Recommended

Garis Batas 96: Good Boy

Agustinus Wibowo di Perbatasan Pakistan dan Afghanistan.

Agustinus Wibowo di Perbatasan Pakistan dan Afghanistan.

Tentara perbatasan Uzbekistan memang terkenal sangat merepotkan. Penggeledahan barang-barang bawaan sudah menjadi prosedur wajib. Tetapi masih ada yang lebih melelahkan dan menjengkelkan dari ini.

Sudah hampir satu jam saya berdiri di hadapan tentara muda itu, dengan semua barang bawaan saya tertata amburadul di atas meja bea cukai. Kaos dan celana-celana lusuh bertumpuk-tumpuk seperti gombal, membuat dia mirip pedagang keliling baju bekas, dan membuat muka saya merah padam. Puas mengobrak-abrik semua isi tas ransel, tentara itu langsung memerintah saya cepat-cepat mengemas kembali semua barang itu. Seperti diplonco rasanya.

Saya disuruh mengikutinya, ke sebuah kamar kecil dan tertutup di pinggir ruangan. Ukurannya cuma 2 x 3 meter, sempit sekali, dengan sebuah kasur keras di sisinya. Begitu saya masuk, dia langsung mengunci pintu. Apa lagi ini? Saya berduaan dengan tentara tinggi dan gagah yang mengunci pintu di sebuah kamar dengan ranjang yang nyaman, dan sekarang dia menyuruh saya menungging.

Dia mulai menggerayangi tubuh saya dengan kedua tangannya. Jangan berpikir yang aneh-aneh dulu. Setelah barang bawaan yang diperiksa, kini giliran tubuh saya yang diteliti habis-habisan. Dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Dan ini dalam arti harafiah.

Ujung sepatu saya diketok-ketok. Kebetulan sepatu yang saya pakai ini pemberian dari seorang teman, dan berukuran lebih besar daripada kaki saya. Tentu saja saya tidak merasakan apa-apa. Curiga ada yang disembunyikan di ujung sepatu, saya disuruh membuka sepatu. Dengan tangan telanjang ia meneliti bagian dalam sepatu saya. Bahkan kaus kaki yang saya pakai pun diteliti dengan seksama, jangan-jangan ada uang yang diselundupkan. Ah, pasti bau sekali tangannya sekarang. Untungnya perbatasan ini sepi sekali. Coba kalau dalam sehari ada seribu orang yang melintas perbatasan, pasti tentara itu sudah kena penyakit kulit.

Habis periksa tubuh, sekarang giliran periksa dompet. Lembar demi lembar uang dolar saya dihitung. Lho, kok ada 238 dolar, sedangkan di formulir deklarasi saya menulis cuma 230 dolar. Berarti ada 8 dolar kelebihan, yang mau disita oleh tentara itu. Saya memohon-mohon, delapan dolar itu besar sekali artinya buat saya, yang punya uang cuma segini. Si tentara malah jatuh iba, dan batal menyita uang kesayangan saya.

Sekarang, setelah hampir dua jam menjadi bahan penelitian tentara perbatasan, saya sudah siap menyeberang ke Afghanistan. Polisi wanita yang berambut kribo pun sudah mengembalikan tujuh keping uang logam dari Iran, setelah dia yakin bahwa logam-logam ini bukan barang berharga.

           “Bagaimana caranya pergi ke Mazar-i-Sharif dari sini?” tanya saya.

Mazar-i-Sharif adalah kota besar di Afghanistan utara, tidak jauh jaraknya dari Termiz. Si polisi kribo sama sekali tidak tertarik.

“Hei, di sini Uzbekistan, di sana Afghanistan. Walaupun cuma di seberang sungai, saya tidak pernah ke sana. Kamu ke sana sendiri, dan tanya orang-orang di seberang sana.”

Perbatasan Uzbekistan dengan Afghanistan memang tertutup rapat-rapat. Selain burung dan jin, makhluk-makhluk lain tidak bisa menyeberang dengan mudah.

