Recommended

Garis Batas 62: Diciduk Polisi (1)

Kovurma laghman, mie goreng yang menjadi santapan saya bersama Halimjon di Ferghana (AGUSTINUS WIBOWO)

Kovurma laghman, mie goreng yang menjadi santapan saya bersama Halimjon di Ferghana (AGUSTINUS WIBOWO)

Bukan maksud saya untuk mencicipi rasanya ditangkap polisi Uzbekistan. Tetapi malam itu menjadi pengalaman yang tak terlupakan sepanjang petualangan saya di negeri ini.

Damas, angkot jarak jauh, penuh sesak oleh penumpang yang semua berjaket tebal-tebal. Kendaraan berbentuk seperti roti ini mengangkut saya dari terminal Qo’ilok Bazaar di Tashkent menuju ke Lembah Ferghana.

Seperti halnya Tajikistan yang harus bersusah payah membangun jalan berbahaya lewat gunung-gunung untuk menghubungkan Dushanbe dengan Khojand di utara, Uzbekistan juga harus membangun jalan dan terowongan melintasi Puncak Kamchik untuk menghubungkan Tashkent dengan Lembah Ferghana. Ini karena setelah negara-negara Asia Tengah merdeka, jalan dataran rendah yang biasanya dipakai sudah masuk wilayah negara lain.

Jalan paling nyaman dari Tashkent menuju ke Lembah Ferghana adalah lewat Khojand Tajikistan, sekarang musuh bebuyutan yang untuk melintas saja harus pakai visa. Sekarang bus tidak boleh lewat jalan ini, karena sulitnya medan. Angkutan umum hanya dibatasi taksi dan mobil kecil macam minivan Damas ini. Biaya transportasi pun melangit. Sekali jalan, orang setidaknya harus merogoh kocek 5500 Sum, sekitar 50 ribu Rupiah. Kalau naik taksi, harganya bisa lipat dua.

Salju sudah mulai turun di Puncak Kamchik. Saya pun sudah mulai akrab dengan para penumpang Damas. Salah satunya adalah Halimjon Permatov, 26 tahun, tingginya 191 cm menjulang seperti tiang listrik. Walaupun ia tidak bisa bahasa Rusia sementara bahasa Uzbek saya terbatas, kami masih nyambung juga.

Rumah Halimjon di desa Mindon, katanya tidak jauh dari perbatasan Kyrygzstan. Saya yang memang sudah tertarik dengan misteri garis-garis batas internasional di Lembah Ferghana, tentu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan diundang menginap di rumah Halim.

Damas memang lambat. Jalannya mendengus-dengus memanjat bukit. Lima jam perjalanan dari Tashkent, kami baru sampai di Qoqon, kota pertama Lembah Ferghana. Jangan minta cepat, kalau tak mau bayar mahal.

Satu jam berikutnya, Damas yang kami tumpangi berhenti di kota Altaryk, masih 60 kilometer lagi jauhnya dari kota Ferghana. Dari Altaryk banyak bus yang menuju Ferghana. Saya duduk di samping Halim. Harga karcis 700 Sum, sekitar 6.000 Rupiah per orang, dan Halim dengan suka cita membayar karcis saya. Saya mulai tersentuh dengan ketulusan hatinya.

Sampai di Ferghana, Halim bukan saja membelikan makan siang  kovurma laghman – bakmi goreng, malah menawarkan hendak membelikan saya baju dan celana jeans di pasar. Jujur saja, saya mulai meragukan kemurahan hati orang asing ini.

Desa Mindon masih sekitar setengah jam lagi dengan taksi. Kami berdua sampai di Mindon ketika langit mulai gelap. Halim berhenti dulu di tempat potong rambut, mencukur gundul kepalanya. Kemudian dia menyuruh saya cukur kumis. Halim membayar semua ongkosnya tanpa saya sempat berkata apa-apa.

Sekarang saya hanya bisa mengikuti Halim, si tiang listrik berjalan itu, menyusuri gang-gang berkelok di desa Mindon. Gelap gulita, dan saya sudah tidak tahu arah lagi, karena jalan gang ini ruwet seperti labirin. Nampak banyak tetua desa, semua mengenakan jaket hitam tebal dan doppi, topi tradisional Uzbek bersudut empat, melintasi jalan-jalan gang. Semuanya menyapa Halimjon. Nampaknya Halimjon adalah orang terkenal di kampung ini.

Halimjon membawa saya ke rumahnya, sekitar satu kilometer jauhnya dari jalan raya. Rumah ini cukup besar, ada kebunnya, tetapi sederhana. Tadi waktu di bus Halim cerita bahwa istrinya sedang hamil. Tetapi wanita yang sekarang diperkenalkan kepada saya ini kurus kering. Mungkin istri yang lain lagi. Tak sampai dua menit, Halim mengajak saya keluar.

“Kita pergi ke apartemen di Ferghana saja,” katanya. Apartemennya sendiri. Halim bilang tinggal di apartemen di Ferghana lebih nyaman. Saya bisa mandi air panas, tidur nyenyak, dan besok pagi-pagi dia akan mengantar saya ke Shakhimardan, salah satu tempat di Uzbekistan yang paling ingin saya kunjungi.

“Di apartemen hanya akan ada kamu dan saya. Besok pagi kita berangkat,” katanya sambil mengerling senyum.

Saya merasa sangat tidak enak. Kami naik taksi lagi balik ke Ferghana. Hari ini Halim sudah mengeluarkan banyak uang ke sana ke sini, hanya untuk melayani saya yang baru dikenalnya di dalam kendaraan. Di satu sisi, sukar sekali bagi saya untuk percaya, bahwa ini adalah keramahtamahan orang Ferghana yang konon bisa mengorbankan apa pun untuk tamu. Di sisi lain, saya mulai mempertanyakan ketulusan hati Halim.

Kami berdua tiba di Ferghana. Gelap total. Setelah beberapa kali gonta-ganti bus dan taksi, akhirnya kami tiba di sebuah komplek apartemen. Saya sudah benar-benar tidak tahu arah. Di mana ini? Saya menggantungkan nasib saya pada seorang asing yang baru saya kenal beberapa jam saja di kendaraan umum. Tetapi saya masih memegang omongan Temur, keramahtamahan orang Ferghana tiada tandingnya. Semoga tidak terjadi apa-apa, saya berdoa.

Halim membawa saya ke sebuah rumah di lantai dua apartemen kuno itu. Pintu terbuka. Remang-remang. Sinar lampu temaram merah jingga, mengingatkan saya kepada bilik-bilik prostitusi yang saya lihat di film-film. Ada beberapa orang wanita duduk di sana, bersama dua atau tiga bocah yang bermain mobil-mobilan. Seorang wanita menghambur ke arah Halim, bertukar salam.

Apartemen remang-remang inikah yang dijanjikan Halim sebagai tempat peristirahatan yang nyaman bagi saya di Ferghana? Saya masih belum sadar juga, bahwa nasib saya sedang di ujung tanduk.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 30 Mei 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*