Recommended

Garis Batas 80: Turkmenistan Menyambut Anda

Pintu gerbang Kota Cinta Ashgabat (AGUSTINUS WIBOWO)

Pintu gerbang Kota Cinta Ashgabat (AGUSTINUS WIBOWO)

Kota terakhir Iran sebelum memasuki Turkmenistan adalah Guchan di utara Mashhad. Serpihan Iran yang satu ini memang bukan kemegahan macam Tehran Di kota ini gubuk-gubuk tersebar semrawut di kaki-kaki gunung berdebu. Iran, negara kaya raya ini, ternyata punya juga daerah yang morat-maritnya mirip Pakistan.

Perbatasan Turkmenistan di desa Bajgiran masih 75 kilometer lagi. Bajgiran sudah seperti dunia lain. Padang-padang hijau menghampari kurva mulus bukit-bukit, membuat saya seakan sudah berada di Asia Tengah lagi. Kalau bukan tulisan-tulisan huruf Arab bahasa Persia, serta perempuan-perempuan yang dibungkus chador hitam, mungkin saya sudah lupa kalau saya masih di Iran.

Penukar uang gelap berebutan menjajakan uang Turkmen. Semua membawa kresek hitam besar-besar, yang isinya hanya duit. Sebegitu tidak berharganya kah uang Turkmenistan sampai dibungkus kresek seperti dagangan kismis?

Mata uang Turkmenistan namanya Manat. Nilai tukar resmi pemerintah Turkmenistan, 1 dolar = 5.500 Manat. Tetapi harga pasar gelap 25.000 Manat, hampir lima kali lipat. Tanda-tanda negara dengan perekonomian tidak sehat.

Walaupun duitnya kecil, pecahan terbesar uang Turkmen hanya 10.000 Manat, yang kira-kira 3.600 Rupiah saja. Saya hanya menukar 100.000 Rial (kira-kira 100.000 Rupiah) dan langsung mendapat sekresek uang Manat pecahan 5000-an. Rasanya benar-benar seperti beli sekantung kismis.

Di setiap lembaran uang ada gambar seorang pria gagah dengan sorot mata penuh aura. Siapa dia? Saya hanya tahu namanya Turkmenbashi, sang pembawa pencerahan ke bumi tercinta. Kelak Anda juga akan mengamini pengetahuan saya ini.

Senyum pria yang sama menyambut saya begitu saya melangkahkan kaki keluar dari kantor pemeriksaan paspor Iran. Senyum yang hangat, dilengkapi dengan baliho yang seakan jadi penyambung lidahnya,

“Selamat datang di Turkmenistan!”

Slogan yang lain tidak kalah hangatnya,

“Turkmenistan yang Merdeka dan Selalu Netral –  Menyambut Anda” 

Bangunan-bangunan Ashgabat yang bak dari negeri khayalan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bangunan-bangunan Ashgabat yang bak dari negeri khayalan. (AGUSTINUS WIBOWO)

 

Imigrasi negeri tertutup Turkmenistan memang sudah termasyhur ribetnya. Pertama-tama, seorang tentara di gerbang kecil mencatat detil paspor saya, baru kemudian saya diizinkan masuk balairung imigrasi. Petugas yang bekerja di balik kaca menjentik-jentikkan jarinya pada papan tuts komputer yang nyaring sekali suaranya. Sambil menginterogasi, sambil mengetik. Setelah pertanyaan wajib ‘dari mana‘, ‘mau ke mana‘, kini giliran mesin pencetak dari abad kemarin berderik berisik tanpa ampun. Semua data saya tercetak di atas sebuah kartu tebal berhologram.

Indah nian kartunya. Sayang tidak gratis.

Saya disuruh ke ruangan lain di sebelah. Ruangan bayar-membayar.

            “Dua belas dolar,” kata wanita muda yang bertugas di ruangan sesak ini.

Kalau di seberang gerbang sana, di Republik Islam Iran, wanita harus menutup aurat rapat-rapat dengan chador hitam, wanita Turkmen yang satu ini mengumbar rambut indahnya dihiasi topi bundar yang berwarna-warni sulamannya.

Kartu hologram ini mahal sekali dan masih harus dikembalikan waktu meninggalkan Turkmenistan nanti.