Afghanistan sebenarnya masih satu kilometer lagi. Saya naik bus yang sama, mengantar saya ke tepi jembatan yang dinamai “Jembatan Persahabatan”. Jembatan ini panjang sekali, melintang di atas Sungai Amu Darya yang menggelegak marah.

Dibandingkan perbatasan Uzbekistan yang demikian galak dan birokratis, perbatasan Afghan sangat santai dan malas. Jangankan pemeriksaan barang bawaan, paspor saya cuma dilihat sekilas, langsung dicap dan dikembalikan. Uzbekistan memang paranoid dengan negara tetangganya yang satu ini. Semua orang yang pergi dan datang dari Afghanistan patut dicurigai sedetil-detilnya. Kebalikannya, Afghanistan tidak peduli siapa saja yang datang ke sini.

Di seberang sungai ini, saya memandang Uzbekistan. Signal telepon genggam Uzbekistan masih bekerja di sini. Saya sempat bercakap-cakap dengan beberapa kawan di Tashkent, mengabarkan bahwa saya sudah sampai dengan selamat di Afghanistan. Suara mereka begitu dekat, tetapi mereka sudah hidup di dunia lain.

Dunia lain, mungkin kata yang tepat untuk melukiskan Afghanistan. Saya sudah melintas perbatasan Afghanistan dengan negara-negara tetangganya – Pakistan, Iran, Tajikistan, dan sekarang Uzbekistan. Setiap kali saya melintasi perbatasan ini, saya seperti dilemparkan mesin waktu mundur ke zaman abad silam.

Marshrutka sudah jadi kenangan. Saya sudah berada dalam mobil Corolla, berdesak-desakan menuju kota Mazar-i-Sharif. Terjepit oleh seorang pria gendut, berjenggot lebat, berjubah putih, berbau badan dan mulut, saya mengamati dunia di luar sana. Terbayang Stan bersaudara yang kini sudah menjadi masa lalu saya. Gadis-gadisnya yang molek, tari-tarian peradaban kuno, dan kehidupan bangsa pengembara. Semuanya telah berlalu.

Saya menjalani kehidupan di dunia yang baru. Debu mengepul di mana-mana. Afghanistan, negeri berselimut debu, adalah dunia laki-laki. Yang terlihat di sini adalah pria-pria berjenggot dan berjubah, dengan syal menyelempang di bahu. Dan perempuan? Tak terlihat sama sekali di jalan. Yang kelihatan pun dibungkus rapat-rapat sampai matanya pun tak terlihat. Benar-benar kontras dengan gadis-gadis Uzbek di seberang sungai sana.

Jalan raya menuju kota Mazar penuh dengan truk. Macet total. Memasuki Afghanistan, ada sebuah gerbang melintang di jalan, menyambut semua yang datang. Di sebelah kiri tertempel foto Ahmad Shah Massoud, pahlawan nasional Afghan. Di sebelah kanan Hamid Karzai, presiden Afghanistan. Di bagian tengah, tulisan bahasa Inggris besar-besar: “GOOD BOY“. Apa artinya? Massoud dan Karzai adalah bocah-bocah yang baik?

Di sampingnya lagi ada tulisan huruf Arab, khoda hafez, Allah memberkati. Saya baru sadar bahasa Inggris ala orang Afghan, menulis good bye jadi good boy.

Delapan bulan berselang, di sebuah kantor berita di Kabul, saya membaca kembali catatan-catatan perjalanan saya di kelima negara Stan. Semua perasaan bercampur jadi satu. Ada kekuatan besar yang menentukan arah petualangan ini, yang saya sendiri pun tidak kuasa mengatur. Siapa yang sangka, dari gunung-gunung raksasa Tajikistan, padang gembala Kirghizia, dan negeri fantasi Turkmenistan, saya sampai di tengah kota Kabul di mana bom dan roket berdentuman tanpa henti? Siapa yang sangka, berbagai cerita naas kecopetan dan kerampokan di Uzbekistan, mengantar saya kembali ke sini.

