Recommended

Kompas (2011): Perjalanan Melebur Garis Batas

18 October 2011

Kompas Cyber Media

Travel

1110-kompas-com-garis-batas

travel.kompas.com/read/2011/10/18/08365641/Perjalanan.Melebur.Garis.Batas

Backpacker

 

Perjalanan Melebur Garis Batas

 

  • Penulis : Ni Luh Made Pertiwi F
  • Selasa, 18 Oktober 2011 | 08:36 WIB

 

 

KOMPAS.comManusia, yang sejatinya cuma entitas yang satu, memiliki beragam identitas. Ia dibentuk oleh beragam ras, ditempa oleh beragam aspek kultural, dan tumbuh menjadi sosok yang sarat nuansa. Acapkali, kekayaan nuansa itu membentangkan garis-garis batas yang memisahkan manusia. Melangkah melewati garis-garis demarkasi itu melahirkan pengalaman eksistensial yang unik. Dibutuhkan keberanian. Buka cuma itu, dibutuhkan juga kegilaan.

Perjalanan ini bukan hanya garis batas teritorial yang ditembus, tapi juga garis batas kultur, garis batas agama, garus batas ras.

 

Itulah yang dilakukan Agustinus Wibowo, seorang petualang kelahiran Lumajang, Jawa Timur, 1981. Dari Afghanistan, ia menyeberang menelusuri Asia Tengah. Sebuah sungai selebar 20 meter membentangkan perbedaan peradaban hingga satu abad. Ia menjelajahi Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, hingga Turkmenistan.

Ia menerabas batas-batas politikdan sosio-kultural. Ia juga menerabas batas-batas dirinya dan melebur bersama pengalaman masyarakat di negeri-negeri jauh. Ia pantang naik pesawat terbang. Seluruh perjalannya ditempuh melalui jalur darat: naik bus, pedati, keledai, hingga jalan kaki.

Agus membukukan kisah perjalanannya di “Negeri-negeri Stan” tersebut dalam buku “Garis Batas”. Ini adalah buku kedua Agus yang sebelumnya telah meluncurkan “Selimut Debu”, kisah perjalanannya di Afghanistan. Cerita perjalanan di “Garis Batas” adalah kompilasi dari cerita perjalanan yang pernah dimuat di Kompas.com secara berseri pada tahun 2008 dalam kolom Petualang di rubrik Travel.

Cerita Agustinus dalam sebuah buku tentu lebih kaya. Apa saja warna baru dalam kisah Agus di “Garis Batas”, berikut petikan percakapan Kompas.com dengan Agustinus dalam sebuah kesempatan.

Di buku Garis Batas ini, ceritanya sebagian sudah dimuat di Kompas.com. Sekarang diterbitkan menjadi buku. Apa yang baru dari buku ini?

 

Di Kompas.com itu semacam catatan perjalanan yang idenya sudah terfragmentasi, jadi tulisan hari ini saya ngapain, besok saya ngapain. Dalam membuat buku sastra perjalanan harus ada alur yang kuat dan benang merah apa yang akan diangkat. Juga ada garis merah kesatuan cerita-cerita dari keseluruhan buku itu. Dari cerita-cerita yang dimuat di Kompas.com, saya tata ulang dan distrukturisasi, apa sih garis merah yang menghubungkan negara-negara itu dan apa yang bisa kita  pelajari dari sana.

Apa yang menjadi benang  merah di buku ini?

 

Mungkin dari perjalannya dulu ya.  Saya  mulai dari tepian sungai Amu Darya. Sungai ini memisahkan Afghanistan dengan negara-negara bekas Uni Soviet yaitu Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan. Saya mulainya dari sisi sungai Amu Darya yang memisahkan Afghanistan dan Tajikistan. Sungai ini adalah perbatasan yang memisahkan sebuah bangsa yang  sama sebenarnya. Tapi, karena dipisahkan oleh sungai kehidupan orang-orang di kedua sisi ini berbeda sampai 100 tahun jauhnya.  Kalau boleh saya katakan sungai yang lebarnya hanya 20 meter memisahkan kehidupan sampai seabad.

