Recommended

Garis Batas 90: Berzengi

Berzengi dan segala mukjizatnya (AGUSTINUS WIBOWO)

Berzengi dan segala mukjizatnya (AGUSTINUS WIBOWO)

Di bagian selatan Ashgabat, sebuah dunia surealis menebar nuansa misterius negeri antah berantah. Gedung-gedung tinggi dari pualam putih berjajar megah, tetapi tak ada manusia yang menghuni. Jalan raya beraspal mulus membentang amat lebar, tetapi tak nampak mobil yang melintas. Monumen-monumen megah berdiri, merayakan kegemilangan negeri, di tengah kelengangan alam yang tiada banding. Taman-taman hijau menghampar, gemericik air mancur mengalun sendiri di tengah sunyi dunia.

Inilah Berzengi, tempat keajaiban tingkat dunia muncul satu per satu. Inilah Berzengi, tempat bulu kuduk saya berdiri di sebuah dunia aneh yang kosong dan hampa ini.

Berzengi adalah sekelumit wajah Turkmenistan yang pertama kali saya intip ketika datang dari Iran dulu. Dalam bis kota modern yang harga tiketnya mendekati gratis, saya terpesona oleh barisan gedung-gedung tinggi dan baru, dengan cita rasa arsitektur entah dari zaman apa. Kekaguman saya juga mengantarkan senyum kebanggaan di wajah Rita, seorang pegawai perbatasan, yang mengagung-agungkan kehidupan di negeri utopis Turkmenistan.

Setelah beberapa hari di Ashgabat, saya kembali ke Berzengi, mengagumi barisan gedung-gedung raksasa nan bisu ini. 

Gedung-gedung pualam megah berbaris di tengah sepi (AGUSTINUS WIBOWO)

Gedung-gedung pualam megah berbaris di tengah sepi (AGUSTINUS WIBOWO)

 

Berzengi adalah jalan panjang yang membentang ke arah pegunungan Kopet Dag di selatan, yang membatasi negeri ini dengan Iran. Gedung-gedung berukuran tinggi dan besar berjajar, berbaris rapi, dengan jarak pemisah yang beraturan. Tak ada kesan metropolis penuh pencakar langit macam Shanghai atau New York. Gedung-gedung raksasa Ashgabat berpencaran, memberi kesan lapang.

Tak ada manusia di sini. Kalaupun ada tak berbanding dengan lusinan gedung pencakar langit dari pualam mahal yang berbaris mengisi sepi. Tetapi pualam-pualam raksasa terus dibangun. Para pekerja masih sibuk menyelesaikan bagian atap sebuah apartemen megah di pinggir jalan raya, yang mungkin kemarin malam baru dibangun dan besok lusa sudah akan diresmikan.

Hotel-hotel bintang lima juga membanjiri Berzengi, menggelorakan kebanggaan program pembangunan Sang Turkmenbashi. Gedung-gedung marmer bermunculan silih berganti, juga istana-istana berkubah emas. Masing-masing bangunan ini menghabiskan dana ratusan juta euro, dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan konstruksi kelas dunia macam Bouygues dari Perancis. Tentu saja ini bisnis yang amat menggiurkan, di mana seorang Pemimpin Agung punya terlalu banyak uang untuk dihamburkan, sampai bingung mau dibuang ke mana lagi.

Masjid besar dan megah tetapi tak ada umat yang datang (AGUSTINUS WIBOWO)

Masjid besar dan megah tetapi tak ada umat yang datang (AGUSTINUS WIBOWO)

Sementara, penduduk Ashgabat, yang jumlahnya tak lebih dari setengah juta jiwa, masih bergulat dengan gaji standar 50 dolar per bulan. Mulut mereka disumpal dengan garam, listrik, gas, dan minyak yang semuanya gratis.

Ashgabat, yang dulunya adalah kota pinggir perbatasan yang hilang dan terlupakan, kini mulai mewujudkan fantasinya. Kekayaan minyak dan gas bumi yang tiada tara menjanjikan mimpi indah bagis seluruh rakyatnya.

