Recommended

Garis Batas 58: Orang Tajik dari Bukhara

Gadis penenun dari Bukhara. (AGUSTINUS WIBOWO)

Gadis penenun dari Bukhara. (AGUSTINUS WIBOWO))

Masih ingat Dushanbe, ibu kota Tajikistan, yang berkilau di bawah kebesaran patung Ismail Somoni di tengah Jalan Rudaki? Di sini, di Bukhara, ada makamnya Ismail Samani, atau Somoni menurut ejaan Tajikistan. Orang-orang Bukhara pun bicara Bahasa Tajik. Tetapi yang berkibar di sini adalah bendera Uzbekistan.

Di antara kakak-beradik Stan, Uzbekistan dan Tajikistan adalah yang paling dekat kekerabatannya secara kultural dan historis. Susah membedakan mana yang murni kultur Uzbek, mana yang eksklusif punya Tajik. Pria-prianya memakai jubah chapan dan topi doppi yang sama. Perempuannya juga sama-sama suka pakai daster ke mana-mana di siang hari bolong. Baik orang Uzbek maupun Tajik sama-sama mendecakkan lidah di gigi belakang sebagai pengganti kata ‘tidak’. Adat pernikahan, perkabungan, arsitektur rumah, tata krama, semuanya mirip. Bangsa Uzbek dan Tajik sudah lama hidup menetap, memeluk Islam, dan saling berinteraksi satu sama lain selama berabad-abad. Perkawinan antar suku pun sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang mereka.

Perbedaan yang paling mencolok antara orang Uzbek dan Tajik adalah bahasa. Bahasa Uzbek masih sekeluarga dengan Bahasa Turki, sedangkan Tajik sekeluarga dengan Bahasa Persia di Iran. Raut wajah pun kalau diperhatikan betul-betul, memang sedikit berbeda. Orang Uzbek ada kesan-kesan Mongoloidnya, dengan mata yang agak lebih sipit. Nenek moyang orang Uzbek juga bangsa pengembara, tetapi kehidupan nomaden itu sudah lama ditanggalkan. Orang Tajik wajahnya lebih mirip orang Eropa, ras Kaukasus, dengan hidung super mancung, kulit putih, dan mata  lebar.

Nenek Tajik dari Bukhara. (AGUSTINUS WIBOWO)

Nenek Tajik dari Bukhara. (AGUSTINUS WIBOWO)

Sebenarnya adalah para pemimpin Soviet lah yang menciptakan Uzbekistan dan Tajikistan, bersama Stan-Stan lainnya, ditaburi semangat nasionalisme kesukuan dan benih-benih perpecahan, untuk mengalahkan bahaya Pan-Persia, Pan-Turkisme dan Pan-Islamisme di Asia Tengah. Suku-suku didefinisikan. Uzbek dipisahkan dari Tajik, yang semula keduanya disebut Sart. Orang Kirghiz menjadi Kazakh, dan orang Kara-Kirghiz menjadi Kirghiz.

Soviet kemudian mendirikan negara-negara, habitat bagi suku-suku yang diciptakannya. Asia Tengah diiris-iris menjadi republik-republik. Tahun 1929 Tajikistan dipecah dari Uzbekistan. Orang-orang berbahasa Persia ini dikasih gunung-gunung dan desa-desa di bagian timur, miskin sumber daya alam. Dushanbe, yang merupakan desa kecil tanpa sejarah, dijadikan ibu kota Tajikistan. Sedangkan Bukhara dan Samarkand, pusat peradaban orang-orang Tajik berbahasa Persia, tetap menjadi milik Uzbekistan.

Inilah titik mula perseteruan abadi antara Uzbekistan dan Tajikistan. Tajikistan beranggapan, Bukhara dan Samarkand harus jadi wilayah Tajikistan, karena dihuni oleh orang-orang Tajik dan berbahasa Tajik. Khusniddin, mahasiswa sejarah timur di Tashkent, beranggapan bahwa bahasa tidak bisa semata-mata menjadi alasan.

Zaman dulu, bahasa Persia adalah bahasanya orang berpendidikan. Apa pun sukunya, bahasanya tetap Persia. Sultan-sultan di Asia Tengah waktu itu, kebanyakan orang Turki, tetapi pemerintahannya semuanya berbahasa Persia. Termasuk di antaranya Sultan Seljuk dengan hulubalang Persianya yang termashyur, Nizam-al-Mulk, yang sering disebut-sebut dalam hikayat sang pujangga Omar Khayyam.

