Recommended

Garis Batas 67: Air Mata Pengantin

Kelin Salom (AGUSTINUS WIBOWO)

Kelin Salom (AGUSTINUS WIBOWO)

Seperti kata orang, tidak ada senyuman terhias di wajah seorang kelin, mempelai wanita Uzbek. Yig’lama qiz yig’lama, jangan menangis, gadisku, jangan menangis. Demikian lagu Yor-yor mengalun sentimentil, mengiringi sang kelin memasuki kehidupannya yang baru. Butir-butir air mata membasahi pipinya.

Kelin muncul dari balik pintu, diiringi sekelompok wanita tua yang semuanya berkerudung. Pakaiannya putih berpadu dengan rompi panjang hitam berbodir indah. Wajahnya ditutup selembar kain putih transparan yang penuh dengan sulaman. Kedua tangannya terbuka lebar, masing-masing memegang ujung kain yang menutupi kepalanya.

Kelin membungkukkan badan, perlahan-lahan. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Inilah gerakan salom-salom, memberi salam, menghormati wanita-wanita dari keluarga mempelai pria. Kelin berbelok ke kiri, tiga kali salom-salom, ke kanan, tiga kali salom-salom.

Kepala sang kelin terus tertunduk. Tak ada senyum kebahagiaan layaknya pengantin-pengantin di negara kita. Di sini, semuanya berjalan serius, diiringi lagu Yor-yor yang sangat berat menekan perasaan.

Selembar kain sutra atlas bermotif wajik-wajik merah, kuning, hijau, dan putih digelar di atas tanah. Kelin berdiri di ujung kain itu, menghadap ke arah rumah. Di ujung lainnya, satu per satu wanita dari keluarga kuyov – mempelai pria, memberikan hadiah-hadiah kepada kelin.

Kelin memberikan salom-salom tiga kali, yang kemudian langsung dipeluk oleh wanita dari keluarga itu. Ada yang memberikan karpet, perabotan rumah tangga, tetapi ada pula wanita yang membawa tepung.

Segunung tepung diletakkan di atas kain di hadapan kelin. Sang pengantin kemudian membungkuk, menengadahkan tangannya. Perempuan tua dari keluarga kuyov menumpahkan tepung ke dalam tangan sang kelin. Mengapa tepung? Tepung melambangkan kemakmuran, juga kepatuhan sang mempelai yang nantinya akan bergumul dengan tepung menyiapkan roti nan bagi keluarganya.

Kelin membungkukkan lagi badannya, tiga kali, memberi penghormatan, sembari terus mengembangkan cadar yang menutupi wajahnya. Demikian seterusnya, setiap kali wanita dari keluarga kuyov memberikan hadiah. Demikian adatnya, kelin, yang akan segera menjadi anggota keluarga, menghormati penghuni semua penghuni lama rumah itu.

Air mata terus mengalir di pipinya. Tetabuhan yor-yor tak berhenti. Kata-katanya yang sendu semakin menggugah emosi. Tak hanya kelin yang menangis, ibu mertuanya pun, yang sudah tua dan bungkuk, tak kuasa menahan air mata ketika menggendong sang menantu erat-erat.

Ketika semua hadiah sudah dihibahkan, dan entah sudah berapa ratus salom-salom yang dibungkukkan oleh sang pengantin, upacara ini diakhiri dengan memanjatkan doa. Kelin dan semua tamu wanita menengadahkan tangan, dan doa berbahasa Arab dibacakan, diakhiri dengan meraupkan tangan ke wajah sambil berseru bersama-sama, “Amin!!!”

Yor-yor mengalun lagi, kelin diarak menuju pintu rumah. Untuk terakhir kalinya, kelin memberikan salom-salom. Tiga kali ke depan, tiga kali ke samping kanan, tiga kali ke samping kiri. Kelin berjalan mundur, kaki kanan masuk ambang rumah terlebih dahulu. Pintu ditutup. Sang pengantin wanita sudah resmi menjadi bagian dari rumah ini.

Saya menyaksikan hadiah-hadiah yang dihujankan kepada kelin selama acara salom-salom. Tidak murah tentunya. Tetapi sebenarnya adalah keluarga mempelai wanitalah yang lebih banyak menghabiskan uang untuk pesta pernikahan.

Sep, atau mas kawin, membuat pusing orang tua yang punya banyak anak gadis. Menikahkan anak gadis, bukan hanya berarti memberikan putri kepada orang lain, tetapi juga harus mengeluarkan banyak uang untuk membayar mas kawin. Anggapannya, semakin besar mas kawinnya, semakin tinggi kedudukan si gadis nanti di keluarga suaminya, dan semakin berkurang perlakuan semena-mena di rumah barunya nanti.

Keluarga miskin menghabiskan sekitar 5 juta rupiah untuk menikahkan seorang anak gadis. Yang kaya sampai ratusan juta. Punya anak gadis memang tak mudah. Tak heran orang Uzbek bilang, “Pintu surga terbuka lebar bagi orang tua yang sedikitnya punya tiga anak gadis sekaligus membesarkan dan menikahkan mereka semua.”

Air mata kelin, adalah air mata seorang wanita yang terpisah dari rumahnya, memasuki rumah baru yang asing sama sekali baginya. Kehidupan yang baru mulai dijalani hari ini, dengan seorang pria yang tidak begitu ia kenal. Di desa-desa tradisional Uzbekistan, kawin pilihan orang tua ala Siti Nurbaya masih cukup umum.

Tidak seperti kelin yang menangis sedu sedan, sang pengantin pria justru tertawa senang menemani tamu-tamu pria minum teh hijau yang mengalir tanpa henti dari poci. Sedari tadi ia beredar bersama tamu-tamu, menemani bersantap.

“Siapa nama kelin-nya?” saya berbisik di telinga pengantin.

“Ssst…. itu rahasia. Nama kelin tidak boleh diumumkan dan didengar tamu pria, sebelum acara nanti malam.”

Kedua mempelai memang tidak bersanding. Kuyov hanya bersama tamu pria, dan kelin dengan para wanita. Piring-piring berisi nasi plov hangat dengan irisan daging kambing diedarkan ke hadapan para tamu. Plov, yang menjadi makanan nasional Uzbekistan ini dan dimasak dalam wajan-wajan raksasa berdiameter hampir satu meter, memang tidak pernah absen dari acara pernikahan mana pun.

Tuy, pernikahan tradisional Uzbekistan ini, bukan hanya membuat saya mencicipi keramahtamahan Lembah Ferghana, tetapi juga membuka mata tentang kuatnya tradisi Islam yang indah mewarnai pernik-pernik kultur daerah ini. Senyum kuyov yang memamerkan deretan gigi emasnya, air mata kelin yang mengalir dari balik cadarnya, denting-denting lagu Yor-yor yang mengiris perasaan, nasi plov yang diaduk dalam wajan raksasa, dan bocah-bocah kecil yang berlarian riang, adalah kenangan manis dari Margilan, kota tua yang telah melintasi dua ribu tahun perjalanan sejarah.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 6 Juni 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

8 Comments on Garis Batas 67: Air Mata Pengantin

  1. Yig’lama qiz yig’lama,….

  2. Yig’lama qiz yig’lama,….

Leave a comment

Your email address will not be published.


*