Recommended

Garis Batas 84: Ketakutan

Penuh tentara (AGUSTINUS WIBOWO)

Penuh tentara (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya masih mencoba untuk mencari jawab akan rasa hormat dan takzim yang demikian tiada bandingan terhadap Sang Turkmenbashi. Apakah euforia abad emas yang begitu memesonakan? Atau mungkin hasil cuci otak dengan bilasan ideologi? Atau bahkan rasa takut yang sudah tersembunyi di sudut hati dan ikut mengalir bersama aliran darah?

Rasa takut terus menghantui saya ketika menyusuri jalanan kota Ashgabat. Bukan karena lalu lintas maut seperti di Jakarta, karena jalanan megah dan lebar di kota ini hampir selalu lengang. Bukan karena pencopet atau pencuri, karena kota ini tak pernah ramai. Juga bukan karena patung-patung bisu Turkmenbashi.

Saya merasa seperti berada di kota perang. Polisi dan tentara berseragam berpatroli di mana-mana, tanpa henti, sepanjang hari. Ada mata-mata jelmaan KGB yang terus mengintai. Di tiap sudut jalan setidaknya ada sepasang tentara yang mondar-mandir dengan langkah tegap, menyebarkan aura kegagahan dan keperkasaan. Tetapi aura yang mencapai permukaan kulit saya adalah rasa takut yang mencekam. Saya merasa setiap langkah saya selalu diawasi oleh mata-mata tanpa wujud. Setiap gerak-gerik saya terpantau, bahkan mungkin hembusan nafas saya di negeri ini pun ada yang memindai.

Pusat kota Ashgabat memang daerah yang teramat sangat sensitif, yang menjadi alasan ketatnya pengamanan. Ada istana presiden yang berkubah emas, dikelilingi puluhan gedung-gedung kementrian yang nampak megah. Patung-patung emas Sang Turkmenbashi juga bertebaran, menjadi hiasan wajib di setiap pintu gerbang gedung kementerian. Juga slogan-slogan penuh propaganda yang selalu menarik perhatian untuk dipotret dan dicatat.

Tetapi jangan lakukan ini di Ashgabat, kalau Anda tidak ingin bermain-main dengan polisi, jaringan intelejen, tentara, angkatan perang, dan segala macam personil mengerikan dari Turkmenistan.

Di Jalan Magtymguly, tempat berderetnya berbagai gedung departemen negara, ada sebuah gapura megah dengan patung emas Turkmenbashi berdiri gagah di bawah burung elang berkepala lima – lambang kepresidenan Turkmenistan. Saya tergelitik untuk mengabadikan gambar patung indah ini.

Jepret. Jepret.

Tiba-tiba seorang tentara yang berpatroli menyemprit saya. Dengan nada marah tentara itu menyergap saya, memberondong saya dengan pertanyaan mengapa mengambil gambar. Saya bersumpah, saya tidak memotret sama sekali.

Mereka pun bisa jadi kawan (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka pun bisa jadi kawan (AGUSTINUS WIBOWO)

Dia melepaskan cengkeramannya. Saya melanjutkan perjalanan.

Di ujung jalan, saya tiba-tiba dicegat lagi oleh tentara lain. Rupanya dia sudah mendapat informasi tentang aktivitas potret-memotret saya. Tentara ini kemudian menggiring saya ke sebuah kantor pusat pengamanan kementrian dan seorang pejabat tinggi meminta saya menunjukkan foto-foto yang sudah saya ambil.

Untung di tengah jalan saya sempat menghapus foto-foto sensitif itu. 

“Lihat, saya tidak ambil foto sama sekali.”

Dia tidak begitu percaya, tetapi tak bunya bukti lain lagi.

Saya bebas. Saya berjalan lagi meninggalkan tempat ini. Baru sampai di ujung jalan, saya sudah disergap tentara yang lain lagi, digiring ke kantor pusat yang sama. Kali ini tentara yang berpatroli mencatat semua data pribadi saya – nama, tempat tanggal lahir, nomer paspor. Jangan kaget kalau informasi tentang ‘mata-mata’ yang memotret gambar patung emas Turkmenbashi ini akan tersebar di seluruh penjuru negeri.

Rasanya hampir semua orang di sini memang sudah dilatih untuk jadi mata-mata. Jaringan intelijennya benar-benar kuat, dan dengan keluarbiasaan penyebaran informasi rahasianya saya percaya mereka pun tahu makanan apa saja yang saya makan hari ini.

Bukannya paranoid kalau setelah kejadian ini saya segera berlari ke kamar saya, merobek-robek semua catatan di buku harian saya tentang Turkmenistan. Kelak, ketika saya meninggalkan negara ini, tindakan ini ternyata benar-benar menyelamatkan saya.

Jika Anda terjebak dalam kejadian tidak mengenakkan seperti ini, kuncinya satu. Tetap ramah, tetap tersenyum, dan pura-pura bodoh. Saya punya lagi kisah lain ‘bermain-main’ dengan tentara Turkmenistan.

Di dekat Istana Presiden yang berkubah emas, saya tiba-tiba dicegat dua tentara muda yang membentak kasar, “Kamu ngapain foto-foto di sini?” Kedua tentara itu bertubuh gagah dan sangat tinggi. Saya tetap mengumbar senyum.

“Orang Turkmenistan tinggi-tinggi ya,” saya mencoba membelokkan perhatian, “tidak seperti orang dari negara saya.” Kedua tentara tadi tergelak-gelak, dan bertanya mengapa saya pendek. Mungkin kurang makan, jawab saya. Tawa mereka malah tambah meledak-ledak.

Kedua tentara itu malah berkenalan. Yang satu bernama Maksat, satunya Rahim. Keduanya 18 tahun. Masih sangat muda. Mereka sedang menjalani wajib militer selama dua tahun. Maksat kemudian dengan ramah berkata kepada saya, “kamu bisa motret gedung apa saja di sini. Kecuali yang satu itu, yang berkubah emas. Itu istana presiden. Ini termasuk rahasia negara.”

Maksat (AGUSTINUS WIBOWO)

Maksat (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya manggut-manggut. Sebagai kenang-kenangan, saya memberi kedua tentara itu uang 500 Rupiah yang masih baru. Mereka senang sekali. Dari semula tentara yang hendak menangkap saya karena memotret ‘rahasia negara’, mereka malah jadi fotomodel untuk foto-foto saya.

Polisi dan mata-mata memang bertebaran di mana-mana. Di negeri yang penuh nuansa represi ini, salah-salah sedikit bisa berujung penjara. Melenggang di atas jalanan Ashgabat memang terasa nyaman, karena kita tidak pernah khawatir akan rampok, penyamun, pencuri, jambret, dan gerombolan kriminal lainnya. Tetapi bersamaan dengan rasa aman itu muncul pula perasaan takut dan tertindas, karena setiap gerak-gerik, ucapan, dan denyut nadi kita terus-menerus terpantau dan terkontrol oleh pengintaian rahasia tanpa akhir.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 1 Juli 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Garis Batas 84: Ketakutan

  1. Bisa jadi, gara2 paranoid, akun facebook, twitter, web ttg mas agus didunia maya dihapus, dinonaktifkan, disobek2 …. (bisa jd, para tentara itu nanti membacanya) krn tlh menuliskan perjalanan tentang kubah emas . He…he…he

  2. dimana-mana aslinya tentara emang suka difoto.. hehehehe..:)

Leave a Reply to Yuyun Yulianti Cancel reply

Your email address will not be published.


*