Recommended

Garis Batas 78: Pulang

Batas negara tak lagi berarti dari angkasa raya. (AGUSTINUS WIBOWO)

Batas negara tak lagi berarti dari angkasa raya. (AGUSTINUS WIBOWO)

Baru saja saya bernafas lega karena visa Iran sudah di genggaman, dan visa Turkmenistan sedang diproses, tiba-tiba sebuah SMS singkat dari Indonesia membuyarkan rencana perjalanan saya.

“Papa mau kamu pulang Tahun Baru Imlek ini. Kami ada yang mau dibicarakan,” demikian bunyinya. Singkat, tetapi cukup mendebarkan jantung.

Ayah yang selama ini tidak pernah meminta apa-apa dari saya, kali ini memohon saya dengan sangat untuk – pulang. Ya, pulang ke kampung halaman, mencari pekerjaan dan menetap di Indonesia, mengakhiri perjalanan di belantara Asia Tengah. Ayah baru-baru ini kena serangan jantung, dan saya tidak tega untuk tidak memenuhi permintaannya.

“Kamu pulang saja, memang mau bagaimana lagi? Sebelum kamu menyesal seumur hidup, Gus,” demikian mbak Rosalina Tobing, kawan dekat saya di KBRI Tashkent, menganjurkan saya untuk segera membeli tiket ke Kuala Lumpur. Kebetulan sedang ada promosi dari Uzbekistan Airways, harga tiket ke Malaysia hanya 299 dolar.

Singkat cerita, saya sudah di Bandara Internasional Tashkent. Petugas imigrasi Uzbekistan memang sudah tersohor korupnya, semakin ganas dengan rumitnya birokrasi negara ini. Berbekal ‘surat sakti’ dari KBRI pun masih belum menenangkan hati saya. Saya terus memanjatkan doa, melewati pos demi pos.

Pos terakhir yang paling saya takuti, pos imigrasi, ternyata tidak seseram dugaan saya. Petugasnya kebetulan orang Tajik, dan sangat senang sekali ada orang asing yang bisa bahasanya, sampai lupa memeriksa surat registrasi saya – yang kebetulan memang saya tidak punya. Saya menghela nafas lega.

Bandara ini memang aneh, seaneh negaranya. Di ruang tunggu, yang notabene masih di wilayah Uzbekistan, uang Sum sudah tidak berlaku lagi. Saya mencoba membeli air putih dengan uang Sum yang tersisa, tetapi ditolak mentah-mentah oleh penjual, “Only dollar, please!”

Apakah negara ini memang tidak punya kepercayaan diri bahkan terhadap mata uangnya sendiri? Uang Sum sudah tidak berlaku, bahkan ketika saya masih belum meninggalkan bumi Uzbekistan. Saya teringat orang-orang Uzbek yang lebih senang menyimpan duit dalam dolar daripada Sum. Juga banyak orang yang menyimpan uang di bawah bantal atau lemari, karena sama sekali tidak percaya pada bank. Bahkan pulsa HP pun dihitung dengan dolar. Tak heran ketika Tenge Kazakhstan terus menguat, Sum Uzbekistan malah terus anjlok.

Pesawat O’zbek Havayolari bernomor HY553 tinggal landas tepat pukul 11:30 menuju Kuala Lumpur. Pesawat penuh sesak oleh penumpang, yang semuanya duduk sembarangan berebutan kursi, walaupun masing-masing sudah punya boarding pass.

Perlahan-lahan pesawat meninggalkan bumi. Sudah lama sekali saya tidak naik pesawat. Seperti anak kecil yang baru pertama kali terbang, saya duduk di pinggir jendela, menyaksikan perubahan spektrum bumi. Kota Tashkent tampak sebagai barisan rumah-rumah berarturan sejauh mata memandang. Menara Tashkent yang tinggi menjulang seperti raksasa yang berdiri sendirian di padang luas.