Di Afghanistan saya masih dorong keledai, jalannya bergelunjak, tidak ada listrik, tidak ada sekolah. Tapi tepat 20 meter di seberang sana jalanan beraspal, mobil lalu lalang. Jadi orang di Afghanistan lihat mobil lalu lalang tapi tidak merasakan rasanya duduk di dalam mobil.

Jadi dalam hati, saya bertanya-tanya kenapa harus ada perbatasan. Benar tidak sih impian orang  Afghanistan saat memandang ke seberang sungai sana memang  seindah impian mereka. Sepertinya di Tajikistan begitu modern, bebas, punya mobil, dan sangat berpendidikan. Apakah benar kehidupannya seperti itu? Jadi aku memutuskan menyebrang ke Tajikistan.

Awal perjalanan dari mana?

 

Saya harus menempuh perjalanan memutar sejauh 1.000 kilometer karena harus mengurus visa dan birokrasi, hanya untuk menyebrang perbatasan sungai yang lebarnya cuma 20 meter. Sampai di Tajikistan dan di sana saya mencari jawaban apa benar di seberang garis batas itu seindah impian.

Dari Tajikistan, saya ke Kyrgyzstan, Ini negara yang dulunya bagian dari adikuasa, tapi sekarang nyaris tidak terdengar lagi kecuali tentang konflik yang terjadi. Makanya di buku saya kasih judul “Tenggelam di Peta Dunia”. Dulu mereka bagian dari adikuasa tapi mengapa mereka bisa terpuruk.

Perjalanan berikutnya?

 

Saya menyebrang lagi ke Kazakhstan. Negara ini secara kultural paling dekat dengan Kyrgyzstan, bahasanya paling mirip. Tapi kenapa mereka jadi negara yang paling kaya? Mengapa kontras sekali dengan Kyrgyzstan. Tapi di sisi lain, ada kegamangan identitas. Mana yang lebih penting: kekayaan dan kemakmuran atau identitas dan kebanggaan?

Lalu apa jawabannya?

 

Jawaban ini bisa ditemukan di Uzbekistan. Uzbekistan ini negara di antara lima negara lainnya di Asia Tengah yang paling kuat identitasnya, yaitu identitas Uzbek. Karena mereka punya sejarah panjang yang bisa mereka digali. Lokasi negara ini adalah bekas perabadan jalur sutra.

Perjalanan selanjutnya?

 

Negara yang terakhir saya seberangi adalah Turkmenistan. Turkmenistan  paling unik  di antara yang lain. Karena konsep garis batas benar-benar kuat. Negara ini benar-bendar mengukung dirinya dalam dalam garis batas yang kuat  dengan satu pimpinan yang memberi semua jawaban atas rakyatnya. Seolah-olah pemimpin ini adalah dewa yang membawa rakyatnya menuju impian.

Agus melakukan perjalanan selama tujuh bulan di kawasan Asia Tengah. Sebelumnya, ia hanyalah seorang mahasiswa biasa yang kuliah di Beijing, China. Dengan modal pas-pasan ia nekat menyambangi Afghanistan. Negara yang dilanda perang berkepanjangan. Ia sempat tinggal di Afghanistan. Namun kakinya tak mau diam. Ia kembali berkelana dan mendobrak garis batas Asia Tengah. Dengan uang  sekitar 2000 dolar AS, ia pun menempuh perjalanan ala backpacker.

Berapa uang yang akhirnya habis untuk perjalanan ini?

Asia Tengah paling mahal di visa dan birokrasi. Totalnya lima negara lebih dari 600 dolar AS. Paling mahal Tajikistan, karena harus nyogok dulu. Habis 150 dolar AS.Ini visa termahal yang pernah aku apply seumur hidup. Kalau biaya hidup tidak terlalu mahal kecuali di Tajikistan dan Kazakhstan. Satu bulan bisa habis 700 dolar AS.

