tentang keagungan kota suci Bukhara, lebih dari seribu tahun silam.

Keagungan kota suci Bukhara terpancar dari Masjid Kalon yang berdiri megah mendominasi pemandangan langit kota kuno ini. Kalon, dalam bahasa Tajik, berarti besar, secara harafiah mendeskripsikan kebesaran tempat suci ini. Takzim menyelimuti sanubari siapa pun yang berziarah ke Bukhara, kota yang paling mulia di seluruh penjuru dataran Asia Tengah.

Pintu gerbang Masjid Kalon membentang tinggi, berhadap-hadapan dengan Madrasah Mir-e-Arab, seperti jiplakan cermin tembus pandang. Gerbang utama, berbentuk kotak, bertabur mozaik dekorasi yang dibuat dengan ketelitian tingkat tinggi, bertahtakan huruf-huruf Arab, dan asma Allah dan Muhammad yang disamarkan dalam ornamen-ornamen yang menyelimuti seluruh dinding. Warnanya coklat, menyiratkan kejayaan masa lalu, dan berkilauan diterpa mentari senja.

Menara Kalon, hampir 1000 tahun usianya, menjulang setinggi 47 meter, berselimutkan ukir-ukiran dan detail yang indah. Bentuknya sedikit mengerucut, dan dari puncaknya kita bisa melihat keindahan kota kuno Bukhara. Sayangnya, menara ini sementara tidak boleh dinaiki, gara-gara beberapa bulan yang lalu ada turis bule yang terpeleset dari atas.

Keindahan Menara Kalon bahkan menggugah hati sang Genghis Khan, penakluk dan penghancur tanpa ampun. Ketika seluruh Bukhara diluluhlantakkan, dia menyisakan menara ini berdiri sendiri, mentahbiskan rasa hormat dan takzimnya. 

Senja di Masjid Kalon (AGUSTINUS WIBOWO)

Senja di Masjid Kalon (AGUSTINUS WIBOWO)

 

Dulunya Menara Kalon berfungsi sebagai tempat eksekusi. Para khan (penguasa) dari Bukhara, yang terkenal dengan kekejamannya, menjatuhkan hukuman kepada pelaku kriminal dengan cara dilemparkan dari puncak menara.

Dibandingkan dengan menaranya yang sudah tua, Masjid Kalon masih relatif muda, baru sekitar 500 tahun umurnya. Pekarangan masjid ini berbentuk persegi. Di tengah halaman sebatang pohon besar yang meneduhkan tumbuh sendiri dalam kesunyian. Tak banyak orang di sini. Masjid besar ini sangat lengang, sepi. Di sini masjid bukan tempat komunal di mana umat menghabiskan waktu berzikir dan berdiskusi. Orang-orang hanya datang ke masjid waktu sembahyang, dan dalam sekejap kosong melompong setelah salat usai. Sesekali ada rombongan turis yang datang juga, potret sana, potret sini, dan pergi, diiringi bocah-bocah yang dengan gencar menawarkan kartu pos dan barang-barang kerajinan.

Masjid yang dulunya mercu suar peradaban Muslim ini, sempat menjadi gudang waktu negeri ini berada di bawah pemerintahan komunis Uni Soviet, yang melarang simbol-simbol keagamaan dan memaksa wanita-wanita Bukhara untuk melepaskan cadarnya. Baru ketika Uzbekistan merdeka tahun 1991, masjid ini kembali lagi pada fungsinya semula. Itu pun masih belum mengembalikan kebesarannya, karena Uzbekistan masih sangat berhati-hati terhadap perkembangan Islam, membatasi pemberian izin kepada masjid, dan memberlakukan kontrol ketat terhadap bahan ceramah agama.

Seorang bocah dari Bukhara (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang bocah dari Bukhara (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya membayangkan, ratusan tahun lalu, ketika Bukhara adalah kota paling modern di tengah padang Turkestan, ribuan pria bersurban dan berjubah dari seluruh penjuru padang datang ke kota ini untuk menimba ilmu fikih dan sains. Siapa yang tak kenal dengan Imam Bukhari, yang tafsir hadistnya termasuk sahih yang paling dimuliakan? Siapa yang tak ingat dengan Abu Ibnu Sina, sang Bapa Kedokteran, yang juga dihormati di dunia barat sebagai Avicenna? Bait-bait indah pujangga Rudaki memperkaya khasanah kesusastraan Persia. Dan semuanya itu berawal di sini, di kompleks Masjid dan madrasah di seberang.

Madrasah Mir-e-Arab, Gerbang Arab, berhadap-hadapan dengan Masjid Kalon. Sekarang madrasah ini masih berfungsi, dan ribuan santri dari seluruh penjuru negeri datang belajar pelbagai ilmu agama.

Muhammad, putra imam besar Bukhara Abdul Ghofur, berwajah seperti orang Eropa. Bola matanya biru kehijauan, kulitnya putih bersih, dan rambutnya sedikit pirang. Tubuhnya agak kurus, namun tetap gagah berselimut chapan yang menghangatkan di musim yang menggigit tulang ini. Kepalanya tak pernah lepas dari kopiah putih berhiaskan sulam-sulaman tradisional.

“Kopiah ini dari Indonesia dibawa oleh ayahanda waktu ke Indonesia dulu,” ujarnya bangga. Perjalanan sang Imam mengunjungi masjid-masjid dan madrasah-madrasah di Jawa dulu adalah sebuah perjalanan yang fenomenal.

“Di rumah ada foto-foto Indonesia. Negara kamu benar-benar indah,” lanjut Muhammad.

Muhammad bekerja di masjid. Katanya baru-baru ini saja, setelah menikah, ia tobat dan kembali ke jalan yang benar. Dulunya, sang putra imam ini lebih banyak menghabiskan waktunya  bermain dengan kehidupan duniawi. Abang dan adik Muhammad semuanya aktif di madrasah dan masjid.

Madrasah Mir-e-Arab (AGUSTINUS WIBOWO)

Madrasah Mir-e-Arab (AGUSTINUS WIBOWO)

Perkenalan saya dengan Muhammad membuat saya semakin sering mengunjungi masjid ini, melihat aktivitas para santri muda selepas pelajaran di Madrasah. Saya hanya sekali berhasil melongok ke dalam Madrasah, karena sekolah agama ini punya aturan ketat – non-Muslim dilarang menginjakkan kaki. Itu pun sudah dibantu oleh adik Muhammad, Abdul Rauf, yang masih belajar di sana.

Sore hari, para santri dan anak-anak dari kampung sekitar bermain sepak bola di hadapan masjid. Kehidupan yang tertutup di balik tembok madrasah, kini berubah menjadi tawa ceria bocah-bocah yang berusaha memasukkan bola ke gawang – sebuah coretan berbentuk kotak persegi di tembok.

Diterpa sinar keemasan mentari senja, di sudut masjid, seorang calon imam sedang khusyuk membaca Qur’an Nur Karim. Jubah hitam membungkus tubuhnya, dengan kepala berbalut surban. Kekhusyukan yang maha tinggi, berpadu dengan siluet lengkung-lengkung kubah yang disiram semburat cahaya. Saya terbayang para cendekiawan Muslim Bukhara yang pernah menggemparkan dunia.

Kejayaan peradaban Islami itu perlahan-lahan bersinar kembali.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 22 Mei 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Garis Batas 56: Permata Islami

  1. Selalu suka sama tulisan2 perjalanan mas Agustinus.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*