Recommended

Garis Batas 71: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (3)

Pasar 'internasional' (AGUSTINUS WIBOWO)

Pasar ‘internasional’ (AGUSTINUS WIBOWO)

Garis perbatasan internasional yang melintang ke sana ke mari di Lembah Ferghana menciptakan kantung-kantung suku minoritas di mana-mana. Salah satu contohnya adalah Halmiyon. Desa orang Uzbek yang hanya sepuluh langkah kaki dari Uzbekistan kini merupakan bagian wilayah Distrik Osh, Kyrgyzstan. Anak-anak sekolah di Halmiyon berusaha keras belajar bahasa Kirghiz, menghafal hikayat kepahlawanan Manas, mengenal pernik-pernik adat bangsa nomaden, dan yang paling penting dari semua itu, menyamakan detak jantung dan deru nafas dengan saudara setanah air nun jauh di Bishkek sana. 

Republik-republik baru bermunculan di atas peta Asia Tengah menyusul buyarnya Uni Soviet. Mulai dari Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgyzstan, hingga Kazakhstan. Semuanya adalah negara-negara yang didirikan atas dasar ras dan etnik. Turkmenistan punyanya orang Turkmen, Uzbekistan untuk Uzbek, Tajikistan negeri bangsa Tajik, demikian pula Kyrgyzstan dan Kazakhstan bagi orang Kirghiz dan Kazakh. Kini kelimanya berdiri tegak sebagai negara-negara merdeka dan berdaulat penuh. Siapa lagi yang dulu membuat kelima negara etnik ini kalau bukan sang induk semang Soviet. Bahkan definisi suku-suku, mana yang disebut orang Uzbek, mana yang namanya Tajik, mana si Kirghiz dan si Kazakh, juga buatan Soviet. 

Ketika Soviet bubar, negara-negara buatan ini berdiri di atas setumpuk masalah. Tidak perlu bicara soal ekonomi yang carut-marut ketika dunia dipenuhi ketidakpastian, bahkan hal-hal yang paling mendasar pun masih jadi problem yang harus dipecahkan. Identitas bangsa, syarat mutlak sebuah negara, masih harus diciptakan.

Mulailah para Stan bersaudara ini mencari-cari identitas mereka. Ramai-ramai mereka membuat bendera, lagu kebangsaan, lambang negara, mata uang, dan sejarah nasional. Ada yang langsung menghapus huruf-huruf Rusia dan menciptakan huruf Latin. Nama-nama jalan yang berbau komunisme semua diganti. Nilai-nilai kebudayaan nasional ditetapkan. Patung-patung Lenin dirobohkan, diganti patung-patung pahlawan nasional.

Berhubung pahlawan-pahlawan besar Asia Tengah muncul sebelum lahirnya kelima stan ini, muncul masalah lain. Negara mana yang berhak mengklaim si A ini pahlawan kita dan si B ini punya kamu? Gontok-gontokan pahlawan dan rebutan gono-gini peninggalan sejarah dan peradaban pun tak bisa dihindarkan. Garis-garis batas negara membawa pertikaian panjang akan sejarah, konsep, ideologi, identitas, peradaban yang tak pernah ada sebelumnya.

Lembah Ferghana, tempat di mana saya berada saat ini, adalah tempat yang paling ruwet permasalahannya. Lembah yang menjadi jantung peradaban Uzbek ini diiris-iris oleh Uni Soviet menjadi beberapa negara: Uzbekistan, Kyrgyzstan dan Tajikistan. Garis perbatasan saling menyilang dengan ruwetnya. Contohnya Gulshan yang punya garis batas mengiris jalan gang dan Halmiyon di mana orang-orang Uzbek sedang belajar keras bahasa dan sejarah Kirghiz.

Identitas bertumpuk dengan identitas. Dari pengamatan saya, identitas kesukuan lebih kuat dari kewarganegaraan. Seorang Kirghiz di Tajikistan lebih mendahulukan ke-Kirghiz-annya daripada ke-Tajik-annya, dan seorang Uzbek di Kyrgyzstan masih menganggap dirinya Uzbek daripada Kirghiz.

Setidaknya orang-orang Uzbek di Halmiyon tahu apa itu Kyrgyzstan, karena giatnya Bishkek menanamkan nilai-nilai kebangsaan di sini. Bapak Juma bercerita tentang sebuah wilayah Tajikistan, juga di Lembah Ferghana, tak jauh dari sini. Wilayah Tajikistan yang ini, seperti halnya Halmiyon, juga sebuah kampung yang hanya dihuni oleh orang-orang Uzbek. Tetapi daerah ini sangat terpencil dan Tajikistan tidak pernah peduli dengan tempat tak penting ini. Suatu hari, rombongan komrad datang dari Dushanbe, ibu kota Tajikistan, datang meninjau sekolah-sekolah di sini.

“Anak-anak, siapa nama presiden kita?” tanya si pembesar Tajikistan.

