Recommended

Garis Batas 69: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (1)

Presiden kita, kebanggaan kita. (AGUSTINUS WIBOWO)

Presiden kita, kebanggaan kita. (AGUSTINUS WIBOWO))

Desa Gulshan di selatan kota Ferghana ini memang tidak tampak istimewa. Deretan rumah berbaris di sisi sebuah gang sempit yang tidak beraspal. Dari depan rumah kita tidak bisa melihat kehidupan si empunya rumah. Kultur orang Uzbek membungkus rumahnya rapat-rapat di balik tembok. Inilah satu hal yang membuat tempat ini berbeda. Orang-orang yang rumahnya di berada di sisi kiri gang memegang paspor Uzbekistan, sementara di sebelah kanan adalah warga negara Republik Kirghizia.

Saya masih terpesona dengan lapangnya ruang tamu di rumah Temur Mirzaev, seorang kawan Uzbek yang belajar Bahasa Indonesia di Tashkent. Ruangan ini begitu lapang, karpet-karpet merah menyala menghiasi dinding. Tiga buah bohlam lampu menggantung tersebar begitu saja di sudut-sudut ruangan. Tiba-tiba satu bohlam mati. Yang dua tetap nyala.

            “Listrik Uzbekistan putus,” kata Saidullo.

Listrik Uzbekistan? Maksudnya?

“Lampu tadi disambung dengan listrik dari Uzbekistan,” jelas Saidullo, “sedangkan yang dua ini pakai listriknya Kyrgyzstan. Musim dingin begini, biasa, listriknya Uzbekistan sering putus.”

Ketika rumah-rumah lain kegelapan gara-gara pemadaman listrik mendadak, rumah ini tak akan pernah gelap gulita karena ada cadangan listrik dari negara tetangga.

Rumah Temur berada di sisi jalan yang menjadi wilayah Kyrgyzstan. Kakek Hoshim, Nenek Salima, Saidullo, istri Saidullo dan bayinya, semuanya adalah warga negara Kyrgyzstan. Tetapi, Temur punya paspor Uzbekistan dan ayahnya adalah warga negara Rusia. Penghuni rumah ini adalah tiga generasi dengan tiga kewarganegaraan. 

Semua ini karena garis perbatasan yang melintang begitu saja di perkampungan. Gulshan adalah kampung yang dihuni oleh hampir seratus persen etnis Uzbek. Tetapi sebagian penduduk kampung ini ikut Kyrgyzstan. Waktu zaman Soviet dulu, ketika semua republik berpayung bersama di bawah panji-panji komunisme, tak ada yang peduli. Tetapi ketika Uni Soviet bubar dan republik-republik Asia Tengah ini bermunculan di atas peta dunia sebagai negara-negara baru dan berdaulat, orang-orang yang hidup di sini mulai tercekat.

Yang dulunya tetangga sekarang sudah jadi orang asing. Satu keluarga pun sekarang terpecah menjadi warga negara yang berbeda. Ada perbatasan internasional yang memisahkan sebuah kampung. Ada yang rumahnya masuk wilayah Uzbekistan tapi pekarangannya masuk Kyrgyzstan. Jangan heran kalau ada satu bangunan rumah berdiri di atas teritorial dua negara. Ada yang sarapannya di Kyrgyzstan, tidurnya di Uzbekistan.

Carut-marutnya perbatasan di sini menimbulkan cerita aneh-aneh. Ada orang Uzbek yang harus memegang paspor Tajikistan terjepit di tengah-tengah Uzbekistan. Ada kampung Kirghiz, semuanya berwarga negara Kyrgyzstan, terletak di tengah-tengah distrik Ferghana-nya Uzbekistan. Ada orang Uzbek, yang karena rumahnya berada di pinggir jalan yang salah, sekarang jadi warga negara Kyrgyzstan. Contohnya kakek dan nenek Temur.

Masalah di sini bukan hanya paspor, tetapi juga ekonomi, pendidikan, dan bahkan jati diri bangsa. Orang-orang Uzbek yang tinggal di wilayah Kyrgyzstan, sebagai pemegang paspor Kyrgyzstan, kini harus menyamakan jati dirinya dengan orang-orang  Kirghiz di Bishkek sana. Anak-anak harus sekolah di sekolah Kyrgyzstan, belajar bahasa Kirghiz, sejarah Kirghiz, ideologi kebangsaan dan peradaban Kirghiz. Sedangkan yang rumahnya di seberang gang sana, bersekolah di sekolah pemerintah Uzbekistan, belajar huruf Latin dan petunjuk-petunjuk Islom Karimov, serta mengibarkan kebanggaan peradaban bersama Bukhara dan Samarkand. Apakah kohesi kesamaan etnis lebih kuat dan penting artinya daripada perbedaan kewarganegaraan? Apakah hubungan ayah dan anak akan terpecah manakala masing-masing memegang paspor yang berbeda? Bagi saya ini adalah sebuah misteri.