            “Kamu punya Manat?” tanya gadis itu, “bisa beri aku? Terserah kamu berapa. Seikhlasnya. Untuk beli makanan. Misalnya, dua puluh ribu saja sudah cukup.”

Saya memberinya selembar uang lima ribuan. Diambilnya uang itu dari meja, dilihat-lihat sekilas, kemudian dikembalikan lagi kepada saya. 5.000 tidak membuat hatinya berkenan.

“Sudah, kamu tidak usah kasih apa-apa lagi.”

Saya kembali lagi ke loket imigrasi. Paspor saya dikembalikan, tetapi saya disuruh ke ruangan lain lagi. Ruangan dokter. Di sana sudah duduk ibu dokter dengan wajah keriput tetapi ramah. Nama? Kebangsaan? Umur? 

“Kamu baik-baik saja? Semuanya OK?” tanyanya dalam bahasa Rusia.

“Ya, baik-baik saja. Saya tidak sakit kepala.”

Bu dokter tergelak, “Aku tidak tanya itu. Aku sama sekali tidak tertarik dengan sakit kepalamu. Aku cuma ingin tahu infeksi. Infeksi, kamu tahu itu? Infeksi?”

“Saya tidak ada infeksi.”

“Aha. Aku juga pikir begitu. Jadi kamu tidak perlu diperiksa lagi kan?”

Dia mengambil secarik kertas, menulis-nulis surat keterangan bahwa saya sehat, yang seratus persen didasarkan pada tanya jawab dan keyakinannya. Bu dokter ini pasti salah satu dokter yang paling efisien di dunia.

“Kamu punya Manat?” ibu dokter bertanya sambil menyerahkan surat keterangan sehat. Pasti seperti gadis di departemen bayar-membayar. Saya menyelipkan uang sepuluh ribu Manat ke genggamannya. Dia tersenyum, manis sekali.

Kantor imigrasi perbatasan Turkmenistan ini kosong melompong. Tentu saja. Siapa yang bisa datang ke sini, kalau untuk mengurus visa saja orang masih harus memeras keringat dan bercucuran air mata? Sekarang saya masih harus tersangkut di bea cukai gara-gara ransel besar saya yang penuh barang.

Satu per satu barang diperiksa dengan super teliti. Baju kumal. Handuk kotor. Bungkusan sabun. Obat-obatan. Yang paling ribet adalah buku. Saya bawa sekitar dua lusinan buku, dan saya mesti menerangkan isinya satu per satu. Setelah tahu bahwa buku saya terlalu banyak, petugas bea cukai itu akhirnya hanya melihat sekilas saja, penuh pasrah. Mungkin mereka memang tidak hobi membaca.

Lama sekali mereka menggeledah barang-barang bawaan saya. Bahkan kantong-kantong baju dan pakaian dalam pun diperiksa dengan saksama.

“Tidak ada narkotik? Tidak ada opium?” Dua kali jawaban ‘tidak’ sudah cukup. Saya disuruh mengemasi lagi semua barang bawaan.

Eits, belum selesai. Saya masih harus mengisi formulir deklarasi. Semua dalam bahasa Rusia. Saya jadi teringat ujian bahasa Rusia di kampus dulu. Untungnya seorang petugas perempuan membantu saya mengisi. Sementara itu, seorang pejabat  yang pangkatnya tinggi, mulai mengajak saya mengobrol. Sambil bicara, mulutnya terus meludah seperti senapan mesin. Sadar saya terus memperhatikan aktivitas ludah-meludah itu, sang pejabat lantas dengan kikuk mengelap bibirnya dengan tissue dan menghapus-hapus ceceran ludahnya di atas ubin dengan sepatu hitamnya.

Para pejabat Turkmenistan ini memang punya selera humor yang misterius. Butuh selera humor yang berbeda pula untuk memahami negeri ini.

Lewat pos terakhir ini, akhirnya saya menginjakkan kaki di tanah Turkmenistan yang sebenarnya. Petualangan di dunia penuh fantasi ini, pada detik ini, resmi dimulai.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 25 Juni 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

3 Comments on Garis Batas 80: Turkmenistan Menyambut Anda

  1. What seperti senapan mesin 😂😂😂😂

  2. Henpriadi koto // September 9, 2021 at 9:11 pm // Reply

    Podo wae mentalnya dgn petugas di negeri via valen..uud,ujung2 nya duit…hehehe

Leave a comment

Your email address will not be published.


*