Recommended

Republika (2011): Hidup Adalah Perjalanan

6 Juli 2011

Republika

Wawasan

Hidup adalah Perjalanan

http://koran.republika.co.id/koran/37/138396/Hidup_adalah_Perjalanan

1107-Republika-Hidup-adalah-Perjalanan

Agustinus Wibowo
Backpacker Penulis Sastra Perjalanan

Agustinus Wibowo berharap akan semakin banyak orang yang mau melakukan perjalanan dan meresapinya sebagai sebuah kontemplasi. Bagi pria yang lahir dan besar di Lumajang, Jawa Timur ini, melakukan perjalanan dan pengamatan adalah pembelajaran hidup yang luar biasa.
Ia menelusuri negara-negara di Asia Tengah dengan cara yang tak lazim ditempuh turis. Perjalanan ke negara-negara berakhiran stan dilakukannya de ngan segala modal transportasi, mulai dari kendaraan umum biasa, menumpang truk, hingga naik keledai. Berpaspor garuda hijau, namun bermata sipit, Agustinus fasih berbahasa Tajik yang diperolehnya saat tinggal di Afghanistan selama tiga tahun. Ditambah, sedikit berbahasa Uzbek, Kirgiz, dan Rusia yang dipelajarinya dari warga setempat. Persentuhannya dengan masyarakat dan kearifan lokal diakui membuatnya makin cinta tanah air.
Berikut petikan wawancara Agustinus Wibowo dengan wartawan Republika Wulan Tunjung Palupi.

Boleh ceritakan awal petualangan Anda saat memutuskan melakukan perjalanan dan apa yang mendorong Anda menjadi seorang petualang?
Juli 2005, saya lulus kuliah, lalu ingin melakukan perjalanan keliling dunia demi menimba ilmu menjadi jurnalis. Kebetulan, saya terinspirasi menjadi jurnalis setelah mengunjungi Aceh pada Januari 2005 pascatsunami. Saat itu, saya melihat bagaimana perjuangan para korban bencana.
Seketika haluan hidup saya berubah, dari semula insinyur komputer saya ingin menjadi fotografer-penulis-pengelana yang bisa berbagi kisah hidup umat manusia dari berbagai sudut dunia yang sering kali luput dari perhatian kita.

Apa maksud dan tujuan Anda dengan menjadi eksplorer-observer-backpacker? Apa yang Anda cari dengan mengunjungi dunia luar dengan cara yang ‘tidak nyaman’?
Saya sebenarnya tidak pernah melabeli diri sebagai eksplorer atau observer. Sedangkan, backpacking sendiri sebenarnya cuma cara untuk melakukan perjalanan, yaitu perjalanan dengan budget terbatas dan dilakukan dengan independen. Tujuannya, untuk belajar dari kehidupan, yakni mengenal berbagai budaya dan kehidupan yang berbeda. Lalu, menarik refleksi dari keberhasilan maupun kegagalan orang-orang di berbagai sudut dunia.

Dari beberapa negara berakhiran ‘stan’ yang pernah Anda singgahi, mana yang paling berkesan? Mengapa?
Afghanistan. Kebetulan saya tinggal di negara ini selama tiga tahun sehingga kesannya sangat mendalam. Saya sudah menjelajahi banyak sudut Afghanistan dan hidup bersama berbagai kelompok etnis di sana. Di antara negara-negara pecahan Uni Soviet yang berakhiran ‘stan’, kesan mendalam ada di Uzbekistan karena saya tinggal di sana cukup lama dan cukup bisa berinteraksi dengan masyarakat setempat.

Dalam setiap cerita, Anda selalu berhasil menghadirkan deskripsi lanskap dan interaksi dengan penduduk sekitar secara detail, bagaimana caranya?
Alat bantu saya berupa kamera yang merekam foto maupun video, kemudian alat perekam untuk merekam percakapan (tidak semua) serta suara-suara yang saya dengar selama di jalan (suara mobil, suara burung, suara angin, dll). Ini adalah detail yang penting dalam catatan perjalanan. Tetapi tetap, alat bantu yang paling penting adalah yang paling tradisional, yaitu buku catatan. Setiap di jalan saya akan mencatat ke dalam notes semua detail yang tidak mungkin direkam oleh alat bantu lain, misalnya perasaan, ekspresi orang, atau data-data penting. Tetapi, kunci paling penting dalam merekam detail adalah buka mata, buka telinga, dan buka hati.

Anda selalu mengiringi cerita perjalanan Anda dengan referensi budaya atau peradaban bangsa setempat. Misalnya, saat menulis mengenai Tajikistan, Anda juga bercerita soal sejarah Dinasti Samani dan pengaruhnya seusai Soviet runtuh, tokoh-tokoh seperti Ferdowsi, Ibnu Sina. Apakah Anda selalu belajar sejarah suatu negara sebelum mengunjunginya?
Belajar sejarah itu penting karena sejarah itu adalah latar belakang dari kultur supaya kita bisa mengerti mengapa masyarakat ini berpikir atau berperilaku seperti ini. Saya biasanya membaca selama di jalan dan berinteraksi dengan penduduk setempat untuk menambah wawasan.

