Recommended

Garis Batas 68: Di Kiri Uzbekistan, di Kanan Kyrgyzstan

 

Di kiri Uzbekistan, di kanan Kyrgyzstan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Di kiri Uzbekistan, di kanan Kyrgyzstan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Apa rasanya jika hidup di persimpangan garis-garis perbatasan internasional yang silang-menyilang tak tentu arah? Anda bisa menemukan jawabannya di desa Gulshan, desa kecil yang menjadi batas dua dunia.

Temur, seorang kawan pelajar bahasa Indonesia di Tashkent, menganjurkan saya untuk mengunjungi kampung halamannya di Lembah Ferghana untuk belajar lebih dalam tentang keajaiban garis-garis batas negara yang diciptakan pada zaman Soviet untuk memecah belah Asia Tengah. Temur sendiri tidak sempat menemani saya ke Gulshan, tetapi ia berjanji untuk mengatur semuanya dari jarak jauh.

Ahror, seorang kerabat Temur, datang menjemput saya saat saya sedang terlena dalam hingar bingarnya pesta pernikahan di Margilan. Kendang masih bertabuhan, dan suara band memekakkan telinga mengiringi lagu-lagu Uzbek yang membawa nuansa padang pasir. Saya belum sempat mencicip nasi plov yang disediakan tuan rumah, Ahror sudah menggeret saya untuk segera pergi mengikutinya.

Ahror, bertubuh agak besar, usianya baru 25 tahun tetapi untuk ukuran orang Indonesia ia nampak jauh lebih tua. Jaketnya hitam, topi bulunya yang juga hitam membumbung tinggi dan bulat, mirip rambut kribo. Beberapa giginya berlapis emas, menyilaukan mata. Ahror mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi melintasi jalan-jalan Ferghana yang gelap dan sepi, menuju selatan, perbatasan Kyrgyzstan.

Menjelang tengah malam, Ahror menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah bergerbang tinggi, di sebuah gang sempit yang jalannya bergerunjal. Saya tak tahu ini di mana. Suara anjing menggongong memecah keheningan malam.

“Ini rumah Temur,” kata Ahror dalam bahasa Rusia, “Malam ini kamu tidur di sini. Besok kita ketemu lagi, davai?”

Temur, karena kesibukannya di kampus, memang tidak bisa menemani saya ke rumahnya. Tetapi dia sudah mengontak kakek, nenek, paman, bibi, dan semua yang ada di kampungnya, tentang kedatangan saya.

Saya tak pernah melihat ruang tamu seluas ini. Lebarnya saja sekitar 30 meter. Berlapis kayu yang hangat, dindingnya dilapisi karpet merah berukuran super besar, bersulam motif-motif tradisional dengan detail yang sangat teliti. Ada panggung dari kayu, bagian ini nampaknya adalah tempat tidur. Jauh di sudut kiri ruangan, ada lemari kuno dari kayu, tempat menyimpan alat-alat makan. Di sudut kanan ada samovar dan tungku, untuk memasak. Tidak banyak barang-barang berjejalan di sini. Tata letaknya yang longgar dan kosong memberi kesan lapang tiada tara.

Sepasang kakek dan nenek datang menyambut saya. Kelihatannya mereka sudah lama sekali menunggu saya. Saya meminta maaf atas keterlambatan kami dalam bahasa Rusia, yang kemudian diterjemahkan oleh Ahror ke dalam bahasa Uzbek. Kedua orang tua itu hanya tersenyum, dan menanyakan apakah saya lapar.

Keluarga besar kakek Halimjon dan nenek Salima Xon. (AGUSTINUS WIBOWO)

Keluarga besar kakek Halimjon dan nenek Salima Xon. (AGUSTINUS WIBOWO)

Nenek Salima Xon, neneknya Temur, langsung menyiapkan semangkuk sup kambing hangat, serta sebuah roti nan bundar besar. Saya tidak pernah merasakan roti nan selezat ini. Ternyata roti ini memang bukan roti biasa. Kalau roti yang kita beli di pasar biasanya adalah campuran tepung dan air, roti nan buatan tangan Nenek Salima dicampur susu. Harumnya, renyahnya, manisnya…, semua benar-benar istimewa.

Saya tak bisa banyak berkomunikasi dengan kakek dan nenek karena kendala bahasa. Sepupu Temur, Saidullo, juga tinggal di rumah itu. Saidullo berumur 25 tahun, sudah menikah, dan baru saja punya bayi. Saidullo juga cuma bisa bahasa Uzbek, sehingga saya harus berjuang keras dengan kosa kata Uzbek saya yang amat sangat terbatas, plus bahasa-bahasa isyarat dari gerakan tubuh dan wajah.

