Recommended

Kontan (2007): Yuk, Keliling Dunia Tanpa Duit Berjuta-juta!

Kontan

Minggu I, Oktober 2007

0710-Kontan-interview-backpacking1

Yuk, Keliling Dunia Tanpa Duit Berjuta-juta!

 

Seluk-beluk seorang backpacker

Tidak perlu menjadi triliuner untuk bisa keliling dunia. Modal niat dan tekat saja bisa membawa pehobi backpacker berkelana ke mana-mana. Eh7 Anda juga bisa meniru mereka, lo!

 

Agung Ardyatmo, Aprillia Ika, Femi Adi S.

 

Trinity. Begitu ia minta disapa. Dalam usia kepala tiga, wanita ini sudah banyak mengunjungi tempat-tempat menarik di dalam dan luar negeri. Jangan membayangkan Trinity sebagai wisatawan yang tinggal duduk manis dengan pelayanan dan fasilitas hotel bintang lima. Bukan seperti itu. Modal Trinity untuk bepergian adalah sebuah ransel di punggungnya. Jadi, jangankan kamar mewah dengan jacuzzi, Trinity rela tidur di terminal dan bandara untuk menghemat biaya perjalanan.

Gaya Trinity ketika sedang bepergian itu lazim disebut sebagai backpacker. Trinity hanyalah salah seorang dari jutaan pehobi iMickjHickfn- di dunia. Menurut Bimada, pemilik jaringan Bakmi Raos yang juga hobi backpacker, ada dua tipe backpacker. Pertama, orang yang punya uang namun dia ingin bepergian dengan dana minimal. Kedua, orang yang ingin bepergian namun tidak mempunyai uang yang cukup.

Bagi seorang backpacker, ada kepuasan tersendiri jika bisa mengunjungi suatu tempat tanpa harus terikat jadwal ketat yang biasa dilakukan biro perjalanan wisata. “Saya selalu melakukan backpacking jika pergi ke tempat yang belum pernah saya kunjungi,” tutur Sri Hartini.

Pehobi lain, Agustinus Wibowo, pertama kali melakukan backpacking tahun 2003 untuk pergi ke Mongolia. “Waktu itu saya kuliah di China,” kata lelaki kelahiran Lumajang, 26 tahun lalu ini.

Sebagai backpacker, Agustinus yang bertekat menjelajah Asia lewat jalan darat dari China, sejak Juli 2005, mengaku mendapat banyak hal. “Backpacking mengajar saya untuk mampu beradaptasi dengan segala keadaan,” ujarnya.

Agustinus menunjuk pengalaman paling berkesan, waktu melintasi Wakhan Corridor. Ini adalah lembah yang dipisahkan sungai. Sisi utara merupakan wilayah Tajikistan dan selatan adalah Afganistan. Ketika menyusur di kawasan Afganistan, menurut Agustinus, sisi Tajikistan tampak hebat, dengan jalan beraspal, rumah indah, dan anak-anak bermain. “Sedangkan sisi Afganistan tidak ada jalan raya, tak ada listrik, anak-anak mengumpulkan kotoran sapi karena tak ada sekolah,” kenangnya.

Tapi, empat bulan kemudian, ketika menyusur tepi sungai di Tajikistan, barulah Agustinus sadar jika kemakmuran negara ini cuma semu. “Ini adalah negara termiskin di Asia Tengah. Sekitar 80% penduduknya pengangguran,” Ujar Agustinus. Negara paling menantang untuk backpacking, katanya, adalah Afganistan. Pengalaman seperti Agustinus tersebut tak mungkin ditemui wisatawan biasa yang diatur oleh agen tur.

Selain mendapat pengalaman luar biasa, pehobi backpacker juga berhemat. Tengok saja pengalaman Hartini. la pernah berencana untuk menginap di hotel dengan tarif Rp 200.000 semalam. Pasalnya, Hartini ingin beristirahat dengan aman. Namun, ia segera berubah pikiran begitu sampai di daerah tujuan. Hotel bertarif ratusan ribu itu batal dituju, dan ia memilih penginapan Rp 25.000. “Meski berupa tenda, langsung saya ambil,” kata Tini, panggilan akrab Sri Hartini.

