Recommended

Gatra (2013): Memaknai Pengembaraan Melintas Peradaban

29 Mei 2013

Gatra  | Buku | Resensi

1305-Gatra-Titik-Nol

Memaknai Pengembaraan Melintas Peradaban

ADITYA KIRANA

Titik Nol adalah prekuel dari dua buku perjalanan penulis sebelumnya. Paradoks-paradoks kehidupan yang terekam dalam perjalanan ini menjadi kekuatan dari hakikat keberagaman kultur umat manusia.

Perjalanan menurut sebagian orang adalah cerita tentang pergi jauh menembus batas-batas provinsi, negara; serta benua, dan mungkin juga tentang beberapa penaklukan puncak gunung tertinggi, sungai terpanjang, lembah terdalam, samudra terluas, serta wilayah terdingin. Namun, menurut Agustinus, kerap para pengelana dan penjelajah melupakan bahwa setiap yang pergi pasti akan kembali.

Titik Nol, ungkapan filosofis yang merupakan pantulan makna terdalam dari sebuah perjalanan, coba dimaknai Agustinus. Baginya, “jauh” adalah kata yang sering menjadi patokan setiap mengawali sebuah perjalanan. Para penjelajah Eropa dalam penaklukan dan menemukan jalur menuju ke Timur, seperti masa Alfonso d’Alburqurque. Juga di abad ke-20, seperti para astronot yang berlomba menjejakkan kaki ke bulan. Kesemuanya hanya terinspirasi oleh satu kata, jauh. Jauh ke tepi batas yang masih bisa dijangkau manusia.

Mengawali perjalanannya melewati Urumqi menuju Kashgar, kota yang disebut sebagai pusat kebudayaan Uyghur dan terkenal dengan masjid-masjid kunonya, ia menjelajah melewati banyak wilayah, banyak cerita, dan tentunya banyak petualangan. Ketika masuk di Tibet sebagai pendatang gelap yang menyelundup, ia akhirnya sampai pada satu desa yang bernama Kilometer 0.

Itulah awal mula Agustinus mencari benang merah dari makna perjalanan yang dijalaninya melampaui beragam masyarakat, desa, kota, negara, peradaban, budaya, ideologi, etnis dan identitas. Titik Nol adalah benang merahnya.

Dalam perjumpaan dengan beragam kebudayaan, sistem sosial masyarakat, hingga pandangan politik, ia bisa merasakan perubahan nuansa sangat signifikan yang ada di satu negara ke negara lain. Tentang sufisme, ia kagum ketika para sufi dari Kashmir dengan enteng dan santainya mengganti Tuhan dengan “Sayang” dalam bait yang puitis mistis.

Kebingungannya tentang jurang pemisah antarmanusia juga ia saksikan ketika melintasi wilayah dengan kenangan akan konflik dan amarah, bukan hanya agama, melainkan juga tarekat. Perjumpaan dengan pribadi-pribadi yang unik di kebudayaan lain memperkaya pandangannya. Perjalanan mengenal beragam nilai-nilai yang hidup di masyarakat di berbagai negara memberikan kekayaan pemahaman kepada penulis bahwa kebenaran pada hakikatnya bukan milik suatu kelompok saja.

Melalui Titik Nol, Agustinus menawarkan gaya travel writing yang khas dan unik. Setiap kejadian, percakapan, pertemuan dan fenomena hidup tidak pernah dibiarkan begitu saja tertulis tanpa makna. Agustinus baru meramu pengembaraannya dalam satu kata setelah jauh bertualang. Pulang. Kata ini menjadi inti pemaknaan dari pergulatan panjang menembus dunia yang berbeda. Berbicara tentang pulang adalah sesuatu yang lebih berat ketimbang merencanakan pergi.

Titik Nol ini merupakan sebuah prequel, di mana justru perjalanan awalnya ia curahkan pada buku terakhir dari dua buku sebelumnya. Buku pertama berjudul Selimut Debu, bercerita tentang Afganistan. Buku kedua, Garis Batas, bercerita tentang negeri-negeri di Asia Tengah.

Menelusuri lembar demi lembar catatan perjalanan Agustinus ini, pembaca akan dikenalkan pada karakter, keunikan, kedalaman dan kebajikan lokal yang sungguh hidup. Di sana pembaca tidak hanya menjumpai beragam paradoks, kebangkrutan moral, kehampaan, kemunduran nilai-nilai hidup, melainkan juga optimisme dan sekaligus kekuatan manusia untuk bangkit dari puing-puing kehancuran. Kisah-kisah di buku ini hadir dengan sudut pandang, kesejarahan, fantasi, dan kekayaan kazanah seorang musafir yang mencoba menyelami setiap momen dari pengembaraannya.

TITIK NOL MAKNA SEBUAH PERJALANAN

Penulis : Agustinus Wibowo

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, Februari 2013,

552 halaman

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*