Recommended

Garis Batas 89: Disneyland

Dunia Fantasi di Turkmenistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Dunia Fantasi di Turkmenistan (AGUSTINUS WIBOWO)

Negeri fantasi ini pun menciptakan sebuah Dunia Fantasi …

“Wahai generasi Abad Emas, engkau adalah manusia-manusia yang paling berbahagia!”  

Turkmenbashi yang Agung bersabda, tertulis dengan tinta emas di pintu gerbang sebuah taman bermain, mengingatkan keberuntungan tiada tara putra dan putri Abad Emas, masa depan Turkmenistan.

Dunia Dongeng Turkmenbashi, demikian nama taman penuh imajinasi dan fantasi ini, mengantar pengunjung ke dunia syahibul hikayat Turkmenia, salah satu proyek maha besar sang pemimpin untuk merayakan 15 tahun perjalanan hidup Turkmenistan menyongsong Abad Emas. Tetapi penduduk Ashgabat lebih sering menyebut tempat ini dengan nama yang lebih keren – Turkmen Disneyland.

Pintu gerbang berwarna putih pualam berdiri megah, di hadapan barisan bendera Turkmenistan yang berkibar-kibar penuh gairah. Kota Ashgabat adalah salah satu kota yang hampir setiap hari berganti wajah. Gedung-gedung baru dari pualam bermunculan dalam sekejap malam. Semuanya seperti sihir penuh kejutan. Dan salah satu kejutan terakhir Turkmenbashi yang menggemparkan seluruh negeri dan jagad raya adalah  taman Disneyland ini.

Lupakan Donal Bebek dan Miki Tikus, juga Sinderela dan tujuh kurcaci. Turkmenistan bukan tempat bagi mereka. Di sini, yang mengisi mimpi bocah-bocah Turkmen, generasi mendatang di Abad Emas, semuanya berasal dari hikayat-hikayat dan khasanah kesusastraan Turkmen yang tiada bandingnya di dunia. Saya tak mengenal siapa itu Bovenjyk dan Akpamyk, apalagi Jabpaki dan Khudaiberdi-gorkak. Tetapi tokoh-tokoh alam khayal Turkmen inilah yang mengiring tidur bocah-bocah dari Ashgabat hingga ke Charjou, dari Kaspia hingga ke pedalaman Karakum.

Ingin sekali hati ini ikut larut dalam kebahagiaan bocah-bocah Turkmen ini, yang terpancar dari pekik gembira ketika roller coaster versi Turkmen dari wahana Halilintar menukik meluncur tajam. Ingin pula saya ikut bergabung dalam alam mimpi, bersama tokoh-tokoh khayalan yang digali dari peradaban panjang bangsa Turkmen. Tetapi apa daya, ibu penjual tiket tak mau diajak bekerja sama. Beliau dengan gagah menunjuk sebuah papan pengumuman – harga tiket untuk ‘kawan-kawan’ manca negara adalah 5 dollar. Sedangkan orang Turkmen hanya membayar 1000 Manat, sekitar 300 Rupiah.

Saya seperti bintang iklan anak putus sekolah, memandangi keceriaan generasi penerus Turkmenistan dari balik pagar besi.

Saya hanya bisa dengan penuh iri memandangi antrean panjang bocah-bocah yang tak sabar ingin di-‘ontang anting’ dan ber-‘halilintar’ menyaksikan barisan gedung-gedung pualam Ashgabat yang berbaris sepanjang jalan. Saya juga kagum dengan wahana ‘bianglala’ berukuran ekstra besar, yang dari puncaknya kita boleh menyaksikan kejayaan kota modern Ashgabat.

Saya hanya bisa tersenyum kecut ketika bocah-bocah Turkmen melintas dengan kereta mungil, yang membawa para penumpangnya berkeliling kota dan melihat kemajuan negeri yang diselimuti semangat ‘Abad Emas’.