Sampai jumpa Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan. Kelima Stan bersaudara yang telah menghidangkan saya demikian banyak pelajaran.

Rahmat. Tashakor. Spasibo. Terima kasih.

Good boy.

 

(Selesai)

Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Dari Redaksi:

Cerita petualangan Agustinus Wibowo melintasi lima negara stan bersaudara di Asia Tengah selesai sampai di sini. Tapi, kisah petualangan Si Anak Lumajang ini belum selesai. Masih ada serial berikutnya yang lebih seru. TUNGGU KABARNYA BESOK, JUMAT (18/7).

————–

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 17 Juli 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

11 Comments on Garis Batas 96: Good Boy

  1. di pondokku /Indonesia, bakal kedatangan santri Afganistan… akankah gambaran orangnya akan seperti yng kakak critakan?? 🙂

  2. Slalu suka tulisan mas agustinus..;)

  3. Saya sudah membaca semua cerita Garis Batas… Benar-benar menarik! Membahas negeri-negeri yang tidak banyak dilirik orang — Asia Tengah, ditambah lagi dengan kebudayaan orang-orangnya… Saya benar-benar terpesona sampai-sampai terbawa ke alam imajinasi saya!

    Salut buat Mas Agustinus!

  4. saya pun jadi ikut membayangkan tentang kehidupan di negeri-negeri yg sangat jarang masuk sorotan international ini. saya pun ingin juga melakukan perjalanan yg tidak biasa ini haha, insha Allah. kebetulan saya juga punya banyak teman-teman dari asia tengah di kampus, kemudian saya menceritakan tentang isi blog ini, dan mereka mengiyakan apa yg telah mas agus ceritakan di blog ini. mereka bangga dan senang ada orang yg tertarik dengan kehidupan asia tengah, apalagi sampai terjun ke kehidupan aslinya 🙂

  5. ikut berimajinasi seolah” dalam perjalanan

  6. Henpriadi koto // September 10, 2021 at 8:23 pm // Reply

    Sejak dishare link blog kisah perjalanan mas agus d blog disway saya mulai membaca serial “selimut debu”, “titik nol”, dan”garis batas” yg Alhamdulillah khatam edisi terakhir no 96 ini tadi malam jam 12 malam….luar biasa…petualangan yg sungguh berani, yg saya sangat suka ikuti, tapi nggak mau menjalaninya karena takut…

  7. Henpriadi koto // September 10, 2021 at 8:56 pm // Reply

    Gaya berceritanya sangat hidup,seolah saya ikut langsung dgn mas agus disemua perjalanan ini,…

  8. Henpriadi koto // September 10, 2021 at 9:17 pm // Reply

    Saya sungguh berterima kasih sama mas agus, gara2 kisah perjanannya saya jadi tahu ternyata ada begitu banyak budaya, agama dan kepercayaaan,bentuk negara, tabiat,watak, dan rupa manusia, serta bentang alam yg “lain” dari yg sehari2 saya temui,bahkan kadang ada yg aneh dan ajaib..yg tentu saja bukan kisah dongeng karena ini ada bukti jepretannya..

  9. Henpriadi koto // September 10, 2021 at 9:21 pm // Reply

    Yg penting lainnya, lewat tulisan ini saya jadi tahu, rupanya ada rakyat negara lain yg lebih melarat dari saya, kirain saya dan negara saya alah yg paling melarat di kolong langi ini…

  10. Henpriadi koto // September 10, 2021 at 9:42 pm // Reply

    Dan yg paling penting dari kisah perjalanan ini, memperlihatkan kepada saya ternyata adalah betapa setan-setan, benar-benar memenuhi janjinya utk menyesatkan sebanyak mungkin umat manusia dari jalan agama Allah SWT yg lurus, bisa bengkokkan sedikit,bengkokkan sedikit,.. bisa banyak, bengkokkan banyak,kalau bisa malah di jauhkan sama sekali manusia dari jalan Allah SWT yg lurus…terimakasih mas agus…تثکر

Leave a comment

Your email address will not be published.


*