Pemandangan perkotaan dalam sekejam berubah menjadi puncak-puncak gunung salju. Gagah dan penuh keagungan. Mungkin pesawat ini terbang di atas Tajikistan atau Afghanistan. Kenangan saya melayang pada beratnya petualangan di Pegunungan Pamir, mulai dari perjuangan mendapatkan visa Tajik di Kabul, hingga keluarga-keluarga miskin namun murah hati di sepanjang jalan di provinsi GBAO. Mungkin salah satu dari keluarga tempat dulu saya menginap melihat pesawat ini terbang melintas di atas kebun kentang mereka.

Apakah di bawah itu Tajikistan? Atau Kyrgyzstan? Atau mungkin Afghanistan? Atau malah mungkin kita masih di atas wilayah Uzbekistan? Di angksa, garis-garis batas negara di muka bumi sana menjadi tanpa arti.

Saya teringat betapa beratnya melintas perbatasan, frustrasi dengan visa yang hampir kadaluarsa, atau menunggu berhari-hari di jalan gunung karena tidak ada kendaraan yang lewat, atau supir yang meminta dibayar pakai bensin, juga pelecehan seksual yang saya alami waktu menumpang truk. Di sini, di tempat saya duduk sekarang ini, ribuan kaki di atas bumi, semua rintangan dan halangan di darat terlewati dalam hitungan detik. Dengan kecepatan 989 kilometer per jam, bulan-bulan penuh perjuangan di Asia Tengah di atas daratan yang berkerut-kerut sama dengan perjalanan udara beberapa menit saja. Tetapi inilah keajaiban sebuah perjalanan. Ratusan hari perjalanan darat memang bisa digantikan dengan beberapa menit penerbangan, tetapi kebijaksanaan yang diajarkan oleh alam tak terbandingkan.

Tetapi perjalanan udara bukannya tidak memberikan saya pelajaran apa-apa. Pertama kalinya saya terbang dengan pesawat yang penuh orang Rusianya, yang sudah tidak perlu diragukan lagi kebiasaan menenggak alkoholnya. Pramugari Uzbek, yang perutnya besar-besar, harus lincah ke sini ke sana menghidangkan vodka bagi penumpang yang tak pernah bisa berhenti minum. Tak sampai dua jam, banyak penumpang yang mabuk berat. Pesawat ini seketika berubah menjadi rumah sakit jiwa. Ada yang berteriak-teriak minta dilayani, menghujat pramugari yang lamban. Pramugari pun tak mau kalah, menjerit memaki-maki penumpang mabuk.

Pramugari Uzbek Airways (AGUSTINUS WIBOWO)

Pramugari Uzbek Airways (AGUSTINUS WIBOWO)

Ada gadis mabuk yang tiba-tiba berdiri di hadapan penumpang, berteriak-teriak marah tak karuan. Gadis cantik berambut pirang ini tiba-tiba digeret gadis lain yang langsung menempelengi pipinya. Ada yang tertawa. Ada yang menangis. Pengalaman terbang macam apa lagi ini?

Belum reda ribut-ribut di pesawat, di belakang tempat duduk saya, nyonya Malaysia keturunan Tionghoa tiba-tiba marah dengan seorang pria yang duduk di sampingnya, mungkin saudaranya. Dia menjerit dengan bahasa China, menghujat-hujat dengan kata yang sangat tak enak didengar, disambung dengan “Plak… plak… plak…” Si nyonya menampar laki-laki itu dengan majalah pesawat yang lumayan juga tebalnya, sambil tanpa henti terus menghujat.

Pesawat ini memang tak pernah diam. Orang mabuk silih berganti. Bahkan film yang diputar pun aneh-aneh. Ada humor Rusia orang tampar-menampar di bioskop, sementara yang lainnya cium-mencium dengan mesra. Ada lelucon tentang gay yang dikejar-kejar dan dipukul-pukul. Semua yang ada di atas pesawat ini memang aneh-aneh. Hasil kombinasi dengan ketepatan tingkat tinggi antara Uzbek, Rusia, dan Malaysia.