Nah, jika Anda ingin bepergian ke luar negeri, yang paling ribet adalah persiapannya. “Dari semuanya, yang paling ribet adalah pengurusan visa,” tandas Trinity.

 

Urus visa di tetangga

Bukan rahasia lagi Jika mengurus visa ada berlembar-lembar formulir yang harus diisi, membawa dokumen, pasfoto ukuran khusus, wawancara, sampai membayar biaya visa. Itu semua belum menjamin visa sampai ke tangan. “Visa ditolak, duit pun tak kembali,” ucap Trinity.

Agustinus, yang telah melanglang buana ke 18 negara, termasuk ke negara-negara pecahan Uni Soviet dan beberapa negara Asia, punya tip mengurus visa. “Pengurusan visa akan lebih mudah jika kita mengurusnya di negara tetangga, ketimbang mengurus di Indonesia,” sarannya.

Selain mengurus visa, Anda juga harus mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang negara tipuan. Jangan sampai begitu tiba di sana Anda tak tahu akan berkunjung ke mana saja. Sayang kan? Biar lebih pas, kita juga dapat membekali diri kita dengan peta negara bersangkutan dan segala hal yang terkait dengan negara tersebut.

Beberapa negara mempunyai kultur yang unik. Misalnya saja, kata Agustinus, bahwa di Pakistan laki-laki biasanya membiarkan perempuan menyerobot antrean atau harus memberikan tempat duduk di kendaraan umum. Jika sebagai pendatang Anda tidak tahu sama sekali tentang hal itu, wah, bisa gawat!

Yang namanya backpacker tentu ingin menekan biaya serendah mungkin. Jadi, sebelum berangkat atau ketika tiba di lokasi, kita bisa mencari penginapan murah lewat internet. Kalau mau lebih gampang lagi, kita tinggal masuk ke forum kalangan backpacker seperti Lonely Planet dan Rough Guide Igo Ugo, “Kita tinggal tanya penginapan yang murah, biasanya mereka membantu,” papar Bimada lagi.

Biar sudah direncanakan secara matang sebelumnya, backpacker harus mempunyai rencana cadangan. “Misalnya duit kita tinggal sedikit, mau enggak mau kita harus cari penginapan yang murah atau jika perlu tidur di emperan atau terminal bus,” timpal Trinity yang hingga saat ini sudah melanglang ke 33 negara.

Pendapat Trinity diamini Doris C. Dumlao, backpacker asal Filipina yang pernah kehabisan duit waktu ke Venesia. Alhasil, “Saya dan sesama backpacker hanya nongkrong di Piazza San Marco semalaman, sengaja tidak memesan hotel biar irit!” cetus Doris.

Biaya memang menjadi persoalan utama bagi para backpacker. Ada kalanya mau tidak mau mereka harus menggunakan pesawat terbang, namun jika bisa menggunakan jalur darat, apa salahnya. Konon ada seorang backpacker perempuan dari Malaysia yang melakukan perjalanan seluruh Asia Tenggara tanpa menggunakan pesawat terbang sama sekali.

 

“Kan ada bahasa Inggris, atau kalau masih enggak ngerti bisa pakai bahasa tubuh,” kata Agustinus Wibowo.

Pakai bahasa tubuh saja!

Agustinus punya saran, sebaiknya backpacker membawa uang saku dolar Amerika yang laku di mana-mana dan kartu debet. Maklum, Tidak semua negara punya kartu kredit atau mesin ATM, ujar Agustinus yang sekarang senang bekerja di Afganistan untuk membiayai perjalanan selanjutnya.

Banyak orang beranggapan, ketika akan berkurung ke suatu negara, setidaknya kita harus mempelajari sepatah dua patah bahasa yang bersangkutan. Eh, ternyata pedoman ini tidak berlaku buat pehobi backpacker. Kan ada bahasa Inggris, atau kalau masih enggak ngerti bisa pakai bahasa tubuh,” kata Agustinus.

