Recommended

Garis Batas 64: Di Sini Sutra di Sana Sutra

Selamat datang di negeri sutra (AGUSTINUS WIBOWO)

Selamat datang di negeri sutra (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya menghela nafas lega ketika berhasil melepaskan diri dari Halim, yang masih ingin terus menempel ke mana pun saya pergi. Tetapi, petualangan kemarin ke kantor polisi cukup sudah, dan saya tidak mau setiap malam harus tidur merangkul erat-erat tas kamera. Akhirnya Halim hanya minta 5.000 Sum untuk ongkos pulang, dan pergi dengan tertunduk lesu.

Masih dengan jantung yang berdebar-debar, saya memutuskan melanjutkan perjalanan untuk menemukan apa yang saya cari-cari selama ini. Kota Ferghana adalah kota besar di seluruh Lembah Ferghana, dengan barisan gedung yang semuanya berbentuk kotak, di pinggir jalan yang diteduhi pohon-pohon rindang. Tetapi Lembah Ferghana, bukan hanya kota Ferghana.

Orang yang datang ke sini pasti bertanya-tanya, “Mana lembahnya?” Sejauh mata memandang, ke segala penjuru, tak tampak sama sekali gunung apa pun. Lembah ini luas sekali, sampai 22 ribu kilometer persegi, sampai orang pun lupa berada di lembah.  Kota-kota berdiri di dasar lembah, mulai dari Margilan kota Sutra, Andijan tempat lahirnya Raja Babur, hingga Kokand kesultanan agung Asia Tengah, semakin menyemarakkan lintasan sejarah Uzbekistan.

Lembah Ferghana ini adalah salah satu perhentian utama di zaman Jalan Sutra, oasis bagi karavan-karavan unta berduyun-duyun melintasi gunung-gunung surgawi, barisan Pegunungan Tien Shan dan Pamir, membawa segala macam komoditas eksotik dari Tiongkok ke Eropa. Nama Ferghana tidak pernah lepas dari khazanah sejarahnya yang ikut bersinar bersama Jalan Sutra. 

Berawal dari ketertarikan terhadap sutra, saya sekarang berada dalam sebuah marshrutka menuju Margilan, kota kecil yang hanya sekitar 30 menit perjalanan dari pusat kota Ferghana.

Kota kecil ini segera akan merayakan ulang tahunnya yang ke-2.000. Sebagai tempat perlintasan sejarah dan peradaban, Uzbekistan memang dipenuhi kota-kota berusia uzur. Bahkan dibandingkan Margilan yang kecil ini, Jakarta masih seumur bayi. Dan saya sangat gembira menemukan jawaban dari segala pertanyaan yang selama ini saya cari-cari.

Tak jauh dari pusat kota Margilan, ada sebuah pabrik sutra yang terkenal di seantero negeri. Namanya Pabrik Sutra Yodgorlik, satu di antara sedikit pabrik sutra dunia yang masih menggunakan teknik tradisional untuk memproduksi tenunan-tenunan berkualitas tinggi. Nasir, seorang pegawai pabrik, mengajak saya berkeliling.

Kegiatan pabrik ini memang sedikit sepi di musim dingin, karena bukan musimnya memanen ulat sutra dari kepompong. Nasir dengan bangga bercerita tentang produksi benang sutra Uzbekistan yang terkenal di dunia. Pemerintah membagikan 20 gram benih ulat sutra kepada para petani di Lembah Ferghana. Dua puluh gram, tidak banyak bukan? Tetapi bubuk yang nyaris tidak terlihat ini butuh makan an daun malberi sebanyak tiga kilogram per hari.

Pegawai pabrik sutra Margilan (AGUSTINUS WIBOWO)

Pegawai pabrik sutra Margilan (AGUSTINUS WIBOWO)

Ulat sutra adalah hewan yang rakus. Setelah kenyang, mereka pun masuk fase tidur, dan kemudian tumbuh menjadi hewan yang semakin besar dan semakin rakus. Hewan yang semula seukuran titik noktah, kini masing-masih berubah sebesar jempol, dan rakusnya juga berlipat-lipat pula. Dalam waktu beberapa minggu, jumlah daun yang dibutuhkan untuk menyuapi hewan ini adalah 300 kilogram per hari! Tak disangka bukan, dari sekantung plastik bibit ulat yang cuma 20 gram?