Tengoklah Monumen Kemerdekaan Turkmenistan di ujung selatan Berzengi, yang menjulang tinggi menopang langit dengan bentuk persis penghisap toilet. Tentu saja yang mendominasi adalah emas yang mengilap, warna favorit negeri Abad Emas. Deretan patung-patung pengawal Turkmen berukuran raksasa berdiri mengawal. Turkmenbashi, dari emas (tentu saja), berdiri dengan anggun melepaskan jubah kebesarannya, dan dikelilingi lima ekor burung elang berkepala lima. Masih ada pula dua orang tentara Turkmen (yang ini manusia sungguhan) yang mengawal patung-patung bisu ini. Entah bagaimana mereka bisa melewatkan hari-hari di tengah kesunyian patung-patung angker, membunuh bosan di tengah sepi.

Di ujung utara Berzengi, ada lagi piramid ala Turkmenistan, dari pualam putih menjulang tinggi, bermandi air yang mengucur dari puncak ke empat sisinya. Resminya ini adalah air mancur terbesar di dunia, salah satu keberhasilan Turkmenistan di kancah internasional. Air mancur, kolam, selokan, memang bertebaran di seluruh penjuru Ashgabat, seakan menyangkal fakta bahwa 75 persen negeri ini adalah padang pasir yang kering dan tandus.

Keajaiban Berzengi yang lain lagi adalah monumen Ruhnama. Bentuknya seperti buku tulisan sang Presiden, berwarna hijau dengan pinggiran merah muda. Ukurannya super jumbo, mencolok di tengah taman, dikelilingi semburan air mancur. Buku raksasa seperti ini, siapa yang baca?

Abad Emas telah tiba (AGUSTINUS WIBOWO)

Abad Emas telah tiba (AGUSTINUS WIBOWO)

Jangan salah. Ini bukan sekedar patung biasa. Patung buku raksasa ini bisa dibuka, setidaknya dalam sekali perayaan per tahun, ketika Hari Ruhnama diperingati, buku raksasa ini terbelah dan memamerkan isinya – barisan layar televisi yang mengelu-elukan kebesaran Sang Turkmenbashi.

Bukan hanya gedung-gedung dan monumen bisu, sang Pemimpin Agung juga menghujani rakyatnya dengan hari-hari libur nasional, yang jarang kita dengar adanya di dunia ‘normal’. Ada hari bendera (merayakan ulang tahun Turkmenbashi), hari ‘setetes air adalah sejumput emas’, hari kuda, hari puisi, hari karpet, hari melon, hari roti, hari Turkmenbashi, hari ‘bertetangga baik’, dan hari netralitas. Saya benar-benar penasaran ingin ikut merasakan perayaan salah satu dari hari-hari penting di dunia Turkmen ini.

Apakah ini mimpi Abad Emas itu? Gedung-gedung megah namun bisu, hanya berisi kekosongan. Hotel-hotel kelas dunia dibangun, tapi juga tak lebih dari deretan kamar-kamar kosong. Masjid raksasa Turkmenbashi dari pualam murni, berkapasitas ribuan jemaah dan dijadikan tempat pengganti naik haji, dikunjungi tak lebih dari sepuluh orang umat. Wajah Ashgabat memang terus berganti. Kecepatan dan dinamisme pembangunannya bahkan mungkin mengalahkan Shanghai atau Beijing. Semuanya berukuran super besar, super megah, dan super modern.

Tetapi bersama dengan munculnya gedung-gedung pualam dari negeri mimpi ini, yang ada cuma kesenyapan yang menggelitik bulu roma.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 9 Juli 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Garis Batas 90: Berzengi

  1. Astrid Santoso you have got to get Agustinos books to read and if you can go to any session with him speaking …do do…he is an awesome speaker and so lovely an inspirasi…get him on your show and interview…so lovely

  2. penasaran dengan hari melon, apakah penuh dengan melon???

  3. Meimei Choiri thx for commenting..i get to know him from your comment 😀

  4. do u know agustinus wibowo mbk Asiah Asiyah , he is not just a traveler, he is explorer. aku suka semua tulisan2nya. bagus2 dan tempat yang di kunjungi bukan cuma indah tapi menantang 😀

  5. sampai jam 1 malam baca novel ini tepatnya ttg Ashgabat,,,presiden oh presiden 🙂 ditunggu novel lanjutannya titik nol mas Agustinus Wibowo

  6. aku suka sewaktu baca novel garis batas yang di Asghabat ini.. keren mas (y)

Leave a Reply to Siti Sopiah Cancel reply

Your email address will not be published.


*