 

Totalnya berapa?

Tidak inget juga tapi sekitar 2.000 dolar AS. Itu budget yang saya bawa. Habis sekitar 1.700 dolar AS.

 

Apa yang kamu temukan di perjalanan?

 

Perjalanan ini sebuah refleksi apa sih itu garis batas? Apa sih benang merah yang mengabungkan negara-negara itu dan identitas mereka.

Itu berbeda-beda. Kalau di Afghanistan konteksnya negara perang. Saya menyaksikan negara yang hancur lebur karena perang, tapi tetap bangga dengan identitas sebagai orang Afghanistan. Saya mencari jawaban itu, kenapa  mereka bangga menjadi orang Afgan. itu saya tulis di buku “Selimut Debu” mengenai kebanggaan.

 

Kalau di buku “Garis Batas” saya menulis tentang nasionalisme. Asia Tengah ini negara-negara hasil penjajahan dan sedang membangun nasionalisme. Karena seperti kita ketahui, negara di Asia Tengah ini adalah bentukan bangsa penjajah. Mereka dibangun dari penjajahan, ini ada kemiripan dengan sejarah  kita, negara hasil penjajahan. Bagaimana negara yang batas-batasnya dibuat penjajah, negara yang dibangun dari penjajahan, lalu harus mengalami nasionalisme yang harus dibuat dulu.

Indonesia dan Malaysia itu pun garis-garis batasnya dibuat oleh penjajah. Jadi, ini ada kemiripan dengan kita. Tapi bagaimana negara-negara di Asia Tengah ini bisa membangun nasionalismenya, dari sana saya ingin belajar.

Sepanjang perjalanannya, Agustinus tidak hanya mengumuli aspek kultural sebuah bangsa, ia juga menggumuli kemanusiaan. Ia menjadi relawan di beberapa tempat.Ia berkisah tentang sosok-sosok kelam dan terpinggirkan dari antah berantah. Garis batas bagi Agustinus bukan hanya bermakna teritorial. Lebih dari itu, garis batas yang membentuk identitas manusia. Ia mendobrak garis-garis batas yang tak kasat mata, mulai dari garis batas agama hingga bahasa.

Kamu sebagai Agustinus kan juga berada dalam garis batas dirimu. Bagaimana pergulatannya?

 

Perjalanan saya adalah proses menembus garis batas, menembus pengkotakan-kotakan. Ada orang yang  melakukan perjalanan tapi tidak melepas pengkotakan yang ada. Ada orang yang misalnya selalu banding-bandingkan. Dia sebenarnya tidak lepas dari kotak dia. Masih terkurung dalam garis batas yang invisible. Perjalanan ini bukan hanya garis batas teritorial yang ditembus, tapi juga garis batas kultur, garis batas agama,  garus batas ras. Semua garis batas ditembus.

Apa yang dilakukan Agus dalam menembus garis batas ini?

Saya non muslim, tapi saya tidak apa-apa belajar di Masjid dengan seorang  Imam. Atau ke gereja belajar dengan Pastor. Itu kan proses  menembus garis batas saya. Saya belajar bahasa asing, itu kan menembus batas dari bahasa  Indonesia ke kultur asing. Saya makan apapun. Itu juga menembus garis batas. Kita bisa membuat garis batas itu semakin kuat atau bisa juga membuat garis batas itu semakin hilang. Semakin kita berjalan itu, semakin terjadi proses peleburan garis batas.

Garis batas itu menurut saya kodrat. Karena memang Tuhan menciptakan kita penuh warna. Kalau kita tidak ada batas sama sekali, kita jadi masyarakat yang homogen, semua pikiran sama. Tapi, kalau kita lihat garis batas itu ke identitas, ada kebanggaan. Misalnya saya orang surabaya, kita punya rujak cingur. Tentu kita tidak makan setiap hari rujak cingur. Tapi itu satu kebanggaan kita, identitas kita. Kita punya tari-tarian tradisional atau lagu-lagu daerah. Tentu tidak setiap hari kita tarikan atau nyanyikan. Tapi itu bagian dari kita, identitas kita.