Waktu panen, ulat-ulat yang terbungkus dalam kepompongnya yang pekat dijual ke pabrik-pabrik sutra, termasuk Margilan. Di sinilah pekerjaan pabrik dimulai, memisah-misahkan kepompong berdasar kualitas. Yang kualitas tinggi akan menghasilkan kain berkualitas tinggi, yang harganya lebih mahal. Yang kualitasnya sedikit rendah untuk pasar dengan daya beli yang rendah pula. Kepompong ini harus cepat-cepat direbus, untuk mematikan si ulat yang terbungkus, sebelum si ulat bangun dari tidurnya dan memakan kepompongnya.

Dari satu kepompong, yang cuma seukuran ibu jari, bisa dihasilkan benang sutra yang panjangnya satu kilometer. Di pabrik sutra Yodgorlik, benang dibuat dengan roda-roda tradisional dari kayu yang terus berputar tiada henti. Kemudian benang-benang ini diwarnai, semuanya dengan pewarna tradisional yang berasal dari tanam-tanaman.

Tahu saya berasal dari Indonesia, Nasir sangat antusias.

“Kamu mengerti ikat? Katanya sangat terkenal di Indonesia.” Saya sering mendengar tentang tenun ikat, tetapi kalau diminta menjelaskan, nol besar. Nasir minta tolong untuk dibawakan buku tentang motif-motif ikat di Indonesia, tetapi saya tak berani janji.

Produksi sutra Yodgorlik sedang mengembangkan teknik tenun ikat, apalagi yang double ikat, tenunan ikat dua arah – vertikal dan horizontal. Tenunan yang dua arah, tentu saja, harganya jauh lebih tinggi.

Firuza dan hasil karyanya (AGUSTINUS WIBOWO)

Firuza dan hasil karyanya (AGUSTINUS WIBOWO)

Uzbekistan, terutama lembah Ferghana, memang terkenal dengan kain-kain sutranya yang indah. Siapa yang tidak kenal atlas dan adras, yang menambah keanggunan perempuan-perempuan di kota ini? Khan atlas, atau Sutra Raja, adalah motif sutra yang paling umum digunakan, mulai dari perempuan Uzbek hingga gadis-gadis Uyghur di Shinkiang (sekarang RRC) sana. Warna merah, putih, kuning, hijau, semua berpadu dengan indahnya dengan motif-motif yang seakan mengalir di atas aliran sungai yang tenang.

Adras, saya rasakan, desainnya justru menggambarkan dinamisme dan semangat kemarahan. Karena ditenun dari dua arah, motif desainnya lebih rumit dan berani. Walaupun harus menggunakan tingkat imajinasi yang tinggi, saya akhirnya bisa memaksakan diri untuk percaya, bahwa motif adras menggambarkan kemarahan dan kedahsyatan mendung yang menggantung di langit, terefleksikan oleh permukaan air yang tenang. Walaupun demikian, kain yang hanya dikenakan oleh kaum hawa ini, juga menonjolkan kelembutan dan kemolekan wanita.

Produksi barang-barang kerajinan sutra semuanya dikerjakan dengan tangan. Setelah proses pemilahan kepompong, pembuatan benang, dan pewarnaan, ada lagi penenunan dan proses kreasi. Ada sekelompok pria yang bertugas mengikati jalinan-jalinan sutra, untuk kemudian ditenun menjadi karpet dan suzana. Wanita-wanita penenun butuh waktu lebih dari satu tahun hanya untuk menghasilkan sebidang kecil permadani. Jangan heran kalau harganya berjuta-juta, walaupun pendapatan para pekerja pabrik ini tak lebih dari 2 dolar per hari.

Sejarah ribuan tahun Margilan memang bukan angka sembarangan. Semuanya dibangun dengan kesabaran, ketelitian, dan imajinasi yang tinggi. Di sini sutra, di sana sutra, kota Margilan berdiri di atas rajutan dan tenunan yang terus berkilau sepanjang zaman.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 3 Juni 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*