Recommended

Garis Batas 73: Menyelundup

 Qadamjoy dan semangat Kirghizia-nya (AGUSTINUS WIBOWO)

Qadamjoy dan semangat Kirghizia-nya (AGUSTINUS WIBOWO)

Dunia antah berantah ini bertaburan kampung-kampung terpencil yang dikelilingi negara-negara asing. Shakhimardan, tempat yang paling ingin saya kunjungi di Asia Tengah, adalah sebuah lembah tersembunyi milik Uzbekistan yang dikelilingi gunung-gunung tinggi Pamir Alay milik Kyrgyzstan. Tetapi bagaimana caranya ke sana? Saya harus melewati pintu-pintu gerbang perbatasan Uzbekistan dan Kyrgyzstan, tanpa visa apa pun.

Bakhtiyor aka (aka dalam bahasa Uzbek artinya kakak laki-laki), adalah seorang supir taksi dari Vuadil yang kebetulan juga tetangga Sardor. Melihat Sardor yang kelimpungan mencari kendaraan untuk menyelundupkan saya ke Shakhimardan, Bakhtiyor pun menawarkan bantuan.

“40 ribu Sum saja,” katanya. Sekitar 35 dolar. Terlalu mahal untuk ukuran kantong kami berdua yang masih standar pelajar. Shakhimardan hanya 25 kilometer jauhnya dari Vuadil, tetapi karena pos-pos perbatasan Uzbekistan dan Kyrgyzstan itulah yang  bikin mahal. Berkat hubungan tetangga, Sardor berhasil menawar sampai 20 ribu Sum untuk misi rahasia bin berbahaya ini.

“Kamu harus berjanji,” kata Bakhtiyor aka, “nanti lewat pos perbatasan, sembunyikan kameramu. Jangan bicara apa-apa. Pura-pura bisu. Davai?”

Davai,” saya mengangguk.

Bakhtiyor adalah warga negara Uzbekistan, tetapi mobilnya berplat nomer Kirghiz. Dengan mobil ini, Bakhtiyor bisa melaju melintasi semua pos perbatasan Kyrgyzstan tanpa dihentikan sama sekali. Tetapi perbatasan Uzbekistan terkenal dengan hobinya untuk memeriksa siapa saja, tak peduli orang Uzbek atau Kirghiz, apalagi orang asing.

Tak sampai satu kilometer dari terminal Vuadil, kami sampai di pintu gerbang Uzbekistan. Ini adalah rintangan pertama bagi kami. Bakhtiyor aka yang nampak sudah sangat berpengalaman menyuruh saya dan Sardor duduk manis di dalam mobil.

Dari balik kaca jendela mobil yang gelap, saya mengamati perbatasan ini. Sebuah jalan membentang dari kota Vuadil ke arah Qadamjoy di Kyrgyzstan sana. Dua puluh meter dari tempat mobil Bakhtiyor diparkir, pos perbatasan Uzbek berdiri dengan gagahnya, setelah pintu pagar yang menandai perbatasan. Bendera Uzbekistan berkibar-kibar.

Sejajar dengan jalan ini, hanya sekitar lima meter meter di seberang, ada seutas jalan lain. Jalan ini menghubungkan kota Osh dengan Qadamjoy, seluruhnya berada dalam wilayah Kyrgyzstan. Kyrgyzstan hanya lima meter saja jauhnya dari tempat kami berada sekarang. Lima meter yang hanya dipisahkan pagar pembatas jalan, yang orang bisa menyeberang dengan begitu mudahnya.

Dan memang jalan paralel inilah yang akan membawa saya menuju tanah impian. Dengan tergesa dan berbisik, Bakhtiyor menggiring kami berdua melintasi pembatas jalan dan begitu saja masuk ke jalan punya Kyrgyzstan. Di sana sudah ada mobil hitam dengan kaca tak tembus pandang menunggu. Yang punya pun berkaca mata hitam, gagah. Orang Kirghiz tulen.

Tanpa banyak berkata-kata lagi, kami berdua dilempar masuk di kursi belakang, dan mobil terus melaju ke arah Kyrgyzstan. Penyelundupan ini pun dimulai.

Mobil ini melaju tanpa henti. Saya melihat di jalan seberang sana, pos perbatasan Uzbekistan, komplet dengan ruang karantina yang dicat biru-putih-hijau, warna bendera Uzbekistan. Mulus, satu pos perbatasan terlewati, karena kami sudah berada di Kyrgyzstan.