Garis batas itu bisa juga memperburuk kemanusiaan?  

Itu tergantung bagimana kita memandang garis batas. Garis batas memang harus ada, sebagai manusia harus punya identitas. Kalau tanpa identitas itu seperti manusia tanpa akar. Seperti manusia tanpa masa lalunya. Tidak ada ceritanya karena itu sesuatu yang memperkaya kita. Tapi di satu sisi lain ada yang kebanggaannya terlalu berlebihan, garis batasnya terlalu berlebihan, yang mengukung dia. Ini yang membuat tragedi kemanusiaan, perang hanya atas nama kemanusiaan.

Di Indonesia, masyarakat kita sering dikotak-kotakan dalam agama. Bagaimana pengalaman di Asia Tengah?

Tidak semua orang menaruh posisi agama di paling atas. Di negara-negara di Asia Tengah kenyataannya begitu. Karena  konteks keagamaan terputus akibat penjajahanj Uni Soviet. Selama 70 tahun terputus dengan agama Islam.

Jadi agama tidak lagi posisi paling tinggi. Yang paling kuat itu konsep negara. Etnis, itu yang penting. Karena mereka kalau isi form tulisnya etnis,  beda di kita tulisnya agama. Mereka negara kebangsaan. Misalnya negara Uzbekistan untuk bangsa Uzbek. Tapi masalahnyn saat Uni Soviet membuat garis-garis batas, itu kan orangnya campur-campur. Kan tidak mungkin di dalam perbatasan isinya 100 persen orang Uzbek, jadi pasti campur-campur. Nah, minoritas satu hal yang saya angkat juga di buku.

 

 

Editor : Heru Margianto

 

Backpacker

Perjalanan Melebur Garis Batas

    Penulis :

    Ni Luh Made Pertiwi F

    Selasa, 18 Oktober 2011 | 08:36 WIB

Agustinus Wibowo saat berkunjung ke Kantor Kompas.com, April 2011. Ia menulis catatan perjalanannya di Afghanistan dalam buku “Selimut Debu”. “Garis Batas” adalah buku keduanya yang berisi kisah perjalananya menjelajahi Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, hingga Turkmenistan di Asia Tengah. | KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES

185

23

KOMPAS.com – Manusia, yang sejatinya cuma entitas yang satu, memiliki beragam identitas. Ia dibentuk oleh beragam ras, ditempa oleh beragam aspek kultural, dan tumbuh menjadi sosok yang sarat nuansa. Acapkali, kekayaan nuansa itu membentangkan garis-garis batas yang memisahkan manusia. Melangkah melewati garis-garis demarkasi itu melahirkan pengalaman eksistensial yang unik. Dibutuhkan keberanian. Buka cuma itu, dibutuhkan juga kegilaan.

Perjalanan ini bukan hanya garis batas teritorial yang ditembus, tapi juga garis batas kultur, garis batas agama, garus batas ras.

Itulah yang dilakukan Agustinus Wibowo, seorang petualang kelahiran Lumajang, Jawa Timur, 1981. Dari Afghanistan, ia menyeberang menelusuri Asia Tengah. Sebuah sungai selebar 20 meter membentangkan perbedaan peradaban hingga satu abad. Ia menjelajahi Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, hingga Turkmenistan.

Ia menerabas batas-batas politikdan sosio-kultural. Ia juga menerabas batas-batas dirinya dan melebur bersama pengalaman masyarakat di negeri-negeri jauh. Ia pantang naik pesawat terbang. Seluruh perjalannya ditempuh melalui jalur darat: naik bus, pedati, keledai, hingga jalan kaki.