Persahabatan, perdamaian, dan keindahan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Persahabatan, perdamaian, dan keindahan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya sempat berkunjung ke sebuah sekolah dasar di Gulshan. Ahror, seorang famili Temur yang mengantar saya sampai ke kampung ini, juga bekerja sebagai guru di sekolah. Memasuki koridor sekolah, sebuah altar terpampang di depan pintu utama. Bukan dewa, bukan tempat sembahyang, di sana terpampang foto besar Presiden Islom Karimov yang sedang tersenyum di ruang bacanya. Di bawahnya tertulis “President Kita, Kebanggaan Kita”.

Juga berjajar buku-buku indah karangan sang presiden, mulai dari “Tarixi Xotirasiz Kelajak Yo’k (Tiada Masa Depan Tanpa Sejarah) sampai “Allah Dalam Hati Kami, Dalam Jiwa Kami“. Di sekeliling foto Sang Presiden, berjajar poster-poster yang menggambarkan kesuksesan pembangunan negeri ini. Yang menjuduli altar ini adalah tulisan besar di atas foto Sang Presiden yang menjadi slogan paling penting yang harus dihapal semua orang –  “O’ZBEKISTON – KELAJAGI BUYUK DAVLAT“, (Uzbekistan, Negeri Besar di Masa Depan).

Di sepanjang koridor tergantung ideologi nasional. Do’stlik – persahabatan, Ahilik – perdamaian, dan go’zallik – keindahan. Ahror membawa saya ke ruang olahraga. Anak-anak sedang senam mengikuti arahan guru muda yang cantik jelita, yang berdiri di tengah-tengah lingkaran.

“Satu, dua, tiga, empat…,” ibu guru memberi contoh gerakan, dan anak-anak SD dengan patuh mengikutinya. Ruang olah raga ini berlantai kayu, dan yang paling menarik perhatian saya, ruangan ini juga penuh dengan slogan-slogan. Semua murid harus ingat bahwa “Olahraga adalah Duta Perdamaian“, “Sport – Menjamin Kesehatan“, dan Di Dalam Tubuh yang Sehat ada Akal yang Sehat“.

Ruang kelas pun tak kalah meriahnya. Semua dinding penuh dengan aneka tempelan sampai tidak ada tempat kosong lagi. Selain papan tulis, foto-foto pahlawan, poster-poster tentang sejarah dan pemerintahan, ruangan ini juga bermandi slogan. Di depan kelas, yang kalau di Indonesia ditempati foto Presiden dan Wakilnya, terpasang gambar kakek tua berjenggot. Di bawahnya, sudah bisa diduga, penuh dengan pesan-pesan sponsor. “Alim Orang yang Bertanya, Zolim Orang yang Malu Bertanya.” Ibu guru berjaket hitam tebal menulis rumus-rumus di papan tulis, yang juga dikeliilingi slogan-slogan, “Ada Adab, Ada Alam” dan “Adab Lebih Kuat Daripada Bom Atom, Tetapi Jangan Hanya Dipakai untuk Membuat Api Unggun.” 

Uzbekistan adalah negara muda yang baru merdeka dari cengkraman Uni Soviet, tetapi nuansa masa lalu masih nampak melekat di sini. Kita tidak bicara tentang hurufnya, karena Uzbekistan berusaha sekuat tenaga untuk menghapus huruf Rusia dari peradaban  negaranya, dan huruf Latin bahasa Uzbek muncul di mana-mana. Kita tidak bicara tentang bahasanya, karena bahasa Rusia nyaris tidak terdengar sama sekali di sini, pupus oleh program penggalakan bahasa nasional. Kita juga tidak bicara tentang warna merah komunisme karena pemerintah Uzbekistan lebih suka menghias diri dengan warna hijau muda dan biru langit, seperti warna pada benderanya.

Tetapi slogan-slogan itu, ide-ide abstrak tentang masa depan, pesan-pesan dari presiden dan buku-buku tulisan presiden yang harus dipelajari, direnungkan, dan diamalkan dalam-dalam, mengingatkan semua murid bahwa ada yang menjadi panutan. Buku-buku panduan itu, totalnya sampai 16 buah, semuanya menjadi bahan ujian wajib bagi pegawai negeri, militer, agen rahasia, sampai mahasiswa pascasarjana. Kali ini panduan mental kehidupan bukan berasal dari orang-orang putih Moskwa, tetapi dari sang pemimpin besar di Tashkent sana.

Ajaib, refleksi yang sama saya temukan di Halmiyon, desa tetangga Gulshan di seberang perbatasan sana, di mana merahnya semangat negeri Kirghiz menjadi panduan deru nafas orang-orang Uzbek.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 10 Juni 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*