Recommended

Garis Batas 63: Diciduk Polisi (2)

Polisi Uzbek berpatroli (AGUSTINUS WIBOWO)

Polisi Uzbek berpatroli (AGUSTINUS WIBOWO)

Halim yang baru saya kenal di dalam bus, setelah mengajak saya berputar-putar di desa yang sama sekali asing, kini membawa saya ke sebuah apartemen kuno di Ferghana. Saya tak tahu lagi ini ada di mana. Saya hanya memasrahkan nasib saya kepada orang ini, yang kini sedang bercakap-cakap dengan gadis berdaster di sebuah apartemen remang-remang dengan temaram lampu merah jingga.

Saya tidak paham apa yang dirundingkan antara Halim dengan perempuan itu. Tak sampai lima menit mereka bercakap-cakap, Halim langsung menyeret saya keluar dari gedung bobrok dan bau itu.

“Kita ke tempat lain saja,” katanya. Siapa perempuan itu tadi? “Adik,” jawabnya singkat, seolah ingin menghindari cecaran pertanyaan saya yang dungu ini.

Halim memanggil taksi lagi. Saya semakin bingung ada di bagian kota mana ini. Malam yang gelap gulita membuat saya mustahil mengingat jalan dan gedung-gedung yang bisa saya jadikan penanda.

“Halim aka…..,” sambut seorang wanita hamil yang muncul dari balik pintu sebuah apartemen kecil di lantai dasar. Aka, bahasa Uzbek, artinya kakak laki-laki. Si wanita itu bicara tanpa henti. Saya tak mengerti apa pun, hanya merasakan nada bicara yang merajuk manja. Semua giginya berlapis emas.

Halim mengajak saya untuk masuk ke sebuah ruangan. Kosong, tumpukan kurpacha, matras untuk duduk, menggunung di sudut ruangan. Halim menyiapkan kurpacha, dan saya langsung duduk manis. Bau tak sedap mengisi molekul-molekul udara. Kecoak bergerayapan di sana sini. Rumah ini masih belum bisa dibilang bersih. Cat di tembok sudah terkelupas. Ada poster Mekkah di tembok sebelah sini, ada gambar pantai tropis di sampingnya, seakan merupakan idam-idaman pemilik rumah yang terkurung di negeri tanpa lautan. Ada juga poster gunung-gunung China yang berpuisi.

Di sudut kamar ada sebuah TV ukuran super kecil. Si wanita hamil sibuk mengepaskan antena, dan gambar bintik-bintik hitam putih pembaca berita mulai muncul. Mungkin butuh teropong untuk bisa menonton TV ini, karena gambarnya kecil sekali. Sekembalinya dari toilet, yang tidak berair dan penuh hewan-hewan mungil tidak lucu, saya kembali duduk manis di sudut kamar ini. Halim keluar sebentar, untuk beli makan an katanya.

Pukul 7 malam. Saya lapar sekali. Halim dan perempuan hamil itu sibuk memasak. Aroma telur goreng menggantikan bau apek ruangan ini. Di atas dastarkhon, taplak kain yang digelar di tanah, saya mencocol-cocolkan roti nan ke piring telur dan sosis goreng.

Siapa perempuan hamil ini? Halim bilang ini adiknya. Tetapi bukankah Halim pernah bercerita bahwa istrinya sedang hamil?  Inikah istri Halim yang sebenarnya? Tetapi cara mereka bertegur sapa, berinteraksi, tidak tampak seperti suami istri. Justru wanita kurus kering di Mindon tadi lebih cocok jadi istri Halim. Dengan wanita hamil ini, ada jarak dalam cara Halim berbicara. Kemudian dengan lembut si perempuan mulai memijiti punggung Halim, yang seketika tertawa senang. Segala macam pertanyaan hanya saya simpan dalam benak. Kedua orang ini sama sekali tidak bisa bahasa Rusia, dan kemampuan bahasa Uzbek saya sangat terbatas untuk menyelidik lebih jauh.

Saya mulai membaringkan diri di atas kurpacha, berusaha tidur seraya berdoa semoga kecoak-kecoak nakal tidak sampai nyasar ke lubang telinga.

Tak sampai tiga puluh menit berselang, tiba-tiba tiga orang pria masuk ke ruangan tempat saya tidur. Polisi! Mereka berteriak sambil menunjukkan kartu identitas dengan tangan kanan. Saya seperti buronan yang tertangkap oleh sekelompok orang inteligen tak berseragam.

Apa salah saya? Saya tidak merasa melakukan kesalahan apa-apa. Dengan penuh percaya diri saya mengikuti mereka. Halim pun ikut. Si perempuan hamil hanya diam saja, berdiri di samping daun pintu. “Kemasi barang-barangmu, bawa semua!” perintah seorang pria berjas dan berkaca mata hitam. Saya hanya menurut.

Kami digiring ke mobil polisi. Ini pengalaman pertama saya naik mobil polisi Uzbekistan. Biasanya saya selalu antusias dengan berbagai macam ‘pengalaman pertama’, tapi benar-benar tidak untuk yang satu ini. Saya merasa sekarang menjadi narapidana kelas kakap, diapit polisi-polisi dan agen rahasia, hanya kurang borgolnya saja.

Kantor polisi itu adalah sebuah ruangan dengan dua meja. Saya diinterogasi, nama, asal, tujuan, kegiatan, dan sebagainya. Dua polisi yang menginterogasi nampaknya cukup tinggi juga jabatannya. Tidak membentak-bentak, tetapi menggunakan bahasa Rusia dengan nada bercanda. Saya yakin, saya tidak bersalah. Saya menjawab semua pertanyaan seperlunya.

“Jangan-jangan kamu ini mata-mata!” kata salah seorang polisi. Mata-mata? Hah, saya sudah terbiasa dengan tuduhan itu. Ini bukan kali pertama saya dituduh mata-mata. Mereka mulai menggeledah tas saya.

Ada album foto jepretan saya. Para polisi tercekat dengan foto-foto unik dari India, Pakistan, dan Afghanistan. Mereka minta diceritai satu per satu foto perjalanan saya, dan mereka senang sekali. Sekarang acara interogasi malah jadi obrolan santai.

Saya menoleh ke arah Halim. Keringat deras mengucur di sekujur tubuhnya. Matanya pun memerah, ada bulir air mata di sudutnya. Dia ketakutan. Saya jadi tak enak, orang asing yang sejak tadi menawarkan bantuan kepada saya jadi digiring ke kantor polisi. Apa sih salahnya pergi ke apartemen dan makan telor ditambah sosis goreng?

Malam semakin larut, dan saya sudah kehabisan energi, setelah perjalanan naik turun gunung dari Tashkent tadi. Para polisi, yang kini sudah menjadi sahabat saya berkat foto-foto yang saya simpan di tas, akhirnya mau buka mulut.

Jadi, begini ceritanya. Wanita hamil di rumah tadi itu adalah seorang pekerja seks. Rumah yang tadi saya kunjungi itu memang tempat prostitusi. Saya jadi mengerti kenapa dari tadi polisi bertanya pertanyaan aneh-aneh, macam “cantik nggak ceweknya?” dan “kamu suka seks?”. Nah, si wanita itu bukan hanya pekerja seks biasa, tetapi seorang pelaku kriminal pencurian yang baru saja dibebaskan dari penjara. Rumahnya masih dalam pengawasan polisi, yang tentu saja terkejut tiba-tiba ada orang asing dari negeri antah berantah nyelonong masuk ke sana.

Dua jam saya di kantor ini. Entah harus bersyukur atau menangisi nasib. Seandainya tidak ada para polisi itu, entah apa jadinya saya di rumah penuh kecoak itu. Saya juga tak berani membayangkan.

Halim berkali-kali bersumpah kepada saya, dia tidak tahu bahwa perempuan itu pencuri. Nada suaranya sekarang sudah seperti robot. Kecurigaan saya terhadap orang ini semakin menjadi-jadi. Entah kebohongan macam apa lagi ini. Polisi menganjurkan agar Halim membawa saya ke hotel yang aman, jangan kembali ke rumah itu.

Kabut menyelimuti seluruh penjuru Ferghana. Halim membawa saya ke sebuah hotel yang dingin dan bobrok. Administrator hotel menyiapkan bon. Halim membayar 2.000 Sum, plus 6.200 Sum untuk saya yang dikenai biaya menginap 3 kali lebih mahal. Dia membayar semuanya, tanpa sempat saya mencegah.

Malam itu, kami tidur sekamar berdua. Halim langsung membaringkan dirinya di ranjang. Saya pun tak mau berkata-kata apa-apa lagi. Saya tidur sambil memeluk erat-erat semua barang bawaan saya.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 2 Juni 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*