Agus membukukan kisah perjalanannya di “Negeri-negeri Stan” tersebut dalam buku “Garis Batas”. Ini adalah buku kedua Agus yang sebelumnya telah meluncurkan “Selimut Debu”, kisah perjalanannya di Afghanistan. Cerita perjalanan di “Garis Batas” adalah kompilasi dari cerita perjalanan yang pernah dimuat di Kompas.com secara berseri pada tahun 2008 dalam kolom Petualang di rubrik Travel.

Cerita Agustinus dalam sebuah buku tentu lebih kaya. Apa saja warna baru dalam kisah Agus di “Garis Batas”, berikut petikan percakapan Kompas.com dengan Agustinus dalam sebuah kesempatan.

Di buku Garis Batas ini, ceritanya sebagian sudah dimuat di Kompas.com. Sekarang diterbitkan menjadi buku. Apa yang baru dari buku ini?

Di Kompas.com itu semacam catatan perjalanan yang idenya sudah terfragmentasi, jadi tulisan hari ini saya ngapain, besok saya ngapain. Dalam membuat buku sastra perjalanan harus ada alur yang kuat dan benang merah apa yang akan diangkat. Juga ada garis merah kesatuan cerita-cerita dari keseluruhan buku itu. Dari cerita-cerita yang dimuat di Kompas.com, saya tata ulang dan distrukturisasi, apa sih garis merah yang menghubungkan negara-negara itu dan apa yang bisa kita  pelajari dari sana.

Apa yang menjadi benang  merah di buku ini?

Mungkin dari perjalannya dulu ya.  Saya  mulai dari tepian sungai Amu Darya. Sungai ini memisahkan Afghanistan dengan negara-negara bekas Uni Soviet yaitu Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan. Saya mulainya dari sisi sungai Amu Darya yang memisahkan Afghanistan dan Tajikistan. Sungai ini adalah perbatasan yang memisahkan sebuah bangsa yang  sama sebenarnya. Tapi, karena dipisahkan oleh sungai kehidupan orang-orang di kedua sisi ini berbeda sampai 100 tahun jauhnya.  Kalau boleh saya katakan sungai yang lebarnya hanya 20 meter memisahkan kehidupan sampai seabad.

Di Afghanistan saya masih dorong keledai, jalannya bergelunjak, tidak ada listrik, tidak ada sekolah. Tapi tepat 20 meter di seberang sana jalanan beraspal, mobil lalu lalang. Jadi orang di Afghanistan lihat mobil lalu lalang tapi tidak merasakan rasanya duduk di dalam mobil.

Jadi dalam hati, saya bertanya-tanya kenapa harus ada perbatasan. Benar tidak sih impian orang  Afghanistan saat memandang ke seberang sungai sana memang  seindah impian mereka. Sepertinya di Tajikistan begitu modern, bebas, punya mobil, dan sangat berpendidikan. Apakah benar kehidupannya seperti itu? Jadi aku memutuskan menyebrang ke Tajikistan.

Awal perjalanan dari mana?

Saya harus menempuh perjalanan memutar sejauh 1.000 kilometer karena harus mengurus visa dan birokrasi, hanya untuk menyebrang perbatasan sungai yang lebarnya cuma 20 meter. Sampai di Tajikistan dan di sana saya mencari jawaban apa benar di seberang garis batas itu seindah impian.

Dari Tajikistan, saya ke Kyrgyzstan, Ini negara yang dulunya bagian dari adikuasa, tapi sekarang nyaris tidak terdengar lagi kecuali tentang konflik yang terjadi. Makanya di buku saya kasih judul “Tenggelam di Peta Dunia”. Dulu mereka bagian dari adikuasa tapi mengapa mereka bisa terpuruk.

Perjalanan berikutnya?

Saya menyebrang lagi ke Kazakhstan. Negara ini secara kultural paling dekat dengan Kyrgyzstan, bahasanya paling mirip. Tapi kenapa mereka jadi negara yang paling kaya? Mengapa kontras sekali dengan Kyrgyzstan. Tapi di sisi lain, ada kegamangan identitas. Mana yang lebih penting: kekayaan dan kemakmuran atau identitas dan kebanggaan?