Salah satu teman Ambar, backpacker asal Jepang, pernah melakukan perjalanan keliling di beberapa negara Asia, tanpa mengerti bahasa setempat sedikit pun. “Yang dia bisa hanya bahasa Jepang dan bahasa tubuh,” imbuh Ambar lagi.

Jangan dikira perjalanan backpacker hanyalah perjalanan bersenang-senang belaka. Perjalanan ibadah pun bisa juga dilakukan sembari backpacking. Bimada pernah mencobanya ketika melakukan ibadah umrah. “Waktu itu saya hanya beli tiket ke Arab Saudi, mengurus paspor, visa, langsung saya berangkat,” kenang Bimada. Tentu saja, sebelumnya ia harus mencari hotel sendiri dan juga sudah mengerti cara-cara menjalankan ibadah umrah. Hasilnya, Bimada dapat mengirit ongkos hingga US$ 500. “Lumayan, kan?” cetusnya terkekeh.

Lain orang Muslim, lain pula orang Kristiani. Doris mengaku saat pergi ke Roma tahun 1998 lalu, selain berkunjung ke tempat-tempat bersejarah di sana, ia pun sampai menginap di Catholic Convent. “Saya tidak membayar sepeser pun,” timpal Doris yang bekerja sebagai wartawan di Filipina.

Tidak di Indonesia, tidak juga di negara lain. Biasanya ada tempat-tempat tertentu yang menjadi pangkalan berkumpulnya pehobi backpacker. Di kawasan ini, penyuka backpacker bisa mendapatkan penginapan yang murah, sampai segala tetek-bengek informasi sedetail-detailnya.

Seperti di Malaysia, yang menjadi tempat favorit backpacker adalah kawasan Bukit Bintang, Petaling. Di Singapura ada di Little India atau China Town, sementara di Sidney, Australia pangkalan backpacker ada di sekitar kawasan Red Cross.

Satu lagi pesan Agustinus, tidak semua orang bisa menjadi backpacker. “Backpacking butuh kemampuan adaptasi yang tinggi,” ujarnya. Maklum, tidak semua orang rela menukar kenyamanan di rumah dengan perjalanan berjam-jam dalam bus penuh sesak atau berhari-hari terpuruk di bak truk yang merayap pelan, seperti pengalaman Agustinus. “Kasur nikmat di rumah pun kadang berganti dengan ranjang keras penuh kutu,” kata Agustinus.

Nah, apakah Anda siap melakukan backpacking?

 

Awas, Pelecehan Menghadang

Belakangan ini, semakin banyak saja backpacker perempuan yang tidak takut lagi bepergian sendiri. Namun sayangnya, ternyata masih ada perlakuan tidak menyenangkan yang diterima backpacker perempuan. “Banyak sekali keluhan backpacker asing perempuan yang dilecehkan di jalan, seperti disuitin, ditowel, atau dikerjain,” ujar Ambar Briastuti, salah seorang pentolan di komuniti Indobackpacker.

Sebenarnya, kejadian itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara lain pun kemungkinan itu selalu ada.

Ambar mempunyai kiat-kiat jitu bagi backpacker perempuan untuk menghindari situasi semacam ini. Pertama, jangan memakai baju terlalu seronok di depan umum. Kedua, jangan bersikap cuek terhadap nilai-nilai budaya setempat. Katakanlah bila sang pelanglang berada di Uzbekistan dan Tajikistan, misalnya. Menurut pehobi backpacker Agustinus Wibowo, wisatawan perempuan harus menggunakan cincin kawin meski palsu, untuk menghindari gangguan dari laki-laki yang iseng.

Saran yang paling efektif tentunya adalah pergi bersama-sama dengan backpacker lain, alias jangan melenggang sendirian.

Pada umumnya, di antara backpacker memang terjalin kekompakan. Jika kebetulan berjumpa di jalan, masing-masing backpacker tentu mau saling membantu dan memberikan informasi berguna.