Kakek dan nenek sudah tidur lebih awal. Mereka tidak tidur di ruangan besar ini, tetapi punya kamar sendiri. Saidullo menyiapkan matras dan selimut tebal di sebuah sudut di atas panggung kayu kamar besar ini. Inilah pertama kalinya saya tidur sendirian di sebuah kamar nyaris kosong yang hampir sama luasnya dengan seluruh rumah saya. Seketika saya merasa diri saya begitu kecil.

Keesokan paginya, Saidullo mengajak saya keliling melihat-lihat rumah. Bukan hanya ruang tamunya yang lapang, rumah ini memang sangat luas. Beberapa bangunan terpencar-pencar mengelilingi pekarangan yang juga tidak kecil. Gedung-gedungnya pun apik, perpaduan antara kehidupan tradisional dengan cita rasa modern. Saya hanya melongo menyaksikan kemewahan istana mungil ini, yang tersembunyi di balik tembok biasa di sebuah gang terpencil di desa yang orang pun tak tahu ada di mana.

Ada sebuah kamar khusus tempat menyimpan buku-buku koleksi ayah Temur. Jumlah bukunya 15 ribuan, umumnya berbahasa Rusia, tertata rapi di rak yang berjajar menyelimuti dinding, dari lantai hingga ke langit-langit. Rusia adalah negeri yang selalu haus akan ilmu pengetahuan, dan buku adalah bagian tak terpisahkan dari peradaban negeri itu. Ayah Temur memang bukan orang biasa. Di sudut perpustakaan keluarga ini, yang masih lebih besar daripada perpustakaan sekolah saya dulu, ada foto kebesaran ketika ayah Temur berjalan bersama presiden Tajikistan dan Kyrgyzstan.

Dari keseharian Temur yang sangat sederhana, sebagai mahasiswa di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota Tashkent, saya sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa keluarganya demikian luar biasa, dengan rumah yang tak terkira luasnya, dan seorang ayah yang juga bukan orang sembarangan.

“Tanah di desa memang murah, jadi rumah di desa luas-luas. Sama sekali bukan hal yang luar biasa,” kata Temur merendah, sewaktu saya mengungkapkan kekaguman saya.

Kembali ke ruang tamu, Kakek Hoshimjon, kakeknya Temur, duduk di sudut ruangan dengan kekhusyukan yang maha tinggi. Kakinya terbujur dalam sandal. Eits, ini bukan sandal sembarang sandal, melainkan penghangat tradisional di musim dingin. Sekaleng batu bara atau kayu yang dibakar, diletakkan di bawah meja rendah setinggi lutut yang dibungkus ko’rpa, selimut tebal. Orang-orang bisa duduk di keempat sisi meja, masing-masing menyelonjorkan kaki ke bawah meja untuk berbagi kehangatan.

Nenek Salima sibuk memasak. Tetapi Saidullo mengajak saya keluar, melihat-lihat pemandangan desa. Saya keluar dari gerbang rumah.

“Kamu sudah keluar dari Kyrgyzstan, sekarang kamu masuk Uzbekistan,” kata Saidullo.

Saya kaget. Keluar dari rumah Temur berarti keluar dari Kyrgyzstan? Ya. Rumah Temur ini sudah masuk wilayah teritorial Kyrgyzstan. Perbatasan kedua negara ini terletak di tengah gang kecil ini, sepanjang jalan kecil yang lebarnya tidak sampai 5 meter. Rumah-rumah yang berbaris di seberang sana adalah Uzbekistan. Yang di sebelah sini adalah Kyrgyzstan. Signal HP dengan kartu Uzbekistan saya tidak bekerja sama sekali di rumah Temur. Tetapi dengan menyeberang gang saja, masuk wilayah Uzbekistan, HP saya tiba-tiba bekerja kembali.

Di tempat ini, orang ke luar negeri cukup dengan menyeberang gang saja.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 9 Juni 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

8 Comments on Garis Batas 68: Di Kiri Uzbekistan, di Kanan Kyrgyzstan

  1. Om, pernah mengalami masalah kejahatan sewaktu di sana..
    Makasih om pengalamanya,, 🙂

  2. Om, pernah mengalami masalah kejahatan sewaktu di sana..
    Makasih om pengalamanya,, 🙂

  3. selalu bikin ngiler pengen jalan2 ke negeri2 stan

  4. selalu bikin ngiler pengen jalan2 ke negeri2 stan

  5. di foto ini yg namanya Temur itu yg mana mas?

  6. di foto ini yg namanya Temur itu yg mana mas?

  7. Chai Siswandi Temur ngga ada di foto ini, karena saat itu dia masih di Tashkent dan saya sendirian ke rumah keluarganya di Gulshan

  8. Chai Siswandi Temur ngga ada di foto ini, karena saat itu dia masih di Tashkent dan saya sendirian ke rumah keluarganya di Gulshan

Leave a Reply to Chai Siswandi Cancel reply

Your email address will not be published.


*