Recommended

Bukunya (2011): Teman Perjalanan Agustinus Wibowo

21 June 2011

1106-bukunya

http://bukunya.com/teman-perjalanan-agustinus-wibowo/

Agustinus Wibowo mengisi liburan kuliah di jurusan ilmu komputer di Cina dengan melancong ke Mongolia. Hari pertama perjalanan, pria kelahiran Lumajang 28 tahun silam ini nyaris dirampok pemabuk di kereta. Malam harinya ia dicegat begal di jalan.

Tapi pengalaman delapan tahun lalu itu tak membuatnya kapok. Ia terus bepergian ke Tibet, Nepal, dan India. Ia masuk Pakistan lalu menembus ke Afganistan tempat konflik senjata tak pernah berhenti.
Ia juga satu dari sangat sedikit orang yang berpetualang ke negara-negara di Asia Tengah, seperti Tajikistan, Turkmenistan, Kazakhstan, dan Uzbekistan.

Kisah petualangannya ke negeri “Stan” itu ia bukukan dengan judul Garis Batas terbitan Gramedia Pustaka Utama. Sebelumnya ia juga menerbitkan Selimut Debu yang bercerita soal perjalanannya di Afghanistan.

Disebut-sebut beberapa editor media massa sebagai salah satu penulis perjalanan terbaik yang dipunyai Indonesia, Agustinus mendulang kisah travelling yang mendalam lewat buku-buku yang dibacanya sembari menanti truk tumpangan yang tak jelas kapan datangnya. “Buku yang dibaca akan sangat mempengaruhi perasaan dan pikiran saya tentang tempat yang dituju,” ujarnya.

Berikut ini petikan obrolan bukunya dengan Agustinus soal buku yang jadi sahabatnya dalam perjalanan:

Membawa buku saat travelling, hukumnya wajib atau sekedar pelengkap saja?

Wajib. Buku yang dibaca selama bepergian itu akan mempengaruhi cara pandang, cara berpikir, dan observasi kita dalam perjalanan. Buku juga teman yang sangat baik ketika harus menunggu kendaraan atau buat menyegarkan kepenatan dari perjalanan yang panjang, khususnya untuk orang yang melakukan perjalanan berbulan-bulan atau bertahun-tahun tanpa henti.

Mengapa buku bisa mempengaruhi mood seperti itu?

Buku bisa mempengaruhi cara kita memandang perjalanan kita apalagi jika isinya berhubungan dengan tempat yang kita kunjungi. Misalnya ketika saya ke India, saya membaca buku City of Joy (Dominique Lapierre) yang berkisah tentang kehidupan kaum papa di Kalkuta. Buku itu membuat saya jadi lebih perhatian terhadap orang-orang miskin yang tinggal di India. Banyak aspek kehidupan mereka yang sebelumnya tidak pernah saya tahu sebelum membaca buku itu, saya jadi meluangkan waktu ke daerah pemukiman kumuh untuk melihat lebih dalam kehidupan mereka dan merasakan sendiri apa yang ditulis dalam buku itu.

Bukankah itu membuat traveller tidak bebas berimajinasi dan pikirannya justru terkungkung dengan yang ditawarkan oleh si penulis?

Buat saya, travelling bukan untuk berimajinasi, tetapi untuk belajar dan berhadapan dengan realita. Dengan membaca buku yang berhubungan denggan tempat yang dituju, si traveler akan lebih mempunyai gambaran yang mendalam dan punya berbagai pemikiran baru yang sebelumnya tidak ia pikirkan. Jadi waktu ia di lokasi, dia akan lebih kritis dalam melihat realita, tidak sekedar menyalahkan realita yang tidak sesuai dengan harapannya.

Musafir-musafir besar yang menulis itu semuanya juga membaca atau melakukan riset loh. Mereka punya pemikiran yang lebih dalam dari orang yang sekedar datang dan bertualang.

Kalau begitu buku teman perjalanan paling pas itu fiksi atau nonfiksi?

Fiksi atau nonfiksi tidak masalah, saya lebih sering membawa buku nonfiksi, tapi terkadang juga fiksi, yang berhubungan dengan daerah atau masyarakat yang saya kunjungi. Tebal tipisnya juga enggak masalah, yang penting isinya bagus dan berkualitas, dan memberi sudut pandang baru yang segar.

