Recommended

Garis Batas 66: Yor-Yor

Yor-yor (AGUSTINUS WIBOWO)

Yor-yor (AGUSTINUS WIBOWO)

Adakah yang lebih sempurna dari ini, menghadiri pesta pernikahan tradisional Uzbek di jantung peradaban Uzbekistan, Lembah Ferghana? Yor-yor mengalun lembut menyebar tangis, ibu-ibu tua berkerudung menari-nari, dan mempelai perempuan sesenggukan di balik cadar.

Kebetulan sekali waktu saya masih asyik menghabiskan waktu di pabrik sutra Yodgorlik di Margilan, ada orang yang membagikan sobekan kertas undangan pernikahan. Acaranya besok pagi.

“Sudah, datang saja,” kata Firuza. Tetapi saya kan tidak diundang.

“Tak masalah. Orang Margilan sangat suka kalau acara pernikahannya didatangi orang asing. Malah kadang undangan disebar sembarangan di pasar-pasar.”

Dengan muka setebal tembok, saya datang ke alamat yang tertulis di atas sobekan kertas undangan itu. Bukannya dicerca pertanyaan macam-macam, saya malah disambut tuan rumah dengan penuh kehangatan. Keramahan Lembah Ferghana di Uzbekistan memang tidak perlu diragukan lagi.

Para tamu pria duduk di halaman, yang sudah dipasangi tenda dan berdinding karpet-karpet bermotif indah. Merah menyala. Tamu-tamu mengenakan chapan, jubah tebal yang sebagian besar berwarna gelap, cocok untuk musim dingin begini. Kakek-kakek tua mengenakan topi bulu hitam, tinggi dan besar. Tuan rumah segera menyiapkan roti nan dan teh hijau, bagian tak terpisahkan dari meja makan Uzbekistan.

Melihat ada tamu asing yang datang, tuan rumah buru-buru memperkenalkan saya ke anggota keluarga. Saya dibawa dari meja ke meja, dan setiap perkenalan selalu dimulai dengan menengadahkan tangan bersama-sama, seorang pembaca doa yang berkomat-kamit cepat, dan diakhiri dengan menyerukan Amin. Setelah berputar-putar di ruangan untuk tamu pria, saya dibawa ke dalam pekarangan rumah, untuk melihat bagian bagi tamu-tamu wanita.

Resepsi pernikahan tradisional Uzbek, terutama di Lembah Ferghana yang masih sangat kuat pengaruh agama Islamnya, tamu laki-laki dipisah dari tamu perempuan. Ini sesuai dengan prinsip chador. Seperti di bagian pria tadi, saya ‘berkunjung’ dari meja ke meja, menengadahkan tangan, mengucap doa, dan menyeru amin.

Sebagai orang asing, saya sangat beruntung dengan identitas ganda seperti ini, bisa melongok-longok bagian yang tersembunyi dari tamu pria pada umumnya. Pekarangan rumah Uzbek lazimnya dikelilingi tembok tinggi dan tebal, sehingga bangunan rumah dan pekarangan sama sekali tak terlihat dari luar. Di sinilah para tamu wanita, semuanya mengenakan kerudung dan jilbab, ‘disembunyikan’.

Kakak dari mempelai pria mengingatkan saya untuk datang lagi sehabis Salat Jumat, karena kelin – mempelai perempuan – baru datang sekitar pukul 2 siang. Tuy, upacara pernikahahan, baru dimulai setelah itu. Pengantin pria, dalam bahasa Uzbek disebut kuyov, mengenakan dasi dan jas abu-abu, tak lupa topi bulunya yang menjulang seperti landak, mewanti-wanti saya jangan sampai terlambat datang.

Saya datang lagi pukul 2:30. 

“Kenapa kamu datang terlambat?” tanya si tuan rumah.

Saya kira, seperti biasa di Indonesia, acara pernikahan sering molor.

Kelin sudah datang. Tadi acara kelin salom sudah selesai,” kata si kakak mempelai pria. Kelin salom, disebut juga acara salom-salom, adalah upacara di mana pengantin wanita memberi salam kepada keluarga pengantin pria, sebagai pertanda kelin memasuki kehidupan yang baru di rumah kuyov.

Membaca kekecewaan di wajah saya, kakak kuyov langsung berkata,

“Jangan khawatir, kawan. Salom-salom memang sudah lewat. Tetapi demi kamu, kami bisa mengulang semua acara tadi. Sebentar, kamu tunggu dua puluh menit ya. Kami akan siap-siap lagi.”

Hampir tak percaya, seperti drama saja, acara pernikahan akan diulang lagi hanya karena seorang turis terlambat datang.

Kakak kuyov ini benar-benar menepati janjinya. Tak sampai lima belas menit saya sudah digeret anak-anak kecil yang diutus keluarga kuyov untuk mengabadikan acara salom-salom yang tidak sempat saya lihat.

Bagian ini adalah dunia khusus wanita. Saya tidak melihat laki-laki lain selain keluarga kuyov. Menurut tradisi, tamu-tamu pria dilarang keras untuk melihat acara ini, karena jati diri kelin masih dirahasiakan dan tari-tarian kaum wanita tidak boleh dilihat laki-laki.

Dua wanita paruh baya menabuh kendang bersahut-sahutan, mengalunkan irama sedih. Suara melengking tinggi, mendendangkan lagu pilu yang tidak mungkin absen dalam acara pernikahan.

Wanita-wanita itu mengelilingi sebuah lingkaran. Satu per satu wanita tua turun ke lingkaran, menari mengiringi alunan lagu. Gerakannya sangat sederhana, berputar-putar dengan satu tangan di kepala dan tangan lain terlentang. Tak ada detail gerakan, hanya rancaknya tarian yang berhamoni dengan kepiluan musik, dengan denting-denting khas dunia Arab, membuat saya ikut terhanyut.

            Yig’lama qiz yig’lama, To’y saniki yor-yor.

            Ostonasi tillodan, Uy saniki yor-yor.

Jangan menangis, gadis, jangan menangis… pernikahan ini adalah pernikahanmu, sayang.

Rumah berpanggung emas, rumah ini adalah rumahmu, sayang.

Yor-yor, artinya kekasih, adalah lagu wajib dalam tradisi pernikahan Uzbek. Tamu-tamu menyelipkan uang kertas dua ratusan Sum ke tangan para penari, yang terus berputar-putar dalam lingkaran.

            Yor-yor…, jangan menangis, gadisku.

Mengapa lagu yang sedemikian sedih harus menyertai acara pernikahan. Mengapa pernikahan harus diiringi tangisan dan lagu-lagu pilu?

Ketika kelin, mempelai wanita, yang terbungkus dalam cadar tembus pandang dan pakaian berbordir indah, menampakkan diri di ambang pintu. Wajahnya penuh kesedihan. Matanya terus menatap ke bawah. Dan tak lama setelah itu, saya melihat butir-butir air mata mengalir di pipinya.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 5 Juni 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Garis Batas 66: Yor-Yor

  1. Baca lagi ah garis batas, bagus banget

  2. Baca lagi ah garis batas, bagus banget

  3. Mengapa mempelai perempuan menunduk dan menangis dengan diiringi lagu2 pilu……….apa maknanya ………tradisi budaya menyimpan banyak misteri yang perlu dipahami …………tabik

  4. Mengapa mempelai perempuan menunduk dan menangis dengan diiringi lagu2 pilu……….apa maknanya ………tradisi budaya menyimpan banyak misteri yang perlu dipahami …………tabik

Leave a comment

Your email address will not be published.


*