Pos perbatasan Kyrgyzstan pun terlihat begitu saja di seberang jalan sana. Warna merah menyala, seperti warna bendera negara ini. Ukurannya kecil dan sederhana, kalau dibandingkan dengan perbatasan Uzbekistan. Tingkat pengamanan perbatasan memang berbanding lurus dengan tingkat ekonomi kedua negara.

Kedua jalan sejajar ini bertemu di sebuah titik tak terlalu jauh dari pos perbatasan Kyrgyzstan. Sekarang saya sudah benar-benar berada dalam wilayah Kyrgyzstan, menyelundup tanpa visa. Mobil supir Kirghiz berhenti di persimpangan ini, menunggu Bakhtiyor aka yang datang sepuluh menit kemudian.

Saya melihat Bakhtiyor menyelipkan uang 8.000 Sum, sekitar 6 dolar, kepada supir Kirghiz itu, yang sebenarnya minta dibayar jauh lebih banyak. Supir Kirghiz hanya menyetir sekitar 200 meter dan sudah mendapat imbalan begitu besar. Beginilah bisnis selundup-menyelundupkan mendatangkan pemasukan bagi mereka-mereka yang cerdas.

Dari sinilah petualangan penyelundupan Kyrgyzstan kami dimulai.

Negeri Kirghiz selalu identik dengan gunung-gunung tinggi bertudung salju putih. Sejauh mata memandang, barisan gunung berhias cantik. Kontras dengan Lembah Ferghana-nya Uzbekistan yang datar.

Kota kecil Qadamjoy sudah mulai kelihatan. Kota ini nampak tidak jauh berbeda dengan Vuadil di Uzbekistan sana. Tetapi wajah-wajah Mongoloid khas orang Kirghiz bermunculan di mana-mana. Tak lupa dengan ak kalpak, topi tradisional Kirghiz yang menjulang tinggi.

Slogan-slogan tentang kejayaan Kyrgyzstan bertebaran di mana-mana. Semuanya ditulis dengan huruf Rusia. Walaupun sesaat sesudah merdeka negara ini pernah bertekad untuk menghapuskan huruf Rusia dan beralih ke huruf Latin, sampai sekarang yang nampak sudah diganti ke huruf Latin cuma plat nomer mobil saja.

Masa lalu bersama Soviet, yang berusaha mati-matian dihapus oleh Uzbekistan, masih terbayang bersama Kyrgyzstan hari ini. Pemakaman pahlawan Qadamjoy bertulis huruf Rusia besar-besar, “Tak ada yang melupakan, tak ada yang terlupakan.” Saya memang sedang dalam misi penyelundupan rahasia yang tak akan terlupakan.

Ada bendera Kyrgyzstan berkibaran, papan-papan pengumuman berisi slogan dan iklan, serta iklan raksasa bergambar keluarga Kirghiz yang sakinah. Semuanya seakan ditabur untuk mengingatkan bahwa ini adalah wilayah kekuasaan Kyrgyzstan.

Walaupun sudah masuk wilayah Kyrgyzstan, mayoritas penduduk yang nampak masih orang-orang etnis Uzbek. Di Asia Tengah, Uzbek adalah suku yang mendominasi. Semua negara tetangga pasti punya proporsi etnis Uzbek yang signifikan. Jangan dibalik logikanya. Bahkan di Vuadil yang berdekatan dengan Kyrgyzstan pun, orang Kirghiz nyaris tak terlihat sama sekali.

Pasar Qadamjoy nampak sangat ramai, dengan barang-barang yang kata Bakhtiyor kebanyakan didatangkan dari Uzbekistan. Saya jadi sadar garis-garis batas internasional membuat segala sesuatunya serba susah. Bahkan untuk belanja barang kebutuhan sehari-hari, untuk pergi ke desa tetangga sekarang sama artinya dengan ke luar negeri. Air, irigasi, listrik, layanan telepon, sistem pendidikan, semua dipecah-pecah garis-garis maya. Anak-anak dipisah-pisahkan dari sekolahnya hanya karena kewarganegaraan yang berbeda.

Setidaknya hubungan Uzbekistan dengan Kyrgyzstan tidak seburuk hubungan dengan Tajikistan. Setidaknya orang-orang di tapal batas negara ini masih bisa melintas dengan leluasa, paling banter menyogok-nyogok penjaga perbatasan.

Jalan terus mendaki, berkelok-kelok. Kota Qadamjoy sudah menghilang dari pandangan. Di kanan kiri jalan adalah barisan pohon-pohon tinggi yang indah. Saya sudah tak sabar lagi. Sebentar lagi kami akan tiba di tanah impian, Shakhimardan.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 16 Juni 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*