Bisa ceritakan contohnya?
Misalnya, selama di Tajikistan, saya ngobrol dengan warga di sana, siapa itu Samani dan seberapa besar perasaan mereka terhadap Samani. Lalu, fakta dari interaksi dengan penduduk ini masih harus di-crosscheck dengan catatan sejarah yang sudah ada, baik dari sudut pandang Tajikistan maupun dari negara lain. Alasannya, karena sejarah juga bersifat relatif. Saya sendiri selalu membaca buku selama di jalan, umumnya nonfiksi ataupun fiksi yang berhubungan dengan negara yang dikunjungi. Kebanyakan buku yang saya baca adalah jenis travel writing, jurnalistik, atau sejarah.

Punya rencana pergi ke mana lagi? Atau ada obsesi negara/lokasi yang harus dijelajahi?
Ingin ke Timur Tengah, belajar bahasa Arab dan menjadi jurnalis di negara-negara di kawasan itu. Kalau obsesi sih nggak ada. Buat saya, perjalanan itu bukan soal lokasi, melainkan lebih soal pengamatan. Kita bisa melakukan perjalanan di mana saja, asalkan tetap dengan hati yang terbuka dan selalu mengobservasi.

Dua buku, Selimut Debu dan Garis Batas, Anda dedikasikan untuk siapa? Mengapa?
Selimut Debu untuk orang Afghan, yang membuat saya sadar tentang pentingnya kebanggaan dan kecintaan terhadap tanah air. Selama saya berkeliling di negeri mereka memang sangat berat untuk dijalani, tetapi selalu indah dan penuh kejutan.
Garis Batas untuk mama saya yang meninggal pada 2009 dalam penantiannya terhadap buku ini. Selama mama terbaring di rumah sakit, saya juga menemaninya dengan membacakan kisah-kisah dari buku ini ataupun tulisan perjalanan saya yang lain. Dan, mama sangat menikmatinya. Mama juga adalah orang yang selalu mendukung saya dalam perjalanan dan diam-diam menangis karena kekhawatirannya. Tanpa beliau, mustahil semua perjalanan saya akan terwujud.

Berniat memfilmkan kisah perjalanan Anda?
Kalau ada kesempatan, mungkin ada juga baiknya, untuk menginspirasi orang melakukan perjalanan yang kontemplatif. Bukan cuma sekadar ke tempat-tempat yang jauh atau eksotis, melainkan belajar dan merefleksikan.

Apa Anda merasa perjalanan-perjalanan itu mengubah Anda dalam banyak hal?
Iya, sangat. Perjalanan itu mengubah cara pandang saya terhadap hidup, terhadap arti identitas dan kebanggaan, dan membuat saya belajar untuk menjadi manusia.

Apa hal yang Anda paling benci dalam sebuah perjalanan?
Bagaimana kita bisa membenci perjalanan, kalau perjalanan itu adalah hidup kita?

Sampai kapan Anda ingin berpetualang?
Saya tidak tahu apakah yang saya lakukan ini adalah sebuah petualangan karena, menurut saya, ini adalah perjalanan. Perjalanan punya arti yang sangat luas. Perjalanan bukan saja perpindahan fisik, melainkan juga perubahan menjadi manusia yang lebih baik. Hidup itu sendiri adalah perjalanan. Jadi, saya tetap melakukan perjalanan sampai akhir hayat.

ed: joko sadewo

————————–
Berawal dari Filateli

Berawal saat sang ayah memperkenalkan filateli sejak kecil, Agustinus memandang hobi itu adalah caranya memandang dunia. Ia pun berangan mengunjungi negara-negara yang dulunya hanya dilihat melalui perangko. Lahir dan besar di kota kecil, sempat ia berpikir ini hanyalah mimpi yang jauh dari jangkauan. Saat berkesempatan menimba ilmu di Beijing, ia bertemu dengan mahasiswa asal Jepang yang berkeliling dunia dengan modal paspasan.

Ia mengaku, ingin melihat perjalanan sebagai sebuah perjalanan batin yang menguji mental, fisik, kepercayaan diri, dan bahkan menantang harga diri. Backpacker tidak hanya dilihat sebagai kisah perjalan kere berbekal ransel lusuh dengan rute semrawut. Seorang backpacker harus membekali diri dengan keingintahuan yang besar, independensi, dan keberanian. Termasuk keberanian untuk mempertanggungjawabkan pilihannya, misalnya pilihan untuk mengunjungi tempat-tempat yang tidak biasa atau kadang berbahaya. Dua buah buku yang ditulisnya, Selimut Debu dan Garis Batas, sebagian telah ditulis dalam sebuah blog miliknya sejak 2006.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Republika (2011): Hidup Adalah Perjalanan

  1. keren Mas, sudah banyak yang ngreview. membaca beberapa wawancara di blog ini tentang kedua buku itu jadi mendorong saya untuk belajar menulis kisah perjalanan juga. terima kasih sudah menginspirasi ;=)

Leave a comment

Your email address will not be published.


*