Turkmen Disneyland (AGUSTINUS WIBOWO)

Turkmen Disneyland (AGUSTINUS WIBOWO)

Taman bermain futuristik yang luasnya 60 hektar dan menghabiskan dana 50 juta dolar bukan hanya membawa tawa ceria anak-anak. Ada ratusan penduduk Ashgabat yang harus kehilangan tempat tinggal gara-gara proyek-proyek penuh kejutan Sang Turkmenbashi. Tengoklah kota Ashgabat yang bertabur gedung-gedung pualam, taman-taman hijau menghampar, air mancur yang bergemericik menggemakan kemakmuran. Sekarang bayangkan, 15 tahun lalu, semua kemegahan ini adalah perumahan dari kota kecil di ujung negeri adikuasa Uni Soviet, di mana apartemen dan rumah-rumah tua berderet-deret. Sekarang, ke manakah orang-orang itu pergi?

Turkmenbashi tak perlu diajak berdiskusi tawar-menawar kalau soal pembangunan, rekonstruksi, dan pengejahwantahan Abad Emas. Semuanya datang seperti mukjizat Candi Loro Jonggrang. Hari ini ide, besoknya penduduknya dikosongkan secara paksa, besoknya lagi bangunan megah sudah berdiri. Demikianlah Ashgabat berganti wajah setiap harinya. Ada yang gembira ria, menerobos angin dengan kereta roller coaster yang menerbangkan ke awang-awang Ashgabat. Ada pula yang dalam semalam langsung turun pangkat menjadi tuna wisma, karena rumahnya dikorbankan untuk kepentingan umum, kepentingan nasional.

Generasi Abad Emas adalah manusia-manusia yang paling berbahagia (AGUSTINUS WIBOWO)

Generasi Abad Emas adalah manusia-manusia yang paling berbahagia (AGUSTINUS WIBOWO)

Apakah Turkmenbashi pernah punya istri yang bercita-cita membangun sebuah taman lain bernama Taman Mini Turkmenistan Indah yang mengoleksi segala macam kekayaan budaya dan khasanah perabadan zamrud padang pasir, lengkap dengan peta buatan Turkmenistan ukuran jumbo yang bisa dijelajahi para pelajar yang penuh rasa ingin tahu?

Tak perlu itu pun, Turkmenbashi sudah punya ide-ide fantastis seperti membangun istana es (di tengah panasnya padang pasir Turkmenistan!) dan tangga menuju surga (yang harus didaki para mentri di kabinetnya untuk berlatih jantung sehat, sedangkan Turkmenbashi cukup menunggu di puncaknya dengan naik helikopter). Semuanya membuat kita takjub, takzim, kagum. Tetapi jangan lupa, di balik proyek-proyek fantasi itu, ada air mata penduduk yang terpinggirkan dari dunianya.

“Negara kamu juga punya diktator? Di negara kamu, orang-orang juga bisa diusir paksa oleh pemerintah?” kakek tua pemilik rumah tempat saya menginap bertanya serius.

Si kakek, yang rumahnya tak jauh dari Disneyland ini, juga takut nasib yang sama akan menimpanya suatu hari nanti, seperti tetangga-tetangganya yang sekarang sudah menghilang entah ke mana. Setiap hari dilalui dengan was-was, tanpa tahu kapan pemerintah tiba-tiba punya ide fantastis apa lagi, yang akan dibangun di atas tanah tempat tinggalnya sekarang.

Ini adalah dunia yang penuh dengan fantasi. Mimpi-mimpi indah bersama tokoh-tokoh khayal peradaban agung bangsa Turkmen kini menjadi nyata, menjanjikan tawa riang generasi muda Turkmen, generasi abad emas, manusia paling beruntung di muka bumi.

Tetapi dunia tak seindah fantasi, yang berdiri di atas rintihan rakyat kecil yang dikorbankan secara massal.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 8 Juli 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

2 Comments on Garis Batas 89: Disneyland

  1. Bang agustinus boleh d kasi tau ga turkmenistan itu ngara apa sih aslix?? Komunis bgt or sekuler?? Suer no idea about this antah berantah country.. 🙂

  2. Henpriadi koto // September 9, 2021 at 11:00 pm // Reply

    Ndak mungkinlah turkmenbasi main gusur kayak ngusir sapi gitu aja mas, pastilah ada ganti untungnya…pak jokowi aja ngasih ganti untung kpd setiap orang yg tanahnya kena proyek tol, masa pak basi kalah sama pak jokowi?..

Leave a Reply to Joe Adrian Bertez Cancel reply

Your email address will not be published.


*