Lalu apa jawabannya?

Jawaban ini bisa ditemukan di Uzbekistan. Uzbekistan ini negara di antara lima negara lainnya di Asia Tengah yang paling kuat identitasnya, yaitu identitas Uzbek. Karena mereka punya sejarah panjang yang bisa mereka digali. Lokasi negara ini adalah bekas perabadan jalur sutra.

Perjalanan selanjutnya?

Negara yang terakhir saya seberangi adalah Turkmenistan. Turkmenistan  paling unik  di antara yang lain. Karena konsep garis batas benar-benar kuat. Negara ini benar-bendar mengukung dirinya dalam dalam garis batas yang kuat  dengan satu pimpinan yang memberi semua jawaban atas rakyatnya. Seolah-olah pemimpin ini adalah dewa yang membawa rakyatnya menuju impian.

Agus melakukan perjalanan selama tujuh bulan di kawasan Asia Tengah. Sebelumnya, ia hanyalah seorang mahasiswa biasa yang kuliah di Beijing, China. Dengan modal pas-pasan ia nekat menyambangi Afghanistan. Negara yang dilanda perang berkepanjangan. Ia sempat tinggal di Afghanistan. Namun kakinya tak mau diam. Ia kembali berkelana dan mendobrak garis batas Asia Tengah. Dengan uang  sekitar 2000 dolar AS, ia pun menempuh perjalanan ala backpacker.

Berapa uang yang akhirnya habis untuk perjalanan ini?

Asia Tengah paling mahal di visa dan birokrasi. Totalnya lima negara lebih dari 600 dolar AS. Paling mahal Tajikistan, karena harus nyogok dulu. Habis 150 dolar AS.Ini visa termahal yang pernah aku apply seumur hidup. Kalau biaya hidup tidak terlalu mahal kecuali di Tajikistan dan Kazakhstan. Satu bulan bisa habis 700 dolar AS.

Totalnya berapa?

Tidak inget juga tapi sekitar 2.000 dolar AS. Itu budget yang saya bawa. Habis sekitar 1.700 dolar AS.

Apa yang kamu temukan di perjalanan?

Perjalanan ini sebuah refleksi apa sih itu garis batas? Apa sih benang merah yang mengabungkan negara-negara itu dan identitas mereka.

Itu berbeda-beda. Kalau di Afghanistan konteksnya negara perang. Saya menyaksikan negara yang hancur lebur karena perang, tapi tetap bangga dengan identitas sebagai orang Afghanistan. Saya mencari jawaban itu, kenapa  mereka bangga menjadi orang Afgan. itu saya tulis di buku “Selimut Debu” mengenai kebanggaan.

Kalau di buku “Garis Batas” saya menulis tentang nasionalisme. Asia Tengah ini negara-negara hasil penjajahan dan sedang membangun nasionalisme. Karena seperti kita ketahui, negara di Asia Tengah ini adalah bentukan bangsa penjajah. Mereka dibangun dari penjajahan, ini ada kemiripan dengan sejarah  kita, negara hasil penjajahan. Bagaimana negara yang batas-batasnya dibuat penjajah, negara yang dibangun dari penjajahan, lalu harus mengalami nasionalisme yang harus dibuat dulu.

Indonesia dan Malaysia itu pun garis-garis batasnya dibuat oleh penjajah. Jadi, ini ada kemiripan dengan kita. Tapi bagaimana negara-negara di Asia Tengah ini bisa membangun nasionalismenya, dari sana saya ingin belajar.

Sepanjang perjalanannya, Agustinus tidak hanya mengumuli aspek kultural sebuah bangsa, ia juga menggumuli kemanusiaan. Ia menjadi relawan di beberapa tempat.Ia berkisah tentang sosok-sosok kelam dan terpinggirkan dari antah berantah. Garis batas bagi Agustinus bukan hanya bermakna teritorial. Lebih dari itu, garis batas yang membentuk identitas manusia. Ia mendobrak garis-garis batas yang tak kasat mata, mulai dari garis batas agama hingga bahasa.