Sebaiknya buku itu dibaca sebelum perjalanan atau dibaca saat perjalanan?

Sebelum, saat, dan sesudah perjalanan. Idealnya sih seperti itu. Intinya, membaca itu tidak pernah putus.

Saat bertualang ke Afghanistan, buku apa yang Anda baca?

Banyak sekali. Beberapa di antaranya, adalah An Historical Guide to Afghanistan (Nancy Dupree), Afghan Caravan, Taliban: Militant Islam, Oil and Fundamentalism in Central Asia (Ahmed Rashid), The New Central Asia: The Creation of Nations (Olivier Roy), Kite Runner (Khaled Hosseini), Jihad: The Rise of Militant Islam in Central Asia (Ahmed Rashid), dan Afghanistan, Where God Only Comes to Weep (Siba Shakib)

Anda sendiri akhirnya membukukan kisah perjalanan, apa alasannya?

Tak semua orang punya kesempatan travelling, karena itu saya ingin berbagi tentang perjalanan saya. Saya juga ingin menyampaikan suara orang di tempat-tempat yang kebanyakan tak pernah kita dengar atau pedulikan, supaya kita bisa mengambil pelajaran dari kehidupan mereka dan menerapkannya dalam kehidupan kita. Buku perjalanan adalah refleksi kehidupan, jadi bukan sekedar tentang kisah di jalan, tetapi tentang kisah kehidupan.

Ada kawan yang membaca Selimut Debu sewaktu backpacking ke Vietnam. Dia bilang, membaca sudut pemikiran yang ditulis dalam buku itu, membuat dia melihat banyak hal baru yang tidak terpikir sebelumnya. Saya hanya berharap, kedua buku ini bisa memberi pandangan baru, bukan hanya tentang perjalanan tetapi juga tentang kehidupan.

Terakhir, adakah buku baru yang sedang Anda siapkan?

Saya sedang menulis buku tentang Pamir, Mongolia, dan Tibet. Tentang cara bangsa-bangsa di negeri yang berbeda mengubah diri untuk mencapai impian mereka. Juga tentang perjalanan panjang yang saya lakukan tanpa henti ini akhirnya mengubah cara pandang saya tentang kehidupan.

Note:
Dapatkan satu buku Garis Batas dengan memberi komentar pada wawancara ini, tinggalkan alamat email asli yang bisa dikontak. Komentar berhadiah ditutup Rabu, 22 Juni 2011, pukul 16.00

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

5 Comments on Bukunya (2011): Teman Perjalanan Agustinus Wibowo

  1. Anni Rosida // June 21, 2011 at 8:37 pm // Reply

    Kisah perjalanan Mas Agus sungguh luar biasa. Ia backpacker istimewa. Perjalanannya ke tempat- tempat asing bukan kunjungan biasa, sekedar pelepas rasa ingin tahu tapi mampu menyelami budaya masyarakat setempat dan menangkap kearifan dan kebajikan dalam banyak hal tidak menyenangkan yang dialami selama perjalanan. Salah satu penulis perjalanan terbaik Indonesia? Tidak heran, membaca tulisannya tidak hanya memperluas wawasan tapi juga memperkaya batin. Tulisannya membuat saya lebih arif menghadapi hidup dan lebih bijak memandang bangsa – bangsa lain. Salut

  2. Sepertinya hny anni rosida yg dpt buku gratisan scr komennya cm 1doank (yg lolos sesuai batasan waktu)
    Betul gak????

  3. Huaaaaa… saya telat baca T~T padahal pengen banget bukunya. Masih ada kesempatan gak nih?

    Sudah berkali-kali liat bukunya di toko tapi belum bisa beli soalnya gak punya duit. Baru baca wawancara diatas aja sudah bikin naluri bertualangku terangsang apalagi baca bukunya.. Nunggu bagi-bagi buku berikutnya deh

  4. hooo… ternyata salah naruh komen 😛

Leave a Reply to Agustinus Wibowo Cancel reply

Your email address will not be published.


*