Recommended

Janna (2011): Jadi Travel Writer, Siapa Takut!

June 2011

Majalah Janna

Jadi Travel Writer, Siapa Takut!

1106-interview-Janna_magazine

Nyali Agustinus Wibowo melebihi besar tubuh dan tinggi badannya. Bagaimana tidak, pemuda usia 29 tahun ini mengunjungi dan tinggal di Afghanistan ketika negara tersebut sedang dalam kondisi terburuknya. Agus juga menjelajahi negaranegara pecahan Uni Sovyet yang bertetangga dengan Afghanistan seperti Kazakhstan, Kyrgistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Tidak sekedar berkunjung, Agus menegaskan, dirinya sebagai musafir yang menyelami kebudayaan negeri lain tapi tetap menjaga jarak sebagai pengamat.

Di balik itu semua, Agus tetap bisa selamat sampai tujuan dan kembali dan menuliskan pengalamannya kepada pembaca di Indonesia. Sebuah ‘bisnis’, kalau bisa disebut bisnis, yang luar biasa. Menggabungkan kesenangan pribadi dan profesionalitas diri. Berikut wawancara Janna dengan pemuda asal Lumajang, Jawa Timur ini di Bandung:

Profesi kamu ini unik. Sebagai penulis perjalanan di daerah-daerah yang berbahaya. Kira-kira profesi ini menjanjikan gak sih buat anak muda?

Bisa! Kita memang perlu menggerakkan ini. Kalau saya lihat sih sudah arah ke sana ya. Ada beberapa penulis perjalanan yang menerbitkan buku yang bagus.

Ada tapinya?
Tapi… Di sisi lain, profesi ini di Indonesia rasanya kurang. Kurang maksudnya kurang rasa aman. Bukan rasa aman ‘keamanan’. Tapi rasa aman untuk masa depan. Maksud saya, kalau dibandingkan dengan di Eropa, di sana banyak melahirkan penulis perjalanan karena masa depan mereka terjamin. Orang Eropa bayar tunjangan masa tua, izin cuti panjang diperbolehkan, jaminan kesehatan dan pekerjaan ada. Travel di negara-negara ini sudah jadi bagian dari kehidupan mereka. Meski serba mahal jadinya. Kalau di sini sukar. Belum kita mau jalan, urus izin dari kantor untuk cuti satu tahun saja tidak bisa. Bisa-bisa keluar kerja. Pulang dari jalan-jalan, mau cari kerja susah, malah bisa jadi pengangguran. Jadi sukar.

Duit dari jalan-jalan dikumpulkan dari mana Gus?
Uang jalan-jalan saya kumpulkan dari kuliah. Tadinya saya berniat mau coba jalan dari Cina sampai Afrika Selatan. Eh ternyata sampai Afghanistan uangnya sudah habis duluan. Hehehe. Di Afghanistan saya kerja jadi fotografer, jadi wartawan, jadi penerjemah. Sempat juga kerja jadi staf PBB untuk dua proyek selama enam bulan. Saat ini saya kerja di bidang media di Cina.

Apa syarat utama untuk jadi penulis perjalanan?
Punya tekad dan buku harian. Buku harian penting karena di situ kita menuliskan perasaan kita yang paling jujur saat di perjalanan. Ketika kita marah saat itu kita tulis marah. Di situ juga kita wajib mencatat ditel ditel mulai dari peristiwa, perasaan, wajah lawan bicara, dan ditel apapun. Yang penting juga adalah observasi kita terhadap lingkungan. Gunakan pancaindera untuk melihat lingkungan. Setelah itu tulis. Kalau mau menulis lengkap dan rapih, saya biasa mengendapkan pengalaman itu selama sebulan. Baru saya bereskan catatan dengan riset-riset. Dari sini kita bisa punya sudut pandang lain karena euforia perjalanannya sudah lewat. Kita bisa lebih objektif memandang peristiwa.

Kamu bisa survive di negaranegara itu, terutama di Afghanistan bagaimana?

Kunci utamanya adalah bisa berbaur. Begitu sampai di terminal manapun di negara manapun kita harus sudah bisa mempraktekkan bahasa setempat. Orang lokal, walaupun kita buruk mengucapkan bahasa setempat, akan terasa dihargai kalau ada orang asing yang belajar bahasanya. Yang kedua, belajar budayanya. Jangan pernah menyinggung perasaan penduduk. Pengalaman saya, di Mongolia saya paling sukar untuk berbaur. Ini karena wajah saya kelihatan sangat Cina sementara mereka tidak suka dengan Cina karena dianggap penjajah. Jadilah 10 menit pertama saya sampai Mongolia kamera saya sudah hilang dan saya dipukuli orang mabuk. Hehehe.

Pernah bertemu petualang lain asal Indonesia?
Tidak pernah bertemu muka, hanya lewat internet saja. Di Kirgiztan dan Turkmenistan saya bertemu backpacker asal Indonesia. Tapi di Afghanistan tidak pernah. Afghanistan kan (bahaya) yah..

Ada rasa takut gak?
Pasti ada! Ketika saya baru terima visa Afghanistan saya, ada rasa takut. Bagaimana nanti kalau pulang tinggal nama. Bisa pulang tidak dari sana. Semalaman tidak bisa tidur. Soalnya ketika pertama kali ke sana itu saya benar-benar buta Afghanistan. Cuma ingin ke sana saja.

Ada pesan untuk para anak muda yang ingin jadi seperti kamu?
Jadilah wisatawan yang bertanggungjawab. Maksud saya, tiap wisatawan itu membawa ‘racun’ budayanya sendiri ke budaya asli setempat. Kita temui di mana-mana, daerah wisata pasti banyak yang berubah dari aslinya, ada bar, minuman keras, dan lain-lain. Kalau kamu mau berwisata, belajarlah dari sana dari budaya tempat kamu berwisata. Usahakan sesedikit mungkin mempengaruhi mereka dengan budaya asal kamu.

Foto-foto: Forum National Geographic/Agustinus Wibowo

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Janna (2011): Jadi Travel Writer, Siapa Takut!

  1. Rakhmat Iskandarsyah // July 18, 2011 at 10:10 am // Reply

    Pertama kali saya melihat mas agus tampil di sebuah acara televisi, saya langsung tertarik tentang kisah anda. sekarang saya masih menyelesaikan membaca buku kedua anda (buku pertama belum saya dapatkan).tidak pernah saya membaca sebuah buku tentang kisah perjalanan sebagus ini.sungguh menambah wawasan ,pengetahuan dan merubah cara pandang saya tentang hidup dan kehidupan. Salut untuk anda.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*