Kamu sebagai Agustinus kan juga berada dalam garis batas dirimu. Bagaimana pergulatannya?

Perjalanan saya adalah proses menembus garis batas, menembus pengkotakan-kotakan. Ada orang yang  melakukan perjalanan tapi tidak melepas pengkotakan yang ada. Ada orang yang misalnya selalu banding-bandingkan. Dia sebenarnya tidak lepas dari kotak dia. Masih terkurung dalam garis batas yang invisible. Perjalanan ini bukan hanya garis batas teritorial yang ditembus, tapi juga garis batas kultur, garis batas agama,  garus batas ras. Semua garis batas ditembus.

Apa yang dilakukan Agus dalam menembus garis batas ini?

Saya non muslim, tapi saya tidak apa-apa belajar di Masjid dengan seorang  Imam. Atau ke gereja belajar dengan Pastor. Itu kan proses  menembus garis batas saya. Saya belajar bahasa asing, itu kan menembus batas dari bahasa  Indonesia ke kultur asing. Saya makan apapun. Itu juga menembus garis batas. Kita bisa membuat garis batas itu semakin kuat atau bisa juga membuat garis batas itu semakin hilang. Semakin kita berjalan itu, semakin terjadi proses peleburan garis batas.

Garis batas itu menurut saya kodrat. Karena memang Tuhan menciptakan kita penuh warna. Kalau kita tidak ada batas sama sekali, kita jadi masyarakat yang homogen, semua pikiran sama. Tapi, kalau kita lihat garis batas itu ke identitas, ada kebanggaan. Misalnya saya orang surabaya, kita punya rujak cingur. Tentu kita tidak makan setiap hari rujak cingur. Tapi itu satu kebanggaan kita, identitas kita. Kita punya tari-tarian tradisional atau lagu-lagu daerah. Tentu tidak setiap hari kita tarikan atau nyanyikan. Tapi itu bagian dari kita, identitas kita.

Garis batas itu bisa juga memperburuk kemanusiaan? 

Itu tergantung bagimana kita memandang garis batas. Garis batas memang harus ada, sebagai manusia harus punya identitas. Kalau tanpa identitas itu seperti manusia tanpa akar. Seperti manusia tanpa masa lalunya. Tidak ada ceritanya karena itu sesuatu yang memperkaya kita. Tapi di satu sisi lain ada yang kebanggaannya terlalu berlebihan, garis batasnya terlalu berlebihan, yang mengukung dia. Ini yang membuat tragedi kemanusiaan, perang hanya atas nama kemanusiaan.

Di Indonesia, masyarakat kita sering dikotak-kotakan dalam agama. Bagaimana pengalaman di Asia Tengah?

Tidak semua orang menaruh posisi agama di paling atas. Di negara-negara di Asia Tengah kenyataannya begitu. Karena  konteks keagamaan terputus akibat penjajahanj Uni Soviet. Selama 70 tahun terputus dengan agama Islam.

Jadi agama tidak lagi posisi paling tinggi. Yang paling kuat itu konsep negara. Etnis, itu yang penting. Karena mereka kalau isi form tulisnya etnis,  beda di kita tulisnya agama. Mereka negara kebangsaan. Misalnya negara Uzbekistan untuk bangsa Uzbek. Tapi masalahnyn saat Uni Soviet membuat garis-garis batas, itu kan orangnya campur-campur. Kan tidak mungkin di dalam perbatasan isinya 100 persen orang Uzbek, jadi pasti campur-campur. Nah, minoritas satu hal yang saya angkat juga di buku.

Editor : Heru Margianto

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Kompas (2011): Perjalanan Melebur Garis Batas

  1. Setelah saya membaca perjalanan anda ke kazakstan saya menjadi terbuka luas wawasan pengetahuan saya. Terima kasih mas agus pengalaman sampeyan sangat luar biasa.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*