Meski begitu, tetap saja jangan sembarang percaya terhadap orang asing. Nah, untuk urusan begini, backpacker perempuan lebih mahir menggunakan instingnya, apakah orang yang mereka temui itu baik atau jahat. Namun, “Tetap saja saya pernah tertipu sesama backpacker, apalagi dia juga orang Indonesia,” bisik lirih Ambar, la mengaku tidak menyesal karena itulah asyiknya hobi ini.

 

Dari Komuniti sampai Buku

Tidak ada yang tahu pasti, berapa banyak jumlah backpacker di seluruh dunia. Sekarang ini, asalkan orang bepergian dengan memanggul tas ransel di punggungnya, orang langsung berasumsi bahwa orang tersebut adalah seorang backpacker.

Jangan pernah menganggap kalangan backpacker adalah orang yang tak berduit. “Kalangan backpacker yang berduit justru menikmati hidupnya dari perjalanan seperti itu,” tutur Bimada, pemilik jaringan Bakmi Raos, yang juga gemar melakukan backpacking.

Sama halnya penggemar aktivitas lainnya, kalangan backpacker pun mempunyai komuniti sendiri. Di Indonesia, kelompok backpacker ini tergabung ke dalam Indobackpacker.

Komuniti ini awalnya berasal dari sebuah situs www.indobockpacker.com yang didirikan oleh Aris Yanto, bersama kedua temannya Erwin dan Denni. Setelah website berdiri, mereka pun membikin mailing list. Barulah tahun 2004 komuniti Indobackpocker resmi berdiri. Hingga saat ini, anggotanya sudah mencapai 4.800 anggota yang tersebar dari Indonesia sampai luar negeri.

Tak hanya di Indonesia, kalangan backpacker asing pun punya komuniti mereka sendiri, seperti Lonely Planet dan Rough Guide Igo Ugo. Di situs mereka terdapat segala informasi tentang backpacker. Misalnya, mulai dari penginapan yang murah, tempat-tempat menarik, jenis-jenis transportasi. Malah, “Pernah saya menginap di rumah seorang backpacker di Roma, meskipun ketika itu orangnya sedang tidak ada di rumah,” kenang Doris C. Dumlao, backpacker yang berasal dari Filipina.

Bantuan informasi dari dunia maya memang sangat membantu para backpacker untuk tahu negara tujuan mereka. Selain itu, internet juga menjadi ajang tumpahan pengalaman pehobi backpacker. Tengok saja situs milik Agustinus Wibowo atau Ambar Briastuti yang berisi jurnal perjalanan mereka.

Kita juga bisa mendapatkan informasi mengenai backpacker dari buku. Sayang, kebanyakan buku tersebut masih berisikan pengalaman backpacker asing, bukan backpacker Indonesia.

Nah, salah satu buku karangan backpacker Indonesia adalah The Naked Traveler yang mulai dijual Agustus 2007 lalu. Buku ini berisi pengalaman pribadi seorang backpacker perempuan asal Indonesia yang diambil dari blognya di http://naked-traveler.blogspot.com. Trinity, demikian backpacker itu biasa disebut, sampai kini telah menjelajahi 33 negara di dunia. “Paling jauh saya ke Porto Riko,” imbuh Trinity yang sedang kuliah pascasarjana di Filipina ini.

Sayang beribu sayang, buku yang banyak dicari kalangan backpacker ini ternyata ditarik dari peredaran. Kabarnya, karena ada tiga artikel di buku tersebut yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Namun, Trinity tak kehilangan akal, gaya pemasaran underground pun dijalaninya.

Minggu kemarin, di sebuah kafe di Kemang, Trinity menjajakan The Naked Traveler sebanyak 150 eksemplar. la berharap bukunya dapat menjadi inspirasi bagi peminat backpacker.          □

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Kontan (2007): Yuk, Keliling Dunia Tanpa Duit Berjuta-juta!

  1. Mas agus saya juga dari lumajang saya juga masih pemula jadi backpacker lokalan hehe gimana caranya ikut komunitas?

Leave a comment

Your email address will not be published.


*