Pukul 10 malam pesawat tiba di Bandara Internasional Kuala Lumpur. Khursed, pelajar Uzbek yang duduk di samping saya, terbengong-bengong melihat megahnya bandara Malaysia, yang bukan tandingan bandara mungil Tashkent. Kami segera menuju ke imigrasi.

“Kami ini dari Republik Kirghiz!!!” kata seorang pria berwajah Mongoloid dengan penuh kemarahan, ditolak masuk oleh petugas imigrasi karena tidak punya visa, “kami ini tidak butuh visa untuk datang ke Malaysia! Lihat paspor kami: Republik Kirghizia!!!”

Polisi Malaysia berjilbab sibuk bolak-balik dari kaunter ke ruang pemeriksaan, memastikan keberadaan sebuah republik bernama Kirghizia.

Khursed juga hampir tidak boleh masuk. Paspor Uzbekistan pun sama parahnya dengan paspor Kirghizia. Walaupun Khurshed sudah punya visa, tetapi karena ketahuan ia mau menetap di Malaysia untuk bekerja, petugas imigrasi pun tak mengizinkannya lewat. Khurshed tak bisa Bahasa Inggris dan petugas imigrasi Malaysia tak bisa Bahasa Rusia, apalagi Bahasa Uzbek. Khurshed sudah keringatan tidak karuan, ketika saya diminta bantuan untuk menjadi penterjemah.

Malaysia, panas dan lembab. Dibandingkan Tashkent yang dingin dan kering, ini adalah dunia yang berbeda. Saya belum sampai di rumah, tetapi kampung halaman di sini rasanya sudah dekat sekali. Perjalanan satu tahun tujuh bulan tanpa henti, melintasi atap dunia Tibet, gunung-gunung Nepal, warna-warni India, kehangatan persahabatan Pakistan, petualangan gila di Afghanistan, modernnya Iran, tak lupa juga negara-negara Stan, akhirnya berakhir di sini.

Kakak beradik Stan masih menari-nari di dalam memori – gunung-gunung megah Tajikistan, kehidupan bangsa pengembara Kyrgyzstan, kemakmuran Kazakhstan, dan gemilangnya peradaban Uzbekistan. Entah kapan saya bisa mengunjungi Stan yang terakhir, Turkmenistan, yang menyimpan misteri kejayaan Abad Emas.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 23 Juni 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

11 Comments on Garis Batas 78: Pulang

  1. bagian inilah yg bikin aku ketar ketir mau naik uzbek airways. wakaka 🙂

  2. keren ceritanya mas…

  3. Fuiih..serunya 😀

  4. Membaca buku Garis Batas ga cukup 1 kali..harus berulang kali..membayangkan megahnya pegunungan salju, gersangnya gurun, dll….. Petualangan yg sangat berbeda…

  5. Mas, ini cerita yg menarik

  6. menarik, deskripsi cerita yang detail 🙂

  7. Tetap semangat menjelajah mas..

  8. Kok malah membuat q jdi makin pengen mengunjungi Uzbek ya 🙂

    Punya kontak ppi uzbekistan gak mas? Saya pengen lanjut S2 di uzbek

  9. Hai bang, kebetulan sedang browsing info backpacker ke Uzbekistan dan bertemu web abang nih. Kira2 saat ini masih serem kah petugas imigrasi nya? hhheheh. Inspiratif sekali cerita perjalanannya.

  10. Terus, pas bantu terjemahin, Mas Agus pakai bahasa apa mas? Indonesia, Inggris atau Melayu?

  11. Henpriadi koto // September 9, 2021 at 7:58 pm // Reply

    Edhan…nggak d daratan, di langit tinggi pun orang2 itu, gilanya nggak habis-habis..

Leave a comment

Your email address will not be published.


*