Mata biru dan hijau juga lazim di kalangan orang Tajik. (AGUSTINUS WIBOWO)

Mata biru dan hijau juga lazim di kalangan orang Tajik. (AGUSTINUS WIBOWO)

Singkat cerita, Bahasa Persia waktu itu menduduki tempat terhormat, dan Bahasa Turki dipinggirkan. Kota-kota peradaban dan pemerintahan, seperti Samarkand dan Bukhara, tentu menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan Persia. Sedangkan desa-desa di pinggiran, habitatnya rakyat jelata, masih berbahasa Turki. Beberapa abad berselang, model ini masih nampak hingga sekarang. Bahasa Turki menghasilkan bahasa Uzbek, dan bahasa Persia di Asia Tengah menjadi bahasa Tajik. Orang-orang di pusat kota Samarkand dan Bukhara semua berbahasa Tajik, dikelilingi oleh desa-desa yang penduduknya cuma bisa bertutur dalam bahasa Uzbek.

Mana yang Tajik? Mana yang Uzbek? Apakah dasar pembedanya? Cukupkah bahasa menjadi unsur penentu kesukuan? Orang Yahudi di Bukhara cuma bisa berbahasa Tajik, apakah mereka otomatis orang Tajik? Orang Tajik di Bukhara dan Samarkand belajar hanya bahasa Uzbek di sekolah, apakah otomatis menjadi Uzbek?

“Semuanya itu masalah baru,” kata Khusniddin, “problem-problem identitas artifisial yang muncul dari perekaan sejarah, etnografi, dan politik. Kamu ingat raja besar Babur dari Andijan? Sang raja itu, seperti kamu, juga suka bertualang. Beliau menyusuri Asia Tengah, menaklukkan gunung-gunung Afghanistan, membangun istananya di Kabul, dan membawa Islam sampai ke India. Beliau juga punya catatan perjalanan, namanya Baburnoma. Dalam catatan Babur, sang raja besar, sama sekali tidak ditulis berapa orang Uzbek, berapa orang Tajik. Beliau hanya menulis, kota A, sekian jiwa penutur bahasa Turki, sekian jiwa penutur bahasa Persia. Bahasa, Turki dan Persia, cuma itu identitas yang ada di Asia Tengah pada zaman itu!”

Topi (AGUSTINUS WIBOWO)

Topi (AGUSTINUS WIBOWO)

Bahasa Tajiknya orang Bukhara sangat berbeda dengan di Tajikistan. Kebetulan dengan latar belakang bahasa Persia saya, dan sedikit-sedikit bahasa Uzbek, saya cepat akrab dengan dialek Bukhara.

Dialek ini adalah bahasa Persia yang sangat kental unsur bahasa Turki-nya. “Shumo nagz mi?” demikian orang Bukhara bersalam. Artinya, apakah Anda baik-baik saja. Akhiran ‘mi‘, seperti partikel tanya ‘kah‘ dalam bahasa Indonesia, adalah partikel bahasa Uzbek yang ditambahkan begitu saja ke kalimat bahasa Tajik. Aturan gramatika bahasa Uzbek diadopsi begitu saja. Kosa kata bahasa Uzbek diterjemahkan mentah-mentah untuk memperkaya kosa kata Tajik Bukhara, membuat dialek ini semakin jauh berbeda dari bahasa Persia mainstream di Iran, Afghanistan, dan Tajikistan.

Menariknya, bahasa Uzbek sendiri adalah bahasa Turki yang sekitar 60 persen kosakatanya berasal dari bahasa Persia atau Tajik.

“Kami orang Bukhara,” kata Suhrat pedagang permadani, “adalah orang Tajik. Bukan Uzbekistan, bukan Tajikistan. Hanya Tajik, hanya Bukhara, pusat peradaban Islam dan Persia.”

Baginya yang hanya rakyat jelata di kota kuno ini, debat-debat kesukuan ini sama sekali tak berarti. Yang paling penting, Bukhara adalah tetap Bukhara, sekarang dan selamanya.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 26 Mei 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Garis Batas 58: Orang Tajik dari Bukhara

  1. hmmm kok pusing ya 😢

Leave a comment

Your email address will not be published.


*