            “Islom Karimov,” jawab murid-murid serempak. Islom Karimov adalah Presiden Uzbekistan. Tentu saja si pejabat Tajikistan langsung merah padam mukanya.

            “Bukan. Bukan. Presiden kita adalah Imomali Rahmonov. Ayo kita coba lagi. Anak-anak, siapa nama presiden kita?”

            “Islom Karimov!!!” Anak-anak Uzbek itu masih keukeuh dengan pendiriannya.

            Kalau tadi si pejabat Tajik merah padam wajahnya, sekarang sudah tidak tahu lagi apa warnanya.

Garis-garis batas negara, yang melintang tidak karuan di Lembah Ferghana, adalah penentu takdir manusia-manusia yang hidup di sini. Ada garis negara mengiris gang, mengiris pekarangan rumah, dan sawah ladang. Tahu-tahu saja seseorang menjadi warga negara A sedangkan tetangganya jadi warga negara B.

Apakah ini Kirghiz? Atau Uzbek? Di tapal batas, semua haruslah sangat jelas. Atau justru tidak jelas sama sekali? (AGUSTINUS WIBOWO)

Apakah ini Kirghiz? Atau Uzbek? Di tapal batas, semua haruslah sangat jelas. Atau justru tidak jelas sama sekali? (AGUSTINUS WIBOWO)

Bukan hanya konsep-konsep besar seperti pendidikan, peradaban, sejarah, dan ideologi, masalah-masalah real seperti perekonomian pun cukup membuat pusing. Perdagangan antar kampung sekarang sudah naik level menjadi perdagangan antar negara. Ada pajak internasional, bea cukai, karantina, registrasi, deklarasi, izin impor, dan macam-macam tetek bengek lainnya. Orang kampung mana yang gembira dengan ruwetnya birokrasi internasional macam ini? Toh belanjanya juga cuma dari kampung sebelah.

Saya berkunjung ke ‘pasar internasional’ di Halmiyon (wilayah Kyrgyzstan), di mana sekarang warga Gulshan (warga negara Uzbekistan) bebas berbelanja. Hari ini bukan hari pasar, sepi sekali. Kargo bekas truk disulap menjadi toko-toko yang berbaris rapi dalam jalur dan lajur. Jangan bayangkan ini sebagai pasar internasional yang megah. Ini cuma pasar kampung biasa. Cuma karena yang berjual beli di sini adalah warga dua negara berbeda, makanya disebut pasar internasional. Barang-barang yang dijual pun kebanyakan made in China.

Dalam perdagangan internasional, mata uang tentu menjadi masalah. Beberapa toko memasang papan “Kami Menerima Dolar dan Som.” Juga ada penukar mata uang yang berkeliling mencari konsumen, membawa kresek hitam besar dan berteriak menawarkan uang seperti menawarkan pisang goreng. Mata uang Sum Uzbekistan memang nilainya kecil sekali. Pecahan terbesar, 1.000 Sum, nilainya bahkan tidak sampai 1 Dolar, atau cuma 40 Som Kyrgyzstan. Saya melongok ‘dagangan’ si penukar uang. Isinya recehan uang kertas 100 dan 200 Sum, diikat bergepok-gepok, dibungkus kain serbet. Benar-benar seperti pisang goreng.

Di sini, etnis Uzbek di mana-mana. Mencari orang Kirghiz yang benar-benar Kirghiz susah sekali, baik di pasar ini maupun di pusat Halmiyon. Saya sempat bertanya, mengapa Halmiyon harus jadi wilayah Kyrgyzstan kalau semua orangnya orang Uzbek. Tidak ada yang menjawab pasti.

Setelah beberapa malam tinggal di sini, saya semakin berani melintas ke Halmiyon dengan muka tanpa dosa. Tak lagi lewat jalan-jalan tikus di gang-gang, tetapi dengan gagah berani melintasi portal Uzbekistan dan Kyrgyzstan yang melintang di jalan raya utama antara Gulshan dan Halmiyon. Dicegat oleh tentara perbatasan pun tidak. Mungkin karena wajah saya sudah seperti orang Kirghiz.

Benar-benar negeri antah berantah, saya membatin.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 12 Juni 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

8 Comments on Garis Batas 71: Cermin Gulshan, Cermin Halmiyon (3)

  1. Paling geli adlh turkmenistan dgn kitab sucinya dan kehebatan propaganda presidennya

  2. Paling geli adlh turkmenistan dgn kitab sucinya dan kehebatan propaganda presidennya

  3. di tangan gue sekarang bukunya lagi di baca 😀

  4. di tangan gue sekarang bukunya lagi di baca 😀

  5. garisbatas identitas bangsa negara suku ras. ruwet

  6. garisbatas identitas bangsa negara suku ras. ruwet

  7. intinya, never forget our roots, no matter what is our nationality 🙂

  8. intinya, never forget our roots, no matter what is our nationality 🙂

Leave a Reply to Peping Rahmawati Sugianto Cancel reply

Your email address will not be published.


*