Recommended

Nabawia (2013): Selimut Debu, Petualangan Mengesankan di Negeri Khaak

Keren. Itu kata saya selesai membaca buku setebal 461 halaman itu. Sejak paragraf Awal Agustinus Wibowo telah mengajak saya untuk berpetualang melintasi negeri pimpinan Hamid Karzai dengan bahasa yang membumi dan tidak menggurui. Berbekal buku An Historical Guide to Afghanistan ia berpetualang melintasi Afghanistan tahun 2006, setelah tahun 2003 ia kesana dan bertemu dengan seorang pencari karpet di kedai teh Bamiyan yang memantik semangatnya untuk berkeliling negeri itu.

24 July 2013

1307-nawabia-selimut-debu

Selimut Debu, Petualangan Mengesankan di Negeri Khaak

Foto: goodreads

Judul buku           : Selimut Debu

ISBN                   : 978-979-22-5285-9

Penulis                : Agustinus Wibowo

Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama

Jumlah halaman  : 461 halaman

Harga buku         : Rp. 69.000,00

Genre                 : Non Fiksi

 

Keren. Itu kata saya selesai membaca buku setebal 461 halaman itu. Sejak paragraf Awal Agustinus Wibowo telah mengajak saya untuk berpetualang melintasi negeri pimpinan Hamid Karzai dengan bahasa yang membumi dan tidak menggurui. Berbekal buku An Historical Guide to Afghanistan ia berpetualang melintasi Afghanistan tahun 2006, setelah tahun 2003 ia kesana dan bertemu dengan seorang pencari karpet di kedai teh Bamiyan yang memantik semangatnya untuk berkeliling negeri itu.

Seperti yang pernah ditanyakan seorang pemuda Afghan padanya, sejak awal saya pun bertanya ,”Apa yang ia cari di negeri penuh debu itu?”
Dan di buku ini apa yang saya tanyakan itu terjawab sendiri. Dengan gayanya bercerita Agus menjungkirbalikkan persepsi saya tentang Afghanistan selama ini. Afghanistan yang telah porak poranda oleh perang justru dirongrong oleh orang-orang bermuka malaikat tapi berpikiran seperti “bajingan”. Menggunakan alasan kemanusiaan untuk menolong rakyat Afghanistan, sementara aliran dananya kebanyak tak sampai pada sasaran. Hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Sebagai negeri yang penduduknya beragama Islam wajar kiranya jika budaya islam teramat kental disana. Mulai dari pemakaian bueqa hingga pergaulan antara pria dan wanita sangat terbatas. Tak ada namanya pacaran di sini. Pernikahan adalah hasil perjodohan dengan orang tua. Perempuan dan lelaki juga tak pernah bercampur dalam satu pesta, meski masih dibawah atap yang sama.
Tetapi yang mengejutkan saya adalah praktek homoseksual yang lebih dikenal dengan nama Bachabazi. Gila! Pikir saya. Sungguh saya tidak menyangka apa yang pernah saya baca di The Kite Runner-nyaKhaled Hossaini itu benar adanya. Bachabazi sendiri berasal dari kata bacha yang artinya “bocah laki-laki” dan bazi yang artinya “bermain”. Praktek semacam ini meski jelas dilarang agama ternyata lebih mudah dimaafkan daripada zina. Bahkan sudah menjadi rahasia umum dan bukan hal yang memalukan dalam kultur mereka. Kenapa bisa muncul praktek semacam ini di negeri khaak ini? Beberapa alasan mengemuka sebagai jawabannya. Mulai dari interaksi pria dan wanita yang sangat jarang. Lebih mirip harga mati ketimbang sesuatu yang harus dipahami sesuai konsep islami.Lebih dari itu mahar perempuan di Afghanistan sangatlah mahal hingga tak semua pria dengan mudah menikahi siapa saja. Sementara itu tempat prostitusi pun susah. Jadi karena perempuan langka dan tempat penyaluran hasrat tak ada maka bacha adalah pilihan tepat. Selain murah, lebih aman juga memakai bacha menjadi pemuas nafsu mereka.
Namun tak hanya ini yang ditemukan Agus di Afghanistan. Di negeri khaak ini ia bertemu dengan pemuka agama yang memberi pencerahan padanya.
“Agama itu bukan di baju. Agama itu ada di dalam hati. Inti Agama adalah kemanusiaan,” begitu ucap pria itu. Sebuah kalimat yang langsung tertancap di hati sang penulis, Agustinus Wibowo.
Tak hanya sebuah pencerahan, peradaban yang hilang ia temukan dalam perjalanannya. Sebuah Minaret Jam berdiri megah ditengah apitan tebing-tebing tinggi, ditengah kepukan gunung cadas dan tandus. Dinding minaret (menara) diselimuti oleh ukiran ayat-ayat Al Qur-an dan pujian terhadap Sultan Ghiyasuddin, raja dinasti Ghorid. Sebuah bukti bahwa di masa silam Afghanistan memiliki peradaban tinggi yang sayangnya telah terkubur oleh gambaran buruk negeri khaak ini.
Karena itu tak rugi rasanya memiliki buku ini.  Buku ini bukanlah jenis buku petualangan biasa, yang umumnya disajikan untuk sebuah kesenangan semata lengkap dengan gambar tempat-tempat ciamik berlabel “recommended to see”, makanan eksotis, dan budaya memukaunya. Tetapi justru mengetengahkan berbagai interaksi dan pengalaman hidup selama ia berbaur dengan masyarakat Afghanistan sepanjang petualangannya tersebut.  So milikilah buku ini, agar kau bisa merasakan asyiknya naik-turun Falang Coach*, truk, atau traktor seolah kau sendiri yang datang menyingkap selimut debu di Afghanistan. (pm)
*Falang Coach : pelafalan Flying Coach untuk  angkutan umum yang umum ditemukan di Afghanistan, berupa kendaraan Toyota HiAce dengan empat baris kursi penumpang.
About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*