Recommended

SNAP (2006): Mencari Warna-warni Kehidupan

No. 006/2006

SNAP (Majalah Fotografi)

JALAN-JALAN | Asia Selatan

0612-SNAP-Mencari-Warna-Kehidupan1

Mencari Warna-warni Kehidupan

NASKAH & FOTO: AGUSTINUS WIBOWO

Ketika saya masih duduk di kelas 1 SD, pernah seorang guru bertanya tentang cita-cita. Saya menjawab dengan polosnya, “Ingin jadi turis!”

“Lho, jadi turis, kan, bukan pekerjaan?” katanya terkejut.

Hari ini, dua puluh tahun kemudian, saya berada di Afghanistan, setelah satu tahun lebih mengelana melintasi negeri-negeri Asia, dari gunung-gunung tinggi hingga padang pasir tak bertuan. Berjumpa dengan suku-suku terasing di pedalaman, hingga mengunjungi pabrik-pabrik senjata ilegal. Separuh turis, separuh jurnalis. Sama sekali tidak kusangka, cita-cita masa kecil kini tercapai.

India Kaya Warna

Perjalanan panjang ini adalah perjalanan mencari warna. Menemukan arti kehidupan yang tersembunyi dalam ragam-ragam budaya, serta saling berbagi dengan pembaca yang mungkin tak berkesempatan menengok sendiri. Kamera, bagi saya bukan hanya alat untuk mengabadikan pengalaman, namun juga media berkomunikasi dengan penduduk lokal.

Memulai dari Beijing, Cina, setelah tiga bulan perjalanan darat sampailah saya di Nepal, sebuah negeri mungil yang terjepit di antara dua raksasa Asia, India dan Cina. Budaya Hindu begitu mewarnai kehidupan masyarakatnya. Warna mistis dan kepercayaan kuno, disemerbaki oleh harumnya asap dupa yang dibakar oleh para penganutnya, menjadikan Nepal negeri yang penuh misteri, terkunci di antara puncak-puncak salju yang membisu abadi.

Setelah dua bulan merasakan kehidupan di Nepal, saya melanjutkan ke India, negeri yang sangat terkenal dengan kekayaan warnanya. Khasanah budaya India dengan ayunan bandul sejarah yang bervibrasi selama ribuan tahun, menjadikan negeri ini penuh dengan dimensi.

Ada gedung-gedung tua yang menjulang megah dikelilingi oleh ratusan pengemis yang menanti sedekah. Kota modern terbentang dengan permukiman kumuh sejauh mata memandang. Sapi bersaing dengan bajaj dan pejalan kaki untuk menguasai jalan. Unta-unta berbaris rapi menanti pembeli. Umat beragama pun khusyuk bersembahyang, mulai dari menyembah Syiwa, Wishnu, Brahma, Budha, hingga menyembah Dewa Tikus.

0612-SNAP-Mencari-Warna-Kehidupan2

Pakistan Paling Berkesan

Dari semua perjalanan ini, mungkin Pakistanlah negara yang paling berkesan buat saya. Negeri ini laksana adonan yang manis dari budaya India dengan adat Persia, diperkuat lagi dengan peradaban Islam yang sangat menjiwai denyut nadi negeri ini.

Saya tinggal hingga 6 bulan berturut-turut di sana, tepatnya di Hunza, negeri di atas awan, terletak di deretan pegunungan Pakistan utara. Tempat ini membahana dengan nyanyian bisu gunung-gunung raksasa, didiami oleh penduduk yang terkenal dengan misteri umur panjangnya.

Saya juga tak mampu berkata-kata ketika menyaksikan air mata dan pengharapan yang mendalam dari bola mata para korban gempa di Kashmir. Di sanalah saya belajar tentang pengabdian dan harapan.

Punjab, pusat peradaban Pakistan, dibercaki oleh peninggalan-peninggalan masa lalu sebelum datangnya Islam. Di sini pulalah terdapat penambangan garam terbesar kedua di dunia. Bukit-bukit gersang itu ternyata adalah tumpukan garam, yang menyuapi 150 juta penduduknya.

Tak banyak orang yang akan memasukkan Afghanistan dalam daftar liburan mereka, walau kawasan itu sebenarnya menyimpan misteri yang menarik untuk dikuak. Saya berkesempatan menjelajah pelosok-pelosok Afghanistan. Mulai dari medan perang di Kandahar (di mana semuanya mahal, kecuali nyawa manusia), kota kuno Herat, pedalaman Wakhan yang terjepit di antara Pakistan dan Tajikistan, hingga patung-patung Buddha yang kini telah berubah menjadi rongsokan batu setelah dihancurkan Taliban lima tahun yang lalu, pun saya sambangi.

Afghanistan adalah sebuah ironi yang mengusik hati. Puncak-puncak peradabannya hancur lebur oleh perang berkepanjangan. Hidup tidaklah mudah di sini. Silakan bayangkan menjalani kehidupan di rumah yang bertembok bolong-bolong karena terjangan peluru. Tak ada jaringan listrik, telepon, air bersih, sekolah, dan berbagai fasilitas lainnya.

Namun, kita juga harus belajar dari bangsa Afghanistan. Di tengah kegelapgulitaan hidupnya, mereka masih mempunyai pengharapan yang luar biasa akan hari esok.

Begitulah, di Asia selatan ada mistis yang berkeliaran dari asap dupa, agama yang terus berdetak, bencana dan perang, pengharapan yang teguh, puncak-puncak salju, dewa-dewa yang bernyanyi, kibasan jubah dan wajah yang terbungkus cadar. Burung-burung di sana akan terus berkicau, merayakan warna-warni kehidupan yang tak pernah pudar.

0612-SNAP-Mencari-Warna-Kehidupan3

Agustinus Wibowo

Bertemankan sebuah backpack kumal dan sebuah kamera, pria yang akrab dipanggil Agus ini telah setahun lebih mengelana ke negeri-negeri Asia melalui perjalanan darat. Menggunakan Nikon Coolpix 8800 untuk merekam kehidupan setempat dan memotret penduduk lokal. Seluruh perjalanan dan foto-fotonya tertuang di situsnya di www.avgustin.net.

 0612-SNAP-Mencari-Warna-Kehidupan4

TIP

  1. Bahasa menjadi faktor utama untuk memotret penduduk lokal. Bahasa mendekatkan jarak. Sedikit banyak kenalilah bahasa setempat untuk berkomunikasi dengan subyek foto Anda.
  2. Bersikaplah sopan. Selalu bertanya sebelum memencet shutter, apakah sang subyek foto bersedia dipotret atau tidak
  3. Patuhi adat dan kepercayaan yang berlaku. Beberapa suku di pegunungan Nepal enggan difoto, karena beranggapan bahwa foto akan mencabut roh mereka. Di Pakistan dan Afghanistan perempuan sama sekali tidak boleh dipotret, kecuali Anda mendapat izin dari suami atau ayahnya. Prinsip tersebut berlaku pula jika Anda memotret pemandangan gunung, sementara jauh di belakangnya, tanpa Anda sadari, ada nenek yang sedang mencabut rumput atau ada wanita Afghanistan.
  4. Be Local. Usahakan sebisa mungkin membaur dengan penduduk setempat, mulai dari cara berpakaian, tempat Anda makan, hingga cara berjalan atau berbicara.
  5. Rendah hati. Orang asing di mana-mana selalu dianggap sebagai orang kaya. Jangan terlalu memamerkan kekayaan atau kamera bermerek jika sedang tidak dibutuhkan.
  6. Waspadalah, apalagi jika mengunjungi daerah-daerah slum atau wilayah perang. Bahaya dapat datang setiap saat.
About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

5 Comments on SNAP (2006): Mencari Warna-warni Kehidupan

  1. haaah… kok aku telad bgt yo…. akhirnya dimuat jg di indo, jd adik cilikku yg di shanghai tak usah berat2x kirimi aku NGC lg ^__^ congrats

  2. Salut deh Gus! Kerjamu apik banget. Apakah ada melintas rencana untuk ke benua hitam Afrika?

  3. Wonderful!! Wonderful!!!

  4. Waaah… anggaran bulan ini nambah bwat beli snap! kyk-nya 😀

  5. Wow…… Congrats… Wah, kudu cari nih majalahnya….

Leave a comment